"Kita mampir shalat dulu di masjid itu ya Mas", ungkap saya kepada mas Aji "Mylio", seorang difabel yang menggunakan kursi roda untuk beraktivitas. Kami tengah berada dalam perjalanan mengendarai mobil.
"Jangan Pak Cah," jawabnya.
Saya terhenyak dengan jawaban ini. "Kenapa Mas?" tanya saya penasaran. Mengapa ia tidak mau mampir ke masjid untuk shalat?
"Masjid ini tidak ramah difabel. Saya tidak bisa ke toilet, wudhu dan ke ruang utama masjid. Tidak ada sarana untuk orang seperti saya", ujarnya.
Masyaallah. Saya benar-benar terkejut dengan jawaban ini. Ternyata ada sangat banyak masjid yang tidak ramah difabel. Seakan yang boleh ke masjid hanyalah mereka yang memiliki fisik lengkap dan 'normal'.
"Nanti sekitar 500 meter lagi dari sini, ada masjid yang ramah difabel", lanjut mas Aji. Saking sedikitnya masjid ramah difabel, ia sampai hafal di mana saja masjid yang welcome terhadap orang seperti dirinya.
Sayapun mengikuti arahannya. Ia tunjukkan sebuah masjid yang kami lewati di perjalanan. "Nah, kita shalat di sini Pak Cah", ujar mas Aji. Kamipun berhenti menepi, di halaman masjid.
Saya segera membantu mengeluarkan kursi roda mas Aji dari bagasi belakang mobil. Lalu saya dorong mendekat ke pintu mobil. Mas Aji turun dari mobil, berusaha menjangkau kursi rodanya.
Setelah berada di kursi roda, saya mendorongnya menuju masjid. "Pak Cah biarkan saya menggunakan kursi roda sendiri. Biar Pak Cah tahu, bahwa di masjid ini saya bisa melakukan semuanya sendiri, tanpa harus dibantu orang lain", ujar mas Aji.
Benar saja. Dengan cekatan mas Aji mengayuh kursi rodanya dengan tangan, menuju toilet. Ia bisa menggunakan toilet dengan leluasa. Usai dari toilet, ia menuju tempat wudhu, dan bisa berwudhu tanpa harus dibantu untuk menghidupkan dan mematikan kran air.