Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengapa Ibu Hamil Harus Bahagia? (Bagian Ke-3)

4 Agustus 2022   19:40 Diperbarui: 4 Agustus 2022   19:56 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"As a fetus grows, it's constantly getting messages from its mother. It's not just hearing her heartbeat and whatever music she might play to her belly; it also gets chemical signals through the placenta" --Science Daily, 2011.

Mengapa ibu hamil tidak boleh depresi? Dalam dua postingan sebelumnya, telah saya sampaikan beberapa hasil studi ahli yang menunjukkan kondisi anak setelah lahir sangat dipengaruhi kondisi ibu saat hamil.

Salah satu studi tentang pengaruh kondisi ibu hamil terhadapjanin, dilakukan oleh Curt Sandman, Elysia Davis dan Laura Glynn dari University of California-Irvine. Mereka melakukan studi tentang keadaan psikologis ibu dan pengaruhnya terhadap perkembangan janin.

Para peneliti melibatkan wanita hamil dan memeriksa kondisi depresi yang mereka hadapi baik sebelum maupun sesudah melahirkan. Selanjutnya, melakukan uji terhadap bayi setelah dilahirkan.

Sandman dan tim mendapatkan temuan yang menarik. Ternyata, yang penting bagi bayi adalah lingkungan yang konsisten sebelum dan sesudah lahir. Bayi yang lahir dan berkembang dalam kondisi terbaik adalah yang memiliki ibu sehat, baik sebelum maupun sesudah lahir. Demikian pula, bayi yang ibunya depresi sebelum lahir dan tetap depresi sesudah lahir.

Yang memperlambat perkembangan bayi adalah perubahan kondisi. Misalnya seorang ibu yang berubah dari depresi sebelum lahir menjadi sehat setelahnya atau sehat sebelum lahir menjadi depresi setelahnya. "Harus kami akui, temuan ini sangat mengejutkan," ujar Sandman.

Pertanyaannya, jika seorang ibu mengalami depresi sebelum kelahiran, apakah harus membiarkannya tetap depresi hingga lahir demi kebaikan perkembangan bayinya? "Pendekatan yang lebih masuk akal adalah, harus melakukan terapi terhadap perempuan yang mengalami depresi prenatal", ungkap Sandman.

Artinya, jangan biarkan ibu mengalami depresi sejak sebelum hamil, saat hamil dan setelah melahirkan. Inilah kondisi paling ideal yang akan menjadikan janin tumbuh kembang dengan optimal.

"Kami tahu bagaimana menangani depresi," ujar Sandman. "Masalahnya adalah, perempuan kadang tidak diperlakukan agar tidak depresi selama kehamilan".

Studi Sandman dan tim tersebut menemukan, dalam jangka panjang, memiliki ibu yang depresi dapat menyebabkan masalah neurologis dan gangguan kejiwaan pada anak-anak yang dilahirkan. Anak yang lahir dari ibu yang cemas dan depresi selama kehamilan, memiliki perbedaan dalam struktur otak bagian tertentu, dibandinglkan dengan anak yang lahir dari ibu tidak cemas dan tidak depresi.

"Kami percaya bahwa janin manusia adalah subyek aktif dalam perkembangannya sendiri dan mengumpulkan informasi untuk kehidupan setelah lahir," ungkap Sandman. "Janin mempersiapkan kehidupan berdasarkan pesan yang diberikan ibu sejak dalam kandungan."

Bahan Bacaan

Association for Psychological Science, Can Fetus Sense Mother's Psychological State? Study Suggests Yes,  www.sciencedaily.com, 10 November 2011

Febi Anindya Kirana, Penelitian Membuktikan, Ibu Hamil harus Bahagia Karena Bayi Bisa Merasakannya, https://www.fimela.com, 15 Jul 2021

Mela Arnani, Studi: Stres pada Ibu Hamil Bisa Pengaruhi Perkembangan Otak Janin, https://www.kompas.com, 15 Desember 2020.

Rachael Rettner, Pregnant Mom's Mood Changes May Harm Baby, https://www.livescience.com, 22 November 2011

Ross Brannigan, The Role of Prenatal Stress as a Pathway to Personality Disorder: Longitudinal Birth Cohort Study, Cambridge University Press, https://www.cambridge.org, 6 September 2019

Shaun Wooler, Stress in Pregnancy Linked to Personality Disorders in Children, https://nypost.com, 6 September 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun