Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Empat Pilar Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali

28 Mei 2021   19:55 Diperbarui: 28 Mei 2021   19:57 8552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : Republika Penerbit

Telah banyak orang membahas akhlak yang terpuji, namun sayangnya mereka tidak menyinggung sama sekali tentang hakikat akhlak (hal 185). Kata "al-khalqu" (ciptaan, makhluk) dan "al-khuluqu" (akhlak) adalah dua kata yang bisa digunakan secara bersamaan. Misalnya, "Fulan adalah seseorang yang bagus bentuk fisiknya (al-khalqu) dan bagus akhlaknya (al-khuluqu)". Yang dimaksud al-khalqu adalah bentuk fisik atau lahiriyah, sedangkan al-khuluqu adalah bentuk jiwa atau batiinyah" (hal 187).

Jiwa dapat dilihat melalui penglihatan hati lebih tinggi tingkatannya dibandingkan jasad / fisik yang dapat dilihat melalui penglihatan lahiriyah. Allah mengagungkan sisi jiwa dengan disandarkan langsung kepada-Nya, adapun jasad disandarkan kepada tanah, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Shad : 71  - 72 (hal 187).

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah".

Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".

Kata ruh dalam ayat di atas bermakna jiwa. Kata al-khuluqu (akhlak) menggambarkan kondisi dalam jiwa yang menetap di dalamnya. Dari kondisi dalam jiwa tersebut lahirlah perbuatan-perbuatan dengan mudah / spontan, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi (hal 188).

Apabila dari kondisi jiwa tersebut muncul perbuatan baik dan terpuji, maka disebut sebagai akhlak yang baik. Sedangkan apabila  muncul perbuatan buruk dan tercela, maka disebut sebagai akhlak yang buruk (hal 188).

Akhlak tidak selalu tampak melalui perbuatan lahiriyah. Misalnya orang yang akhlaknya pemurah, namun tidak pernah memberi orang lain. Bisa jadi karena tidak memiliki harta untuk diberikan, atau karena ada penghalang lainnya. Ada pula orang yang akhlaknya bakhil, namun sering memberikan harta kepada orang lain karena ada pihak yang memaksa atau karena motivasi riya' (hal 188).

Hakikat akhlak tidak bisa disetarakan dengan konsep ma'rifat. Sebab ma'rifat selalu berkaitan dengan hal-hal mulia, tidak pernah berhubungan dengan hal-hal tercela. Sedangkan akhlak, bisa berbentuk baik bisa pula berbentuk buruk (hal 189).

Empat Pilar Akhlak

Hakikat akhlak terkait dengan kondisi jiwa yang bercorak batiniyah. Dalam konteks batiniyah, terdapat empat pilar yang harus selalu ada, yaitu kekuatan ilmu, kekuatan ketegasan, kekuatan pengendalian atas hawa nafsu dan kekuatan bertindak adil / seimbang (hal 189).

Pertama kekuatan ilmu. Kebaikannya terletak pada perwujudan dari kekuatan ilmu itu sendiri. Apabila kekuatan ilmu ini baik, niscaya akan menghasilkan hikmah kebaikan darinya. Hikmah adalah bagian dari pokok akhlak yang baik, sebagaimana QS. Al-Baqarah : 269 (hal 189).

Pemakaian hikmah yang berlebihan disebut perbuatan keji atau kecerdikan yang mengandung kebusukan. Sedangkan kurangnya pemakaian hikmah disebut sebagai kejahilan. Posisi di tengah-tengah, atau seimbang, itulah yang disebut sebagai hikmah.

Kedua, kekuatan ketegasan. Kebaikannya terletak pada sikap mampu mengekang dan melepas. Menurut batas yang diperlukan oleh hikmah / kebijaksanaan. Perumpamaannya seperti anjing yang diajak menjaga binatang buruan. Anjing itu memerlukan didikan sehingga lari dan berhentinya harus sesuai dengan perintah pemiliknya, bukan semaunya sendiri (hal 190). Baiknya kekuatan ketegasan, disebut sebagai syaja'ah atau keberanian (hal 190).

Apabila kekuatan ketegasan cenderung kepada sikap kaku dan berlebihan, maka disebut sebagai tahawwur (asal berani, ngawur). Apabila sikap tegas cenderung kepada menutupi kelemahan, disebut sebagai pengecut atau penakut (hal 190).

