Tentu saja bukan seperti itu wujud family time. Yang disebut dengan family time adalah sebuah waktu berkualitas untuk tersambungnya hati, perasaan, pikiran dan badan, dari semua anggota keluarga.
Sebuah waktu di mana mereka mengobrol, bercanda, bermain, beribadah, atau berkegiatan bersama. Agendanya sama, hati, pikiran dan perhatian mereka terkonsentrasi bersama. Bukan bersama-sama duduk tapi agendanya sendiri-sendiri. Pikirannya sendiri-sendiri. Hatinya sendiri-sendiri. Asyiknya sendiri-sendiri.
Aturan yang sangat penting untuk menciptakan family time adalah jauhkan gadget dan internet dari semua anggota keluarga. Gadget dan internet telah merenggut perhatian yang membuat orang tua dan anak-anak memilih asyik sendiri-sendiri.
Gadget dan internet telah membuat semua anggota keluarga bersifat egois dan individualis. Tidak peduli dengan orang lain, cenderung asyik dengan dunia masing-masing yang diciptakan oleh media sosial.
Hafiz Muneeb (2022) menyarankan, "Put your phones away for a while after you get home, and focus on your relationships with your partner and children. Simpan ponsel Anda beberapa saat setelah tiba di rumah, dan fokuslah pada hubungan Anda dengan pasangan dan anak-anak".
Contoh Teladan Dari Keluarga Nabi Saw
Nabi saw mencontohkan family time setiap malam selepas Isya. Anas bin Malik berkata, "Nabi saw memiliki sembilan orang istri... Mereka selalu berkumpul di rumah istri yang gilirannya mendapat jatah menginap Nabi saw" (HR. Muslim).
Ibnu Katsir menjelaskan, "Dan istri-istri beliau berkumpul setiap malam di rumah istri yang mendapat giliran jatah menginapnya Rasulullah saw. Beliau terkadang makan malam bersama mereka kemudian masing-masing kembali ke tempat tinggalnya" (Tafsir Ibnu Katsir).
Selain kebiasaan bercengkerama dengan semua keluarga, Nabi saw juga menyempatkan untuk mengobrol dengan istri yang mendapatkan jatah menginap. Maka obrolan suami istridi malam hari sebelum tidur termasuk sunnah Nabi saw, karena dicontohkan langsung oleh beliau.
Ibnu Abbas ra menceritakan, "Aku menginap di rumah bibiku Maimunah (istri Nabi saw), maka Rasulullah saw berbincang-bincang dengan istrinya (Maimunah) beberapa lama kemudian beliau tidur" (HR. Bukhari dan Muslim).
Para ulama menyatakan, makruh hukumnya mengobrol setelah shalat Isya', kecuali pada obrolan yang memiliki nilai kebaikan. Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, "Para ulama mengatakan, obrolan yang makruh setelah isya adalah obrolan yang tidak ada maslahatnya. Adapun kegiatan yang ada maslahatnya dan ada kebaikannya, tidak makruh".