Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Parenting atau Sharenting, Pilih Mana?

14 Juni 2022   15:59 Diperbarui: 14 Juni 2022   22:16 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan untuk orangtua yang harus mengasuh anak dengan kondisi spesifik, mereka merasa mendapat dukungan moral yang sangat mereka perlukan, melalui aktivitas sharenting. Mereka berbahagia karena menemukan komunitas orangtua yang anak-anak mereka memiliki kondisi serupa. Tak jarang bermula dari bertukar informasi melalui medsos, berkembang menjadi komunitas dan bahkan gerakan.

Namun tindakan sharenting juga memiliki sejumlah risiko dan dampak negatif. Di antaranya adalah risiko kejahatan cyber yang dilakukan pihak-pihak tak bertanggung jawab. Seperti kasus penculikan atau bullying terhadap anak, karena foto anak tersebut sangat sering terpampang di media sosial.

Dampak jangka panjang adalah kondisi psikologis anak di masa remaja dan dewasa, ketika mereka merasa tidak nyaman akibat tindakan sharenting yang dilakukan ayah dan ibunya. Jelas orangtua tidak akan meminta izin serta kerelaan anak saat mereka sharing foto dan cerita tentang perkembangan anak, karena saat itu anak masih bayi atau balita.

Di titik ini, kita kurang bisa menenggang hak privasi anak untuk dihargai. Kita tahu, tidak semua anak dan remaja suka pamer foto diri mereka di medsos. Ada anak-anak remaja yang senang share foto dan cerita kegiatan dirinya melalui akun pribadinya. Namun banyak pula remaja yang lebih suka share poster dan foto-foto alam, binatang atau ilustrasi yang bukan foto diri.

Bagaimana jika kelak saat remaja, anak-anak memprotes tindakan orangtua yang memamerkan foto-foto masa kecil mereka? Foto-foto imut, lucu dan menggemaskan balita, bisa menjadi alat bullying oleh teman-teman atau oleh pihak lain --kelak saat mereka sudah remaja atau dewasa. Bisa jadi seorang anak remaja merasa malu dan minder karena kisah dan foto masa kecil mereka dijadikan bahan ejekan.

Untuk itu, setiap orangtua harus menetapkan batas-batas dalam melakukan sharenting. Tidak setiap foto dan cerita anak harus diposting melalui media sosial. Jika ingin sharing, lakukan seperlunya tanpa harus mengekspos semua hal tentang anak. Pertimbangkan masak-masak dampak bagi anak, yang belum bisa ditanya tentang persetujuan dan hak privasi mereka.

Jangan sampai niat baik orangtua akan berbalik menjadi beban bagi anak di masa depan mereka. Berhati-hatilah.

***

Bahan Bacaan

Carolanne Bamford-Beattie, The Kidslox Guide to Sharenting, kidslox.com, 28 Februari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun