Seorang lelaki bertanya kepadaku, ketika ia mengetahui sebentar lagi aku akan menikahkan putri keduaku. Lelaki ini adalah seorang ayah, yang memiliki putri. Ia sedang belajar dan bersiap diri, bahwa pada saatnya nanti ia juga akan menikahkan putrinya. Entah kapan, namun ia harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
"Apa yang tengah Pak Cah persiapkan untuk menikahkan putrinya nanti?" demikian pertanyaan lelaki tersebut.
Tentu sangat banyak persiapan untuk menikahkan putriku. Jawabannya akan memerlukan waktu berhari-hari untuk mengurai. Tak mungkin aku menjawab hanya dalam beberapa menit.
"Aku sedang mempersiapkan diri, agar saat menikahkan putriku dengan calon suaminya nanti, aku tidak menangis", demikian jawabku.
"Oh ya? Bukankah itu mudah, Pak Cah? Mengapa harus dipersiapkan?" tanyanya.
"Saat aku mengucapkan kalimat ijab, lalu mempelai lelaki mengucapkan kalimat qabul, kemudian para saksi menyatakan 'sah', mulai detik aku telah melepas putriku. Bukankah ini berat, bagi seorang ayah?" jawabku.
Sebagai ayah, aku bertanggung jawab atas kehidupan, pendidikan, dan keselamatannya. Sebagai orangtua, kami menjaga dia dengan sebaik-baiknya, dengan  cara dan usaha yang kami mampu melakukannya. Kami selalu mendoakannya, kami selalu mengarahkannya. Kami bekerja mencari nafkah, demi kehidupan dan masa depannya.
 Kami telah menemani dan membersamainya lebih dari duapuluh tahun. Lalu seorang lelaki asing --yang kami tidak mengenal sebelumnya, mengambil putriku untuk dijadikan istri. Lelaki itu kelak akan menjadi menantuku, ia telah mengambil tanggung jawab yang semula tanggung jawabku.
Ia telah mengambil salah satu permata hati kami, yang sangat kami jaga dan kami cintai. Bukankah itu berat bagi kami?
Maka aku terus belajar untuk tidak menangis untuk peristiwa ini. Aku tidak ingin menangis saat melepas putriku nanti.