Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jessica Wongso dan Potret "Kepakaran" Kita

11 Oktober 2023   08:22 Diperbarui: 11 Oktober 2023   08:45 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak pernah menyimak kasus pembunuhan Mirna (2016), sebelum tema ini kembali ramai di publik. Kembali hangat, karena dipicu hadirnya film dokumenter Netflix berjudul Ice Cold: Coffe, Murder and Jessica Wongso (2023).

Saya tidak menonton film tersebut. Juga tidak berencana untuk menonton. Karena harus mengalokasikan waktu sekitar satu jam duapuluh enam menit.

Namun gegara saya menyimak potongan acara dialog yang dipandu Karni Ilyas di Tiktok, maka tiap hari Tiktok menghadirkan untuk saya semua hal terkait kasus pembunuhan Mirna. Saya mencoba menyimak potongan-potongan keterangan para ahli --yang pernah dihadirkan sebagai saksi ahli dipengadilan Jessica.

Keterangan para ahli saling bertentangan. Sama-sama ahli, sama-sama pakar (di bidang masing-masing), sama-sama membahas tentang kasus kematian Mirna. Seorang ahli menyatakan, bahwa Jessica pembunuh Mirna. Sementara ahli yang lain menyatakan bahwa Jessica bukan pembunuh Mirna.

Tentu kita hormati kepakaran mereka. Kapasitas mereka bukan dalam rangka untuk membela atau melawan seseorang. Namun sedang memberikan keterangan terkait sisi keahlian mereka. Semua penjelasan mereka tampak logis, sehingga mendukung kesimpulan yang mereka sampaikan.

Namun yang menarik adalah respon dan sikap netizen. Luar biasa antusias netizen menyoroti kasus ini --terutama setelah mereka menonton film Ice Cold. Sangat banyak yang mempertanyakan keputusan pengadilan, bahwa Jessica dihukum 20 tahun padahal tidak ada saksi dan bukti yang bisa digunakan untuk menyimpulkan keputusan tersebut.

Bahkan beberapa netizen melempar tuduhan kepada ayah Mirna --dengan dugaan bahwa dialah pembunuh anak sendiri. Sikap dan tampilan ayah Mirna yang kontroversi di berbagai forum, membuat tudingan terarah kepada dirinya.

Sebagian netizen mengaitkan kasus ini dengan nama-nama besar yang "keceplosan" disebutkan ayah Mirna. Seperti pak Tito, pak Krisna dan pak Sambo. Mereka mempertanyakan, apa peran para petinggi tersebut? Siapa yang punya kepentingan atas matinya Mirna, atau atas tertuduhnya Jessica?

Sangat banyak mimbar pendapat melalui media sosial, seakan-akan semua orang telah menjadi pakar. Tak jarang disertai sikap merendahkan pendapat para ahli yang memang memiliki kapasitas keilmuan di bidangnya.

Berseliweran lontaran pendapat dan analisa netizen di media sosial. Mereka punya hak? Tentu saja, hak bicara sebagai warga. Namun apakah memiliki hak menilai dan hak menyimpulkan? Ini terlalu rumit.

Saya segera teringat analisa Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise. Buku ini diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia (2022) dengan judul Matinya Kepakaran. Menyoroti --salah satunya, tentang banyaknya "pakar dadakan" yang muncul di media sosial. Seakan semua orang berhak menyampaikan opini publik terkait dengan tema apa saja, bahkan ketika orang itu tak memiliki ilmu dan informasi yang memadai.

Fenomena ini disebut sebagai "Dunning-Krugger Effect". Dalam teorinya, Dunning dan  Krugger menyatakan, banyak orang awam merasa paling pakar di media sosial. Mengapa bisa terjadi fenomena ini? Karena pengetahuan mereka minim.

Mereka tidak mengetahui bahwa ada ratusan jurnal ilmiah tentang topik yang tengah mereka bicarakan. Karena tidak pernah membaca atau menelaah jurnal ilmiah tersebut, mereka tidak mengetahui betapa kompleksnya ilmu pengetahuan dalam topik yang tengah mereka komentari.

Fenomena ini oleh Tom Nichols disebut sebagai the death of expertise. Menurutnya, kepakaran telah mati. Pendapat pakar (beneran) yang tidak sesuai dengan selera keberpihakan seseorang, langsung ditolak. Sementara mereka mengembangkan pemikirannya sendiri dengan leluasa.

Kasus sianida ini mendadak marak kembali dikunyah-kunyah. Podcast para selebritis mengupas tema ini, dan disimak jutaan masyarakat. Saya mengikuti beberapa bagian --lebih tepatnya: cuplikan; podcast Deddy Corbuzier dan dokter Richard Lee. Sebagai orang awam, saya menikmati podcast mereka pada tema ini.

Cukuplah kita melek dan makin memahami. Bahwa tidak semua orang yang divonis dan meringkuk dalam penjara, pasti bersalah. Sebagaimana tidak semua orang yang berada dalam kondisi bebas---di luar penjara, pasti orang baik yang tidak bersalah.

Kendati adagium hukum "in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores" --dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang daripada cahaya; namun hal itu sepertinya bukan kondisi di dunia. Hanya pengadilan akhirat yang akan bisa mewujudkannya. Bahwa bukti akan lebih terang dari cahaya.

Bahan Bacaan

Kendra Cherry, What Is the Dunning-Kruger Effect? A Cognitive Bias that Causes an Overestimation of Capability, https://www.verywellmind.com, 8 November 2022

Psychologi Today, Dunning-Kruger Effect, https://www.psychologytoday.com, diakses 11 Oktober 2023

Rod Lamberts, Book Review: The Death of Expertise, https://theconversation.com, 7 Juli 2017

Tom Nichols, Matinya Kepakaran, Kepustakaan Populer Gramedia, 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun