Kisah Ramadan -- 29
Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berangkat dari rumahnya menuju tempat shalat Idul Fitri. Hari itu beliau menyampaikan khutbah Id di hadapan umat muslim.
Dalam khutbahnya, beliau mengatakan, "Wahai jamaah sekalian, sesungguhnya kalian telah berpuasa selama 30 hari karena Allah. Dan kalian juga telah shalat di malam harinya selama 30 malam. Hari ini kalian keluar, meminta kepada Allah agar berkenan menerima apa yang telah kalian lakukan".
Begitulah suasana Idulfitri di masa-masa terdahulu. Penuh perenungan, penuh kontemplasi. Sebagian orang salih zaman dulu berkata, "Sesungguhnya hari Id adalah hari kebahagiaan dan suka cita". Lalu ada yang menjawab, "Benar. Namun, aku adalah seorang hamba, Tuanku memerintahkan aku untuk melakukan suatu pekerjaan. Aku tidak tahu apakah ia menerima apa yang telah aku kerjakan atau tidak".
'Ali bin Abi Thalib ra mengatakan,
:
"Hendaklah kalian lebih memperhatikan bagaimana agar amalan kalian diterima daripada hanya sekedar beramal. Tidakkah kalian menyimak firman Allah, "Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa" (Al Maidah: 27).
Wahab bin Wardi pernah melihat sekelompok orang yang bersuka cita dan tertawa di hari 'Idulfitri. Beliau berkomentar,
"Apabila puasa mereka diterima di sisi Allah, apakah tindakan mereka tersebut adalah gambaran orang yang bersyukur kepada-Nya? Dan jika ternyata puasa mereka tidak diterima, apakah tindakan mereka itu adalah gambaran orang yang takut akan siksa-Nya?" (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Asy Syu'ab nomor 3727, Latha-iful Ma'arif hal. 232).
Demikian pula Imam Hasan Al-Bashri. Di hari Idulfitri beliau merasakan kekhawatiran. Beliau menangis tatkala membayangkan amal yang telah dilakukan, apakah diterima Allah atau tidak.