Ketiga, kekuatan pengendalian atas hawa nafsu. Kebaikannya terletak pada apabila berada di bawah isyarat hikmah / kebijaksanaan. Yaitu isyarat akal dan perintah syariat. Perumpamaan hawa nafsu seperti kuda yang dinaiki untuk mencari buruan. Kadang kuda itu mau dan mampu dilatih, namun pada kesempatan lain kuda itu tidak patuh kepada pemiliknya (hal 190).

Bagusnya kekuatan pengendalian hawa nafsu disebut sebagai iffah. Apabila cenderung berlebihan, maka disebut sebagai rakus. Apabila cenderung kurang, maka disebut kejumudan (hal 190).

Keempat, kekuatan keadilan / keseimbangan. Kebaikannya terletak pada penjagaan isyarat akal dan perintah syariat. Seperti orang yang melakukan kebaikan atau orang yang meneruskan isyarat akal demi melakukan kebaikan (hal 190). Dengan sikap adil, tidak ada ujung yang berleihan, tidak ada pula ujung yang kekurangan (hal 191). Sikap yang terpuji adalah yang berada pada porsi di tengah-tengah. Itulah keutamaan (hal 190).

Maka dapat disimpulkan, bahwa pokok-pokok akhlak itu terdiri dari empat pilar, yaitu hikmah, keberanian, menjaga kehormatan dan keadilan (hal 191).

Seimbang dalam Semua Aspek

Sikap hikmah adalah keadaan jiwa yang dapat digunakan untuk mengatur sikap marah dan nafsu syahwat, serta mengarahkannya sesuai kehendak hikmah. Keberanian adalah sikap jiwa yang  mampu mengendalikan sikap marah , dan menundukkannya dengan fungsi akal. Menjaga kehormatan diri adalah mendidik syahwat berdasarkan isyarat akal dan aturan syariat (hal 191).

Dengan lurusnya empat pilar tersebut, terbentuklah akhlak yang baik di semua sisi kehidupan (hal 191). Lurusnya hikmah mampu menghasilkan penalaran yang cermat, kejernihan hati, kecerdasan berpikir, kebenaraan persangkaan, kecerdasan berasumsi, dan sanggup mengantisipasi bahaya-bahaya jiwa yang tersembunyi (hal 191).

Pemakaian akal yang berlebihan akan timbul sifat licik, jahat, suka menipu, memperdaya dan penuh tipu muslihat jahat. Berkurangnya pemakaian akal akan menimbulkan kejahilan, dungu, tidak memiliki kepandaian, dan tidak mampu bersikap secara tepat (hal 191).

Keberanian akan melahirkan sikap pemurah, tegas, mengekag hawa nafsu, menanggung penderitaan, penyantun, berpendirian teguh, menahan sikap kasar, berhati mulia, cinta kasih, dan lain sebagainya (hal 191).

Keberanian yang berlebihan, melahirkan sikap sombong, cepat marah, takabur dan ujub. Kurangnya keberanian menimbulkan rendah diri, sikap hina, penyesalan, kecil nyali, dan tidak mampu menuntut haknya yang wajib (hal 191).

Menjaga kehormatan diri menghasilkan hati yang pemurah, rasa malu, sikap sabar, pemaaf, syukur, sabar, wara', tolong menolong dan tidak tamak. Sikap berlebihan dalam menjaga kehormatan diri, dapat menghasilkan perilaku rakus,  sedikit rasa malu, keji, boros, kikir, mencela diri, hasad, mengadu domba, merendahkan diri di hadapan orang kaya, meremehkan orang miskin, dan lain sebagainya (hal 191).

Barangsiapa yang berusaha menggabungkan kesempurnaan dari keempat pilar di atas, maka merekia berhak menempati derajat malaikat yang mulia. Barangsiapa tidak memiliki keempat pilar di atas, maka mereka tidak pantas menyandang status sebagai manusia (hal 191).

Masjid Al Ghozali Yogyakarta, 27 Mei 2021

Disarikan oleh Cahyadi Takariawan, dari buku karya Imam Al Ghazali, Ihya Ulumiddin, Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama, Jilid 4, Keajaiban Kalbu, Republika Penerbit, Jakarta, 2017

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun