"Enak ya kamu, bisa mudik. Bisa jalan-jalan ke luar kota sambil bertemu sanak saudara... Aku ga pernah mudik karena rumah orangtua dan mertua hanya satu kampung. Jadinya ga pernah ke mana-mana..." ujar seorang ibu muda.
"Ah enakan kamu, ga perlu ke mana-mana sudah ketemu orangtua dan mertua... Mudik itu pasti macet, capek, dan berbiaya...", jawab temannya.
Jadi, siapa sebenarnya yang lebih berbahagia? Para pemudik, atau mereka yang tak perlu mudik? Mereka yang berlama-lama dalam macet, atau mereka yang cukup kegiatan di rumah dan di kampung saja?
Inilah yang sering dinasihatkan orang-orang tua kita. "Sejatine urip iku amung sawang sinawang", atau  biasa diungkapkan dengan singkat, "urip iku wang sinawang". Artinya, hidup itu hanyalah saling melihat. Seakan orang lain lebih bahagia hidupnya daripada kita.
Selalu begitu. Saat mudik, kita melihat saudara yang datang ke kampung halaman membawa mobil baru dan berkelas. Sementara kendaraan kita termasuk kategori "mobil sejuta umat", itupun sudah tua. Kita melihat saudara itu lebih bahagia daripada kita.
Kita melihat keluarga paman yang semua anaknya sukses menjadi 'pegawai' --status yang menjadi kebanggaan orang kampung. Sementara keluarga kita hanya anak-anak biasa saja, menjadi buruh dan kerja serabutan tanpa ada statusnya.Â
Seakan keluarga paman lebih bahagia daripada keluarga kita.
Padahal, orang lain yang kitra kira lebih bahagia hidupnya, juga berpikiran serupa. Mereka melihat kita seakan lebih bahagia dibanding diri dan keluarganya.
"Lihat saudara kita itu. Meskipun mobilnya tua dan sederhana, namun semua keluarga enjoy berada di dalamnya. Tidak seperti keluarga kita yang berantem terus di sepanjang perjalanan".
"Lihat keluarga pakde itu. Anaknya tak ada yang pegawai. Mereka rata-rata buruh dengan penghasilan yang tak menentu. Namun semua tampak rukun dan damai. Tidak seperti keluarga kita yang sering cekcok dan saling bersaing".
Jadi, setiap orang melihat orang lain lebih bahagia daripada dirinya. Setiap keluarga melihat keluarga lain lebih bahagia daripada keluarganya. Kecuali orang-orang yang pandai bersyukur atas apa yang Allah karuniakan kepada diri dan keluarganya.
Mereka inilah orang yang paling berbahagia hidupnya. Karena tidak mencari kebahagiaan dari orang lain. Tidak mencari kebahagiaan dengan standar keluarga lain.
Saya tahu ada banyak teman saya merayakan Idul Fitri bersama keluarga di Turki. Ada yang jalan-jalan ke Itali. Sedangkan saya hanya ke Wonogiri. Menikmati Bakso Titoti. Bahagianyaaaaa bisa makan dua porsi...
Bersyukurlah, maka hidupmu akan selalu bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H