Salah satu modalitas Boll sebagai penulis, menurut Iwan Akbar, adalah pengalaman kehidupan. Sempat ditempa oleh kemiskinan keluarga, terlibat menjalani perang, menjadi tawanan, kondisi keagamaan di gereja serta perilaku Nazi, telah menjadi modalitas sangat kuat untuk dikembangkan dalam karya sastra.
Boll memiliki kebiasaan menulis sejak belum masa perang, selama menjadi tahanan perang, dan seusai dari peperangan saat kembali menjadi rakyat sipil. "Boll terus menulis sampai akhir hidupnya", ujar Iwan Akbar. "Salah satu pernyataan yang memotivasi dirinya adalah, 'Saya ingin mengubah dunia melalui kata-kata".
Berhasilkah? "Paling tidak, Boll dianggap berhasil menciotakan banyak perubahan di Jerman melalui kritik sosial yang dituangkan dalam karya sastra", ujar Iwan Akbar.
Hadir dalam diskusi budaya BBG tersebut senator DPD RI pak Cholid Mahmud, budayawan sekaligus politisi Boedi Dewantoro, calon anggota DPD RI Ahmad Khudhori, politisi M. Wajdi Rahman, ustadz Nur Ahmad, ustadz Dwibudi Utomo, konsultan pendidikan pak Arief Rahman Hakim, arkeolog Agus Sukristiono, dan sekitar 15 pegiat BBM lainnya.
Boedi Dewantoro menegaskan pentingnya membaca karya. "Tidak mungkin kita bisa mengkritik atau menilai orang dengan objektif jika tidak pernah membaca karya-karyanya". Ia memberi contoh, banyak orang mengkritik Quraesy Syihab namun belum membaca semua karyanya. Ini menjadi tidak objektif.
"Pak Iwan Akbar telah membaca lebih dari 30 buku sastra karya Boll sebelum menulis disertasi. Wajar jika ia bisa menulis dengan detail", lanjut Boedi. Ia berharap semua aktivis Wedangan bisa banyak membaca untuk membuka cakrawala pemikiran
Diskusi sastra budaya bertempat di "Tempuran Space" Bantul tersebut merupakan salah satu agenda rutin komunitas Wedangan BBG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H