"The wedding may be the ending of most fairy tales, but it is supposed to be the beginning of a long partnership" (Riley, 2014).
"Gaun inilah yang dikenakan Cinderella pada hari pernikahannya," ungkap seorang pengantin perempuan. Ia mengenakan gaun biru Tiffany, dan tampak sangat berbahagia dengan kemeriahan pesta. Ini hanya cuplikan dramatik di salah satu episode film TV serial "Say Yes to the Dress: Atlanta" (Riley, 2014).
Perempuan itu telah menemukan seorang Pangeran tampan yang menjadi pujaan hatinya. Di hari bahagia itu, Sang Pangeran menggandeng tangannya dengan mesra. Bertahun-tahun ia membangun harapan menjadi seorang putri yang layak berdampingan dengan Pangeran. Hari itu telah tiba.
"Kaum perempuan memimpikan di hari pernikahannya akan tampil bak seorang putri yang telah menemukan cinta sejatinya" (Wantania, 2012). Â Mereka membayangkan berakhirnya penantian, dan memasuki momentum ending sebuah kisah roman, "maka mereka berdua hidup bahagia selama-lamanya". Untuk itu pernikahan dirayakan dengan pesta yang sangat mengesankan.
Ketika lamaran diterima dan tanggal pernikahan sudah ditetapkan, "Itulah saat di mana euforia akan ide pernikahan merekah di benak sang calon pengantin perempuan. Sekaligus pertanda dimulainya sebuah fase di mana seorang perempuan akan menyerahkan hidupnya untuk mempersiapkan perayaan sehari yang tak terlupakan seumur hidup" (Wantania, 2012).
Calon pengantin perempuan menjadi sangat sibuk dengan segala sesuatu yang terkait dengan pesta pernikahan. Mungkin saja saat menjelang menikah itu ia telah memiliki pekerjaan penuh waktu, namun ia sangat sibuk melakukan berbagai hal yang berbeda: "memilih artefak ritual penting untuk hari pernikahannya" (Otnes, 2003).
"The bride, who these days probably already has a full-time jobs, takes on what will seem at times like another one: selecting the important ritual artifacts for her wedding day" (Otnes, 2003).
Kesibukan dan kehebohan menyiapkan pesta sehari dengan biaya sangat mahal seperti ini, disebut oleh Howard (2006) sebagai sindrom bridezilla. Istilah ini muncul dari penggabungan satire, dari bride (pengantin perempuan) dan godzilla (binatang raksasa purba).
Bridezilla syndrome merujuk kepada sebuah kondisi dimana calon pengantin perempuan sedemikian perfeksionis dalam menyiapkan pesta pernikahan, sampai kesalahan dan kekurangan kecil sekalipun bisa menbuatnya sangat panik dan kacau. "A new breed of soon-to-wed women who abuse the idea that weddings are their day" (Morales, 2002).
Dalam menyiapkan pesta sehari itu, pengantin perempuan --khususnya di budaya Barat, rela dan tega merepotkan orang-orang di sekitarnya dengan berbagai tuntutan moril dan materiil. Calon pengantin perempuan mencoba meyakinkan orang-orang di sekitarnya bahwa "dirinya dan pernikahannya adalah hal terpenting di dunia ini" yang wajib diurus dan diperhatikan (Wantania, 2012).
Tetapi apakah kehebohan pesta pernikahan itu memberikan pengaruh signifikan terhadap keharmonisan pernikahan? Sepertinya tidak. Realitasnya, sejak tahun 1970-an, persentase orang Amerika yang memilih untuk mengakhir pernikahan telah melebihi 40 % (Riley, 2014). Tentu ini adalah angka yang sangat tinggi.
Sebuah survei terhadap 4.000 orang yang bercerai, dalam rentang usia 18 hingga 60 tahun menunjukkan, perselingkuhan menjadi alasan paling umum untuk perceraian. Hampir 37 % responden menyebut perselingkuhan mereka sendiri atau pasangan mereka, sebagai penyebab perceraian (Riley, 2014).
Sebagaimana kehebohan menyiapkan pesta pernikahan lebih banyak dilakukan kaum perempuan, rupanya kehendak bercerai juga mayoritas dilakukan kaum perempuan. Studi tersebut menunjukkan data, 55 % perempuan menginginkan perceraian dan hanya 20 % laki-laki yang menyatakan bahwa mereka menginginkan perceraian (Riley, 2014).
"Pernikahan mungkin merupakan akhir dari sebagian besar dongeng, namun seharusnya menjadi awal dari kemitraan jangka panjang", ujar Riley. Tidak cukup hanya dengan memikirkan renik-renik perlengkapan dan perhiasan pesta. Yang lebih penting lagi adalah menyiapkan reni-renik penjaga keharmonisan dan kelanggengan hidup berumah tangga.
Bahan Bacaan
Angela Patricia Wantania, Manipulasi Konsep Pernikahan Putih di Budaya Barat Terhadap Perempuan Dalam Film Bride Wars, FIB Universitas Indonesia, Juni 2012
Cele C. Otnes & Elizabeth Pleck, Cinderella Dreams: The Allure of the Lavish Wedding, University of California Press, 2003
Naomi Schaefer Riley, Why Marriages Fail: Romance Just Isn't Enough, https://nypost.com, 23 Juni 2014
Tatiana Morales, Beware Of The 'Bridezilla Syndrome', https://www.cbsnews.com, 20 Agustus 2002
Vicki Howard, Brides, Inc.: American Weddings and the Business of Tradition, University of Pennsylvania Press, 2006
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H