Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menantu Memberimu Tiga Status Baru

22 Juli 2021   06:25 Diperbarui: 22 Juli 2021   06:47 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya bingung dengan sikap ayah saya. Semua laki-laki yang datang melamar saya, selalu ditolak oleh ayah. Umur saya sudah lebih 30. Sampai kapan saya akan harus sabar dengan sikap penolakan ayah tersebut? Bolehkah saya kawin lari?"

Pertanyaan tersebut diungkapkan oleh seorang wanita, yang merasa dirugikan oleh sikap ayahnya. Sang ayah selalu menolak setiap laki-laki yang meminangnya. Sudah lebih dari lima lelaki datang, namun tidak satupun yang memenuhi kriteria sang ayah.

Mengapa ada ayah yang bersikap demikian terhadap calon menantu? Tentu ada sangat banyak sebab. Namun salah satunya adalah, dirinya belum memiliki mental sebagai mertua. Belum siap melepas anak. Belum siap menerima kehadiran orang baru di rumahnya, berupa menantu.

Keluarga Selalu Tumbuh dan Berkembang

Mengapa perlu persiapan mental untuk menjadi mertua? Karena ada kondisi dan situasi yang berubah dan berbeda, antara sebelum menjadi mertua dengan setelah menjadi mertua. Ada fase atau tahap yang dilalui keluarga, dengan corak yang khas di setiap fasenya. Dalam setiap perkembangan fase ini, perubahan terjadi secara nyata.

Ada sangat banyak perubahan yang terjadi pada keluarga, seperti perubahan pola interaksi dan hubungan antar anggota keluarga di sepanjang waktu. Hal itu terjadi karena suami dan istri secara individu selalu tumbuh dan berkembang, maka akan mempengaruhi corak interaksi di antara mereka di sepanjang perjalanan kehidupan.

Friedman (1986) menyatakan, meskipun setiap keluarga melalui tahapan perkembangannya masing-masing secara unik, namun pada dasarnya seluruh keluarga mengikuti pola yang relatif sama. Masing-masing memiliki kondisi dan memerlukan waktu yang berbeda-beda untuk menempuh setiap tahapan perkembangan, namun ada pola yang sama.

Duvall dan Milller mengajukan teori "8 Stages of The Family Life Cycle" untuk menjelaskan tahap-tahap perjalanan kehidupan sebuah keluarga dari awal sampai akhirnya. Menurut Duvall -- Miller, pada dasarnya perkembangan sebuah keluarga melalui delapan tahap.

Tahap 1 : Keluarga Baru

Tahap pertama sebuah keluarga dimulai pada saat seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga melalui proses perkawinan. Setelah menikah, mereka berdua mulai diakui sebagai sebuah keluarga yang eksis di tengah kehidupan masyarakat.

Tahap 2 : Keluarga dengan Kelahiran Anak Pertama

Keluarga baru yang sudah terbentuk, akan mulai mengalami perubahan ketika sudah terjadi kelahiran anak pertama. Ada yang mulai berubah dalam interaksi di antara suami dan istri karena hadirnya "pihak ketiga" berupa anak yang harus diasuh dan dididik oleh mereka berdua.

Tahap 3 : Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah

Tahap ketiga sebuah keluarga dimulai ketika anak pertama melewati usia 2,5 tahun, dan berakhir saat ia berusia 5 tahun. Orangtua mulai disibukkan oleh seorang balita yang menyita habis waktu serta perhatian, terutama dari sang ibu. Anak mulai berulah, anak mulai punya keinginan, dan anak mulai dipersiapkan untuk memasuki bangku sekolah.

Tahap 4 : Keluarga dengan Anak-anak Sekolah

Tahap keempat dalam kehidupan keluarga dimulai ketika anak pertama mulai berumur 6 tahun, berakhir pada saat anak berumur 12 tahun. Anak pertama mulai masuk Sekolah Dasar. Pada tahap ini biasanya keluarga mencapai jumlah maksimal sehingga suasana menjadi sangat sibuk.

Tahap 5 : Keluarga dengan Anak Remaja

Tahap kelima kehidupan sebuah keluarga dimulai ketika anak pertama masuk SMP dan SMA. Suasana keluarga kembali berubah, karena mulai ada anak usia remaja di antara mereka, dimana pada tahap sebelumnya belum ada. Orangtua harus kembali belajar, bagaimana mendidik anak remaja.

Tahap 6 : Launching, Keluarga dengan Anak Dewasa

Tahap keenam dimulai sejak anak pertama meninggalkan rumah, berakhir pada saat anak terakhir meninggalkan rumah sehingga rumah menjadi kosong. Maka disebut sebagai Launching Family, karena ada peristiwa "pelepasan" anak meninggalkan rumah induk. Pada tahap keenam ini, mulai ada sangat banyak perubahan dalam komposisi keluarga.

Tahap 7 : Keluarga Usia Pertengahan

Tahap ketujuh dalam kehidupan sebuah keluarga dimulai saat anak yang terakhir telah meninggalkan rumah. Berakhir saat masa pensiun kerja atau salah satu dari suami atau istri meninggal dunia. Pada tahap ini sudah tidak ada lagi anak yang tinggal bersama mereka. Semua anak sudah "meninggalkan" rumah, baik dalam artian fisik maupun dalam artian psikologis.

