Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Toxic Marriage (3), Pernikahan Bukanlah Hukuman Seumur Hidup

20 April 2022   10:19 Diperbarui: 20 April 2022   10:51 3695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.utrujj.org/

Marriage is a mutual contract between two people with their consent, to live together and help and support each other to their journey to Allah Almighty and look after their family, give them the right tarbiyya to be among people of Jannah --Syaikh Haytham Tamim, 2019.

 

Syaikh Haytham Tamim, seorang ulama, pengajar dan konsultan pernikahan Islam di Inggris menyatakan, jangan menyarankan untuk bertahan dalam pernikahan yang buruk. Bertahan dalam kehidupan pernikahan yang beracun bukanlah bentuk sabar, namun bentuk kelemahan.

Beliau menegaskan, pernikahan bukanlah hukuman seumur hidup. Melalui Utrujj Foundation di Inggris, Syaikh Haytham Tamim mengedukasi masyarakat muslim untuk memiliki kehidupan pernikahan yang sehat. Bagi beliau, pernikahan tidak semestinya melahirkan penderitaan berkepanjangan.

"I am not in any way promoting or encouraging divorce, or the break up of families and upheaval of children, but if a marriage is abusive or oppressive, there is no imperative that a woman must stay in that relationship" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.

Tentu saja beliau tidak mengkampanyekan perceraian. Yang sedang beliau lakukan adalah mengajak masyarakat untuk memperbaiki hubungan pernikahan. Kehidupn berumah tangga hendaknya bisa menjadi surga dunia dan surga akhirat bagi semua anggotanya. Jangan menjadi siksa dan penderitaan bersama.

"Saya sama sekali tidak mempromosikan atau mendorong perceraian, atau pecahnya keluarga dan pergolakan anak-anak. Tetapi jika pernikahan itu kasar atau menindas, tidak ada keharusan bahwa seorang wanita harus tetap berada dalam hubungan itu", ungkap beliau.

Sebagai seorang ulama yang sekaligus konsultan keluarga, beliau prihatin dengan realitas kehidupan beberapa keluarga yang tertekan oleh masalah. "Jelas, kita harus mendorong rekonsiliasi dan konseling, dan talak adalah pilihan terakhir. Tetapi ada perbedaan besar antara pasangan yang saling berkorban, dengan satu orang yang menghancurkan diri mereka sendiri dalam pernikahan atau hubungan apa pun", ungkap beliau.

"Clearly, we should encourage reconciliation and counselling, and talaq is the only ever last resort, but there is a big difference between a couple making mutual sacrifices and one person annihilating them self in a marriage or any relationship" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.

Islam sangat menghendaki kehidupan pernikahan yang sakinah mawadah wa rahmah. Namun suasana ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan dalam pernikahan tersebut tidak selalu berhasil didapatkan. Ada banyak pasangan yang berhasil mendapatkannya, namun ada pula yang tidak berhasil menikmatinya.

Sebagian masyarakat berada dalam hubungan pernikahan yang menindas. Bukan hubungan saling memuliakan dan saling membahagiakan. "Pengorbanan dan kompromi timbal balik menciptakan hubungan yang baik, namun jika mereka sepenuhnya membangun hubungan satu arah, tentu tidak adil", ungkap beliau.

"Mutual sacrifices and compromises create a good relationship, however, if they are entirely one sided they are unjust" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.

Islam telah memberikan perangkat ajaran dalam hubungan pernikahan, agar suami dan istri saling menghormati dan menghargai. Agar suami dan istri menjauhi tindakan saling menyakiti dan menzalimi. Nabi saw memberikan contoh teladan nyata, bahwa hidup berumah tangga adalah kebahagiaan dan kemuliaan. Bukan penderitaan.

Pemahaman yang Keliru Tentang Sabar

"Marriage is not supposed to be life-sentence of suffering, pain under the mistaken impression it is rewarded. This is the wrong definition of marriage" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.

Islam mengajarkan sikap sabar dalam menghadapi setiap kesulitan. Namun sering kali kata sabar ini disalahpahami. Ada pemahaman yang keliru tentang sabar, sehingga diungkapkan tidak pada tempatnya.

Sebagai contoh, ketika pernikahan sering dilanda pertengkaran, maka suami dan istri disarankan untuk sabar. Ini adalah saran yang benar. Namun ketika terjadi penindasan dan tindakan kekerasan / kezaliman yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya --yang bisa membahayakan jiwa, maka menyuruh mereka bertahan dalam pernikahan bukanlah bentuk dari kesabaran.

Bertahan dalam pernikahan yang buruk adalah bentuk kelemahan, bukan bentuk kesabaran. "Pernikahan tidak seharusnya menjadi hukuman seumur hidup penderitaan, rasa sakit di bawah kesan yang salah itu dihargai. Ini adalah definisi pernikahan yang salah", ujar Syaikh Haytham.

"I am addressing this issue because in some communities, from a cultural point of view talaq is viewed as haram and is a big taboo, yet Allah Almighty permitted talaq as an option when all else has failed" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.

Pada sebagian budaya masyarakat, terdapat pemahaman yang menempatkan perceraian sebagai tindakan yang sepenuhnya terlarang, karena menanggung aib. Padahal cerai adalah salah satu syariat Islam, yang ada tuntunannya dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi saw.

Dampak dari pemahaman seperti ini, banyak pasangan memilih bertahan, meskipun pernikahan mereka beracun. "Saya membahas masalah ini karena di beberapa komunitas, dari sudut pandang budaya talak dipandang sebagai haram dan tabu besar", ujar Syaikh Haytham.

"Padahal Allah SWT mengizinkan talak sebagai pilihan ketika semuanya gagal. Nabi saw bersabda, perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian" (HR. Ibnu Majah). Jika sudah tidak ada lagi jalan keluar yang bisa dihadirkan, maka berpisah jauh lebih baik daripada mempertahankan pernikahan yang beracun.

Racun pernikahan bisa sangat membahayakan bagi jiwa anak-anak. Bukan hanya suami atau istri yang terkena dampak racun pernikahan, justru anak-anak yang paling menderita jika hidup dalam keluarga yang saling menyakiti dan menzalimi.

BERSAMBUNG.

Bahan Bacaan

Shaykh Haytham Tamim, Marriage is Not a Life Sentence, https://www.utrujj.org, 27 Juni 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun