Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mumpung Ramadhan, Miliki Self Awareness

16 April 2021   07:26 Diperbarui: 16 April 2021   07:29 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Research suggests that when we see ourselves clearly, we are more confident and more creative" (Tasha Eurich, 2018)

.

Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab Kimiya As-Sa'adah menyatakan bahwa mengenal diri (ma'rifatun nafs) adalah kunci untuk mengenal Allah. Beliau mengutip firman Allah:

"Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di seluruh penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah kepada mereka bahwa Al-Qur'an itu benar. Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu" (Fushilat : 53).

Imam Al-Ghazali juga mengutip riwayat:

"Man 'arafa nafsahu arafa Rabbahu. Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya"[i].

 Al-Ghazali menganggap, orang-orang yang merasa sudah mengenali dirinya