Saya tidak pernah menyimak kasus pembunuhan Mirna (2016), sebelum tema ini kembali ramai di publik. Kembali hangat, karena dipicu hadirnya film dokumenter Netflix berjudul Ice Cold: Coffe, Murder and Jessica Wongso (2023).
Saya tidak menonton film tersebut. Juga tidak berencana untuk menonton. Karena harus mengalokasikan waktu sekitar satu jam duapuluh enam menit.
Namun gegara saya menyimak potongan acara dialog yang dipandu Karni Ilyas di Tiktok, maka tiap hari Tiktok menghadirkan untuk saya semua hal terkait kasus pembunuhan Mirna. Saya mencoba menyimak potongan-potongan keterangan para ahli --yang pernah dihadirkan sebagai saksi ahli dipengadilan Jessica.
Keterangan para ahli saling bertentangan. Sama-sama ahli, sama-sama pakar (di bidang masing-masing), sama-sama membahas tentang kasus kematian Mirna. Seorang ahli menyatakan, bahwa Jessica pembunuh Mirna. Sementara ahli yang lain menyatakan bahwa Jessica bukan pembunuh Mirna.
Tentu kita hormati kepakaran mereka. Kapasitas mereka bukan dalam rangka untuk membela atau melawan seseorang. Namun sedang memberikan keterangan terkait sisi keahlian mereka. Semua penjelasan mereka tampak logis, sehingga mendukung kesimpulan yang mereka sampaikan.
Namun yang menarik adalah respon dan sikap netizen. Luar biasa antusias netizen menyoroti kasus ini --terutama setelah mereka menonton film Ice Cold. Sangat banyak yang mempertanyakan keputusan pengadilan, bahwa Jessica dihukum 20 tahun padahal tidak ada saksi dan bukti yang bisa digunakan untuk menyimpulkan keputusan tersebut.
Bahkan beberapa netizen melempar tuduhan kepada ayah Mirna --dengan dugaan bahwa dialah pembunuh anak sendiri. Sikap dan tampilan ayah Mirna yang kontroversi di berbagai forum, membuat tudingan terarah kepada dirinya.
Sebagian netizen mengaitkan kasus ini dengan nama-nama besar yang "keceplosan" disebutkan ayah Mirna. Seperti pak Tito, pak Krisna dan pak Sambo. Mereka mempertanyakan, apa peran para petinggi tersebut? Siapa yang punya kepentingan atas matinya Mirna, atau atas tertuduhnya Jessica?
Sangat banyak mimbar pendapat melalui media sosial, seakan-akan semua orang telah menjadi pakar. Tak jarang disertai sikap merendahkan pendapat para ahli yang memang memiliki kapasitas keilmuan di bidangnya.
Berseliweran lontaran pendapat dan analisa netizen di media sosial. Mereka punya hak? Tentu saja, hak bicara sebagai warga. Namun apakah memiliki hak menilai dan hak menyimpulkan? Ini terlalu rumit.