Â
"Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara" (HR. Bukhari).
Akibat dari membuka dan mencela aib orang lain, sangatlah mengerikan. Rasulullah saw menggambarkan,
:
"Barang siapa yang mencela saudaranya karena dosa yang dilakukan saudaranya maka dia tidak akan meninggal sampai dia melakukan dosa yang semisal" (HR. Tirmidzi no. 2505).
Derajat hadits ini menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani adalah dhaif (lemah), karena munqathi' (jalur periwayatnya terputus). Meski demikian, secara makna bisa menjadi kehati-hatian, karena sering terbukti dalam kenyataan.
Hadits-hadits di atas melarang kita untuk mencela saudara seiman, disebabkan aib yang adapada dirinya. Jika kita melihat saudara kita mempunyai aib, semestinya kita berusaha menasihati, memperbaiki dan bukan mengumbarnya. Demikian pula terhadap aib anak kita sendiri.
Membongkar aib orang lain merupakan kebiasaan orang-orang fajir. Hendaknya orangtua menjauhi kebiasaan membuka aib anak di depan orang lain. Fudhail bin 'Iyadh menyatakan,
"Seorang mukmin itu menutup aib dan menasihati saudaranya. Sedangkan orang fajir membongkar aib dan mencela saudaranya" (Jami'ul 'Ulum wal Hikam).
Sedemikian khawatir membongkar aib saudara seiman, orang-orang salih zaman dulu memilih menasehati secara diam-diam --bukan di depan umum. Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata,
-- : --