Berapa panjang jarak dari menikah hingga menjadi mertua? Jaraknya adalah sepanjang perjalanan mendaki enam anak tangga. Dari anak tangga pertama, hingga anak tangga ke enam. Ini menggunakan pendekatan Duvall-Miller.
Menurut Duvall-Miller, anak tangga pertama kehidupan berumah tangga adalah pengantin baru. Sepasang pengantin yang baru menikah membentuk rumah tangga, hanya ada suami dan istri yang saling berinteraksi.
Sedangkan anak tangga keenam adalah saat orangtua mulai melepas anak-anaknya untuk mandiri. Di fase ini, satu per satu anak dalam keluarga induk sudah menikah, dan hidup mandiri. Mereka sudah membentuk keluarga sendiri, dengan kartu keluarga baru, sebagai fase pertama kehidupan berumah tangga masing-masing.
Sedangkan orangtua di rumah tangga induk, mulai melepas anak --istilah Duvall-Miller : launching. Inilah anak tangga keenam dari keseluruhan fase hidup berumah tangga.
Perhatikan, ternyata jarak dari proses seseorang menikah hingga dirinya menjadi mertua, hanyalah sepanjang enam anak tangga. Panjang atau pendek? Jika ditanyakan kepada pengantin baru, jawabannya adalah panjang, karena mereka belum membayangkan menjadi mertua.
Jika pertanyaan itu ditanyakan kepada orangtua yang telah berada di anak tangga keenam, jawabannya adalah pendek. Mereka merasa, betapa cepat waktu berlalu. Menikah, menjalani rutinitas rumah tangga, tahu-tahu sudah punya menantu. Hidup di dunia ini memang terlalu singkat.
Problem yang sering muncul adalah, banyak orang melewati anak tangga kehidupan berumah tangga hanya dengan spontanitas tanpa ilmu dan pengetahuan. Tanpa persiapan yang memadai. Ilmu hidup berumah tangga tidak bertambah, padahal fase kehidupan terus berubah.
Kegagapan sering terjadi. Tidak mengetahui bagaimana seharusnya interaksi menantu dengan mertua. Tidak mengetahui bagaimana seharusnya berinteraksi dengan besan. Tak jarang muncul konflik dan bahkan permusuhan, akibat tidak dimilikinya ilmu, pengetahuan dan keterampilan 'baru' sebagai mertua.
Persiapan-Persiapan Menjadi Mertua
Bukan hanya para lajang yang harus memiliki persiapan untuk menikah. Para orangtua yang telah berada di fase keenam, juga harus melakukan persiapan untuk menjadi mertua.
Ada beberapa jenis persiapan yang penting dimiliki oleh para orangtua, agar bisa menjadi mertua arif bijaksana. Mertua yang dirindukan para calon menantu. Bukan mertua yang ditakuti, dibenci serta dimusuhi menantu.
Pertama, Persiapan Ilmu
Ilmu kita harus terus menerus bertambah di sepanjang menjalani kehidupan berumah tangga. Mencari ilmu, menambah pengetahuan, meluaskan wawasan, adalah cara untuk menjaga kebaikan bagi diri, keluarga, masyarakat dan bangsa.
Dalam pandangan agama, belajar dan menambah ilmu pengetahuan termasuk kewajiban yang utama. Sebagian ulama menyatakan,
"Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat".
Ungkapan di atas sering disebut sebagai hadits oleh masyarakat Indonesia. Mungkin karena sangat terkenal dan disampaikan dengan bahasa Arab, "uthlubul ilma minal mahdi ilallahdi", sehingga dikira hadits. Padahal ungkapan di atas bukanlah hadits.
Ungkapan di atas merupakan mutiara hikmah yang diucapkan oleh ulama. Bukan oleh Nabi Muhammad saw. Berisi ajakan untuk terus menerus belajar sejak dari kecil saat digendong orangtua, hingga masuk laing lahat.
Ilmu Menjadi Mertua
Untuk menjadi mertua yang dirindukan menantu, diperlukan banyak ilmu. Di antaranya adalah:
- Ilmu Agama
Mertua harus mengetahui hukum-hukum syariat yang terkait dengan posisi menantu dan besan. Â Sebagai contoh dalam status hubungan mahram, antara mertua dengan menantu.
Syariat memandang, mertua adalah mahram muabbad bagi menantunya. Artinya, menantu haram dinikahi selamanya oleh mertua, meskipun istri atau suami (anak dari mertua) telah cerai atau meninggal dunia.
Hal ini telah disebutkan dalam ayat Al Qur'an:
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu" (QS. An-Nisa': 22).
Di antara perempuan yang haram dinikahi, disebutkan dalam ayat,
"Ibu-ibu isterimu (mertua) (QS. An-Nisa': 22-23).
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya  menjelaskan, "Adapun ibu mertua, maka ia menjadi mahram ketika terjadinya akad nikah dengan anaknya, walau si anak sudah atau belum disebutuhi".
Dampak dari status hubungan menantu -- mertua yang dinyatakan sebagai mahram muabbad, sangatlah luas. Berkaitan dengan cara dan batasan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari, seperti cara berpakaian, etika pergaulan antara menantu dengan mertua, dan lain sebagainya.
Bersambung.
Bahan Bacaan
M. Saifudin Hakim, Perjalanan Panjang Meraih Ilmu, Bersabarlah! 5 Desember 2016
Muhammad Abduh Tuasikal, Berjabat Tangan dengan Ibu Mertua, 4 Maret 2012
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI