Kecemburuan dan KeraguanÂ
Dalam studi Apter ditemukan, duapertiga menantu perempuan merasa ibu mertua cemburu dengan hubungan mereka dengan anak laki-lakinya. Sementara duapertiga ibu mertua merasa dikucilkan oleh menantu perempuan mereka.
Dalam buku What Do You Want from Me, dikisahkan seorang perempuan menggambarkan ibu mertua mengharapkan putranya "datang larut malam bahkan untuk mengganti bola lampu". Harapan seperti ini dianggap sangat berlebihan oleh menantu perempuan.
"Two-thirds of women said they felt their mothers-in-law were jealous of their relationships with the sons, while two-thirds of mothers-in-law said they felt excluded by their sons' wives" --Jumana Farouky, 2008.
Penelitian Apter menunjukkan, bahwa keraguan adalah faktor yang mendorong konflik antara menantu perempuan dan ibu mertuanya. "Akar masalahnya adalah kerentanan," ungkap Apter, "ketakutan bahwa hubungan berharga antara ibu dan anak lelaki berada di bawah ancaman setelah anaknya menikah. Para ibu berpikir, 'Apakah saya akan tetap dihargai setelah ia menikah?"
Semestinya, para suami harus proaktif untuk mendamaikan hubungan antara istri dan ibu kandungnya. Kecemburuan akan lebih bisa diatasi apabila anak lelaki mampu menjadi jembatan yang baik antara istri dan ibu kanduingnya. Jangan sampai keduanya terlibat konflik. Sayang, peran ini kurang dilakukan dengan baik oleh para suami.
"Perempuan lebih baik dalam meyakinkan ibu mereka bahwa meskipun hidup mereka berubah, mereka masih terikat pada ibu mereka," kata Apter. "Laki-laki kurang proaktif tentang peran ini."
"The root of the problem is vulnerability... The fear that the valuable relationship between mother and son is under threat as lives change. Mothers are left thinking, 'Will I still be valued for what I bring to the family?" --Jumana Farouky, 2008.
Problem Pengasuhan Anak
Apter menemukan bahwa, dalam semua budaya dam etnis yang masuk dalam penelitiannya, mengasuh anak adalah salah satu sumber konflik yang paling konstan dan menegangkan antara menantu perempuan dan ibu mertua. Pengasuhan anak selalu menjadi tema dalam hampir setiap kisah konflik menantu mertua,
Mertua ingin menyatakan, "Jika saya tidak melihat cucu-cucu saya sebanyak yang saya inginkan, jika saya tidak berpikir mereka dirawat dengan baik, jika saya tidak berpikir mereka dibesarkan dengan cara yang sesuai dengan keyakinan saya tentang kehidupan yang baik, maka masalah dapat terjadi", ujar Apter.
"Setiap keluarga memiliki seperangkat normanya sendiri yang biasanya memudar menjadi latar belakang kehidupan mereka tetapi cenderung muncul di latar depan ketika dua keluarga bergabung," lanjut Apter.
Mengasuh anak-anak penuh dengan kemungkinan masalah yang membuat mertua marah, Di antara tema konflik  menantu perempuan vs ibu mertua adalah popok sekali pakai vs kain, menyusui vs susu formula, video game vs klub catur.
"Raising kids is rife with possible in-law-infuriating issues: disposable diapers vs. cloth, breast-feeding vs. the bottle, video games vs. chess club" --Jumana Farouky, 2008. Â