Menyimak pemaparan tentang Islamic Psychology yang disampaikan oleh G. Hussein Rassool, Ph.D., membawa kita menuju alam pemikiran yang luas dan dalam. Belajar tentang diri kita sendiri, dalam perpektif psikologi Islami.
Hussein Rassool adalah seorang konsultan dan fasilitator internasional di bidang kesehatan mental. Beliau aktif sebagai dosen psikologi, konsultan independen di bidang kecanduan dan kesehatan mental, serta konsultan klinis di Sakina Counseling Institute & Research. Ia juga beraktivitas sebagai psikoterapis Islam, anggota Royal Society of Public Health dan anggota dewan editorial beberapa jurnal ilmiah internasional di Inggris, AS, dan Brasil.
Buku Islamic Psychology terdiri dari 7 bagian, dengan total 935 halaman. Pada bagian satu, diuraikan dialektika psikologi kontemporer, psikologi Islami, dan fenomena sekularisasi psikologi.
Ketika mengupas sekularisasi psikologi, Rassool menyatakan bahwa sebagiannya terjadi karena sekularisasi masyarakat Barat. "Pengusiran agama dalam paradigma psikologi 'tanpa jiwa' berarti bahwa gagasan, praktik dan organisasi agama kehilangan pengaruh di hadapan pengetahuan saintifik dan lainnya", tulis Rassool, mengutip McLeish (1995).
Penekanan sekularisasi psikologi modern berangkat dari premis bahwa agama didasari oleh iman yang tak bisa dinilai dengan metode objektif, sementara sains didasari empirisme dan penilitian untuk menemukan fakta yang bisa diferivikasi benar salahnya. Heiman (1998) menyatakan "iman adalah penerimaan kebenaran suatu pernyataan tanpa dipertanyakan atau tanpa memerlukan bukti"; sedangkan saintis "bertanya dan meminta bukti".
Namun, beberapa kalangan akademisi Barat tidak sepenuhnya bisa menerima sekularisasi. William James dalam buku The Varieties of Religious Experience memperingatkan bahaya pemisahan pengalaman keagamaan dalam upaya akademis memahami perilaku manusia.
Menurut William James, "menjabarkan dunia dengan mengesampingkan segala perasaan atas nasib individual, berbagai sikap spiritual --meski bisa dijabarkan seperti hal-hal lain, kiranya seperti menawarkan kertas cetakan bertuliskan harga, sebagai pengganti makanan".
James meyakini bahwa pengalaman religius bisa dijabarkan seperti pengalaman manusia lainnya, dan penjabaran kehidupan manusia yang tak menyertakan pengalaman keagamaan akan tidak lengkap untuk mengerti perilaku manusia. Maka Malik Badri (1979) menyebut betapa "tak berjiwanya psikologi Barat".
Konseptualisasi Psikologi Islami
Selanjutnya, Rassool menjelaskan dialektika dalam upaya memahami "apa yang disebut psikologi Islami". Sangat banyak ahli yang berusaha menggali akar-akar psikologi dalam Islam, dengan berbagai sudut pandang yang beragam. Ini adalah upaya keluar dari pergumulan sekularsisasi psikologi.