Konflik menantu vs mertua adalah cerita tak ada habisnya. Hal ini bukan hanya terkait dengan suatu budaya tertentu, misalnya Indonesia, namun terdapat pada semua budaya manusia. Di semua negara, di semua benua, selalu ada cerita konflik menantu -- mertua.
Salah satu hal krusial dalam hubungan menantu -- mertua adalah dalam hal intervensi. Sejauh apakah intervensi boleh terjadi dari mertua kepada menantu? Meskipun bermula dari niat baik, namun intervensi yang berlebihan akan cenderung menghasilkan ketidaknyamanan.
Adab dalam Intervensi
Untuk itu, mertua harus mengetahui batas dalam melakukan intervensi. Harus menahan diri untuk tidak cepat-cepat terlibat dalam kehidupan menantu. Mertua harus membekali diri dengan adab dalam intervensi, agar maksud baik bisa dilakukan dengan cara yang baik dan mendapatkan hasil yang baik.
Ada beberapa adab yang selayaknya diterapkan mertua, dalam melakukan intervensi terhadap keluarga anak dan menantunya.
- Tidak mencampuri privasi
"Ibu mertua masih memperlakukan suami saya seperti anak kecil. Suami saya adalah anak bungsu yang sangat disayang dan dimanja oleh mamanya. Seakan ia tidak rela anaknya hilang dari penglihatan matanya", demikian ujar seorang istri.
Terkadang, mertua melihat anak lelakinya seperti anak kecil yang imut dan menggemaskan. Mereka tidak menyadari bahwa anak lelakinya sudah tumbuh dewasa, menjadi suami dan bahkan ayah.
Sikap-sikap intervensi sampai level mencampuri privasi misalnya, tidak mengizinkan meninggalkan rumah orangtua, melarang anak dan menantunya melakukan kegiatan di luar rumah, membatasi pergaulan anak dan menantu, dan lain sebagainya. Tindakan intervensi sampai level privasi ini akan membuat anak serta menantu merasa terzalimi.
- Posisikan menantu sebagai orang dewasa
"Mertua saya mengharuskan kami selalu berkonsultasi untuk setiap keputusan yang akan kami ambil dalam keluarga. Saya dan suami merasa tidak dipercaya. Kami diperlakukan seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa", ujar seorang istri.
Terkadang mertua sangat perfeksionis. Melihat anak dan menantunya "belum bisa apa-apa", sehingga harus diinstruksi dalam segala sesuatu. Pola intervensi seperti ini, satu sisi menandakan tidak menempatkan menantu sebagai orang dewasa. Sisi lain, membuat tidak ada kemandirian dan pemberdayaan pada anak dan menantu.
- Jangan bergantung kepada anak
"Mertua saya sangat tergantung dengan suami. Segala sesuatu harus diurus oleh suami saya. Termasuk dalam urusan dana. Waktu, resources dan perhatian suami saya habis untuk orangtuanya", ujar seorang istri.
Seorang anak lelaki yang paling berhasil dalam sebuah keluarga, kadang menjadi tumpuan harapan dari semua anggota keluarga tersebut. Ayah dan ibunya bergantung dalam urusan finansial dan keputusan.
Hal ini berkebalikan dengan poin sebelumnya. Jika ada sebagian mertua yang tidak percaya kepada anak dan menantunya, maka ada mertua yang bergantung kepada anaknya. Segala sesuatu harus disampaikan kepada sang anak, sehingga mengganggu kehidupan keluarga anak dan menantunya.
- Jangan terlalu detail
"Ibu mertua saya selalu ingin tahu segala sesuatu tentang rumah tangga saya. Berapa banyak saya mendapat uang dari suami, bagaimana saya menggunakan uang itu, semua ditanya", keluh seorang istri.
Intervensi yang terlalu detail, dalam bentuk pertanyaan apalagi 'laporan keuangan', membuat tidak nyaman menantu. Dirinya merasa tidak dipercaya, dan privasinya terganggu.
Menantu merasa dicurigai dan dimata-matai oleh mertua. Sampai sang menantu menjadi depresi oleh tuntutan mertua yang selalu bertanya tentang segala sesuatu. Pengetahuan mertua yang terlalu detail ini, justru bisa membuat dirinya terpancing untuk melakukan intervensi yang lebih dalam lagi.
- Menghormati keputusan
"Semua yang kami putuskan selalu ditolak dan ditentang oleh mertua. Kami tidak bisa mengambil keputusan untuk keluarga kami sendiri", ujar seorang istri.
Sebagai sebuah keluarga baru, wajar jika masih belajar. Semua sedang berproses menuju kondisi yang lebih baik. Mereka tengah belajar membuat keputusan terbaik untuk keluarga baru tersebut, maka hargailah.
Sepanjang keputusan tersebut tidak melanggar prinsip agama, etika, dan hukum yang berlaku, hendaknya mertua bisa menghormati keputusan keluarga menantu. Jangan gunakan hak veto yang membuat anak dan menantu merasa tidak berdaya.
- Menasehati dalam kebaikan
"Omongan mertua saya sangat kasar. Saya sangat khawatir bahwa itu menjadi doa-doa untuk kami. Mengapa ia tidak bisa memilih omongan yang lebih baik dan positif?" keluh seorang istri.
Secara tidak sadar, ada mertua yang senang memilih kosa kata kasar dan jelek. Seperti misalnya, "Dasar bego, dasar dungu, dasar menantu bejat", dan yang semacamnya. Tentu saja ucapan itu menyakiti perasaan sang menantu. Bukan hanya itu, tetapi juga dikhawatirkan ucapan itu bermakna mendoakan dan mendorong agar sang menantu menjadi bego, dungu atau bejat.
Hendaknya mertua menasehati menantu dengan cara yang baik, apabila ditemukan adanya tindakan yang tidak patut. Bukan mengumpat atau memaki, namun mengajaknya bicara dari hati ke hati. Berikan nasehat untuk memperbaiki, pada waktu dan suasana yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H