Tahap 8 : Keluarga Orangtua Usia Lanjut

Tahap kedelapan yang menjadi tahap terakhir dari perjalanan sebuah keluarga. Dimulai ketika salah satu dari suami dan istri atau keduanya sudah mulai pensiun kerja, sampai salah satu atau keduanya meninggal dunia. Biasanya tinggal nenek saja, atau kakek saja.

Menjadi Mertua : Keluarga Tahap Keenam

Ketika di antara anak ada yang sudah menikah, maka keluarga tersebut memasuki tahap keenam dari perjalanannya. Ada suasana yang sangat berbeda dengan tahap-tahap sebelumnya. Status suami dan istri sudah berubah di tahap keenam ini, yaitu menjadi mertua. Tidak lama kemudian berubah lagi, menjadi kakek dan nenek.

Di fase keenam inilah, muncul dinamika mertua dan menantu. Di fase kelima baru ada anak remaja. Di fase keenam, mulai hadir orang baru berupa menantu, namun juga 'kehilangan' seorang anak lantaran sudah membangun rumah tangga sendiri.

Memasuki fase keenam memerlukan persiapan mental yang memadai. Mental keluarga tahap keenam, antara lain:

  • Mental siap melepas (launching) anak

Orangtua harus memiliki mental siap melepas anak. Jika anak perempuan menikah, maka ia harus dilepaskan untuk membangun hidup mandiri dengan suami. Jika anak lelaki menikah, maka ia harus dilepas untuk memiliki kehidupan sendiri bersama sang istri.

Mengapa sering muncul kecemburuan dari mertua kepada menantunya? Karena tidak siap melepas anak. Kehadiran menantu seakan merenggut kepemilikan orangtua atas anak. Sang menantu --sosok orang asing yang tiba-tiba berkuasa penuh atas anaknya.

Perasaan kehilangan ini kerap menimbulkan sikap-sikap yang tidak tepat. Tidak siap melepas anak, menyebabkan orangtua masih "menguasai" anak, padahal sang anak sudah menikah. Mentalnya masih menjadi keluarga fase tiga atau empat. Padahal sekarang sudah di fase enam.

Seorang ibu menyatakan, menantunya telah merenggut anaknya. "Ia datang hanya untuk merenggut anakku dari rumahku". Ia tidak siap mental untuk 'kehilangan' sang anak kesayangan.

  • Mental siap menerima menantu

Anda tidak bisa sepenuhnya menentukan siapa menantu Anda. Yang akan memilih adalah anak Anda, dengan siapa dirinya menikah. Sebagai orangtua Anda hanya mendidik dan mengarahkan, agar anak mampu memilih calon pendamping hidup terbaik untuk dunia dan akhiratnya.

Anda juga tidak bisa menerapkan prosedur "test penerimaan calon menantu" seperti perusahaan. Sebab sikap mempersulit 'penerimaan' lamaran menikah justru bisa menjadi awal konflik menantu -- mertua.

Yang harus kita lakukan adalah menyiapkan mental untuk menerima kehadiran orang baru, bernama menantu. Semua anggota keluarga harus bersiap menyesuaikan diri dengan hadirnya orang baru.

  • Mental siap menerima besan

Hadirnya menantu tidak sendirian. Ia datang dengan orangtuanya. Inilah yang disebut sebagai besan. Kita menerima menantu sekaligus orangtuanya, yang menjadi besan kita.

Setelah anak menikah, dua status baru langsung kita dapatkan, yaitu sebagai mertua dan sebagai besan sekaligus. Pola hubungan dalam keluarga mulai bertambah luas. Kini ada dua keluarga besar yang terajut melalui hubungan pernikahan.

Sebagai besan, harus berusaha berkomunikasi dan berinteraksi yang baik dengan orangtua dan keluarga menantu. Mengupayakan agar terjadi harmoni dari dua keluarga besar yang saling menguatkan.

Konflik antar besan, bisa menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga sang anak. Demikian pula sebaliknya. Konflik dalam rumah tangga anak bisa menjadi pemicu konflik antar besan. Ini harus sangat dijaga agar tidak terjadi.

  • Mental siap menerima cucu

Keluarga baru yang dibentuk oleh sang anak dan menantu, mulai memasuki tahap pertama kehidupan rumah tangga. Setelah mereka dikaruniai anak, maka status berubah lagi menjadi kakek dan nenek. Ini harus bersiap mental, karena tampak sudah semakin tua. Disebut kakek dan nenek memerlukan persiapan mental.

Inilah status ketiga yang didapatkan setelah memiliki menantu, yaitu menjadi kakek dan nenek. "Tidur bareng nenek", adalah gurauan yang menakutkan bagi para suami. "Tidur menemani kakek" adalah candaan yang tidak menyenangkan bagi istri.

Itu sebabnya banyak yang menyuruh istrinya kuliah lanjut S2 atau S3, agar bisa mengubah gurauan tersebut. "Saya tidur dengan mahasiswi", karena istrinya menempuh studi S2 saat sudah memiliki cucu. Meski gurauan, ini menunjukkan betapa pentingmempersiapkan mental untuk menerima kehadiran cucu.

Daftar Pustaka

Evelyn M. Duvall & Brent C. Miller, Marriage and Family Development, Philadelphia; J.B. Lippincott Company, 1997

Marilyn M. Friedman, Family Nursing: Theory and Assessment, Fleschner Publishing Company, 1986

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun