Seorang pendukung paslon Anies -- Muhaimin saya tanya, "Jika ternyata pasangan Amin kalah dalam Pilpres ini, bagaimana sikap Anda?"
Ia menjawab, "Tentu saya akan menerima apapun hasil Pilpres ini. Jika Allah takdirkan pasangan Amin menang, saya bersyukur. Jika Allah takdirkan pasangan Amin kalah, saya tidak malu menjadi pendukungnya pada Pilpres kali ini".
"Saya bangga telah menampakkan sikap sebagai warga negara yang menghendaki perubahan dan perbaikan. Saya bangga telah berada dalam barisan perubahan," ujarnya dengan bangga.
Bagi para pendukung, Pilpres bukan sekedar persoalan kalah -- menang. Sebab terlalu banyak faktor yang bisa menyebabkan satu paslon menang atau kalah. Amat sangat kompleks.
Namun, Pilpres adalah soal keberpihakan. Berada di pihak manakah dirimu? Jika seseorang meyakini keberpihakannya secara rasional dan konstitusional, maka kekalahan dalam pemilihan bukan hal yang memalukan.
Saya segera teringat salah satu pesan ustadz Dasad Latif dalam sebuah ceramah beliau. Ketika adiknya maju sebagai calon anggota legislatif, beliau berpesan "Jangan menyogok konstituenmu".
"Lebih baik kamu tidak terpilih menjadi anggota legislatif daripada kamu harus menyogok pemilihmu", demikian pesan ustadz Dasad Latif.
Ini juga soal keberpihakan. Jika seseorang telah menentukan tempat berpijak, jika seseorang mengetahui untuk hal apa ia berpihak, maka kekalahan dalam pemilihan bukan peristiwa yang memalukan.
Terpilih dengan melakukan kecurangan jauh lebih memalukan daripada kalah yang penuh kehormatan. Semua bermuara pada satu hal: keberpihakan.
Semoga Pemilu 2024 berjalan dan berakhir damai, jujur, adil, tanpa kecurangan. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H