"When parents are arrested or convicted their children face many challenges, one of the most important being the disruption of parent-child attachment" (Robert T. Muller, 2015).
Salah satu berita heboh yang tak habis-habis dibicarakan banyak pihak hingga hari ini --saat bangsa Indonesia memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke-77, adalah penembakan polisi di rumah polisi. Izinkan saya tidak menyebut nama siapapun.
Saya bukan ahli hukum, dan juga tidak mengikuti kasus tersebut secara detail. Hanya mengetahui judul berita serta ulasan beberapa ahli dan pejabat resmi. Jadi tidak bisa menyimpulkan apapun.
Harapan kita semua adalah, kasus tersebut bisa selesai dengan benar, tuntas dan cepat. Tidak berlarut-larut. Pihak yang salah harus menerima hukuman atas kesalahannya, dan pihak yang tidak bersalah harus dibebaskan dari semua tuduhan.
Bagaimana Kondisi Psikologis Anak-anak Mereka?
"Research shows that parent-child attachment directly affects cognitive and behavioural development in children, and this disruption can lead to social and behavioural problems later in life" (Robert T. Muller, 2015).
Ada beberapa nama yang mendadak viral dan sangat terkenal. Saya hanya mencoba berlaku "tepo sliro", bagaimana kondisi psikologis anak-anak yang nama orang tua mereka sering disebut media? Bagaimana kondisi kejiwaan anak-anak itu  jika setiap hari menemukan postingan netizen tentang orang tua mereka, dengan berbagai ulasan, melalui youtube, tiktok, facebook dan instagram?
Robert T. Muller (2015) dalam Psycholgy Today menyatakan, ketika orang tua ditangkap atau dihukum, anak-anak mereka menghadapi banyak tantangan, salah satu yang paling penting adalah gangguan keterikatan orang tua-anak. Sementara penelitian telah menunjukkan bahwa keterikatan orang tua-anak secara langsung mempengaruhi perkembangan kognitif dan perilaku pada anak-anak. Gangguan ini dapat menyebabkan masalah sosial dan perilaku di kemudian hari.
"Many children of incarcerated parents develop feelings of anger and aggression, leading to failed friendships in school. Some may also become depressed and anxious, bringing academic and social challenges" (Robert T. Muller, 2015).
Ketika anak-anak mengetahui bahwa ayah mereka namanya disebut dan dibicarakan banyak orang dengan negatif, membuat keterikatan anak dengan ayah menjadi bermasalah. Anak-anak menjadi malu, tidak nyaman, tidak percaya diri untuk tampil di lingkungan pergaulannya. Kondisi ini menimbulkan tekanan ketidaknyamanan dalam masa cukup panjang pada anak.
Muller juga menyatakan, ketika orang tua masuk penjara, anak-anak yang masih kecil mengembangkan respons emosional seperti kesedihan, ketakutan, dan rasa bersalah sebagai reaksi terhadap penahanan orang tua. Reaksi emosional ini dapat berubah menjadi masalah perilaku yang parah, memicu konflik antara anak dan orang lain.
"Banyak anak dari orang tua yang dipenjara mengembangkan perasaan marah dan agresif, yang mengarah pada kegagalan persahabatan di sekolah. Beberapa mungkin juga menjadi depresi dan cemas, membawa tantangan akademis dan sosial", ungkap Muller.
Mereka memerlukan penjelasan dan pendampingan yang bisa menenangkan jiwa, serta membuat mereka tetap dapat menjalani kehidupan sehari-hari dengan normal dan wajar. Mereka tidak terlibat dan tidak terkait dengan tindakan orang tua. Bahkan bisa jadi mereka tidak mengetahui apapun yang dilakukan orang tua.
Stop Mentertawakan dan Menghina
"When a parent goes to prison, young children often develop emotional responses such as sadness, fear and guilt as a reaction to the parent's incarceration" (Robert T. Muller, 2015).
Biarkan hukum yang bertindak. Seyogyanya kita sebagai sesama warga bisa membedakan antara membedah kasus yang sedang terjadi secara objektif dan akademik, dengan tindakan membully, mentertawakan dan menghina.
Jika ingin turut membedah kasus ini secara objektif dan akademik, tentu menjadi hak semua warga bangsa, sesuai dengan proporsinya. Namun tidak semua dari kita memiliki kapasitas untuk melakukan bedah perkara secara objektif dan akademik. Yang harus dihindari adalah tindakan bullying, karena ini tidak objektif dan tidak akademik.
Misalnya, muncul meme melalui poster dan postingan di media sosial yang bisa dimaknai sebagai mentertawakan seseorang, atau menghina dan merendahkan. Demikian pula muncul video-video pendek melalui youtube, tiktok dan media sosial lainnya, yang mempertontonkan sisi-sisi "kelucuan" atau "keanehan" dari ucapan, tindakan dan sikap orang per orang yang sedang menjalani proses hukum. Ini bisa menjadi hinaan dan ejekan kepada personal.
Terlepas dari proses hukum yang sedang terjadi, saya hanya peduli dengan kondisi psikologis anak-anak di rumah mereka. Bagaimana rasanya, melihat ayahnya menjadi bahan meme dan menjadi bahan tertawaan? Bagaimana rasanya ibu mereka menjadi bahan olok-olok dan gunjingan di berbagai media? Sesakit apa hati mereka? Sesedih apa jiwa mereka? Sedalam apa luka mereka?
"These emotional reactions can turn into severe behavioural problems, triggering conflicts between the child and others" (Robert T. Muller, 2015).
Anak-anak yang jiwanya terluka, berpeluang membuat mereka mengalami masalah perilaku yang rumit dan kompleks. Padahal mereka tidak terlibat dan tidak mengetahui duduk perkara yang terjadi pada orang tuanya. Maka hentikan ejekan, bullying, caci maki dan tindakan lain yang tidak objektif dan tidak akademik.
Mari kita rawat bersama jiwa anak-anak Indonesia. Selamat Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-77. Damai selalu Indonesiaku.
Bahan Bacaan
Fox Butterffield, When Crime Is a Family Affair, https://www.theatlantic.com, 23 Oktober 2018
Robert T. Muller, When a Parent Is Incarcerated, https://www.psychologytoday.com, 7 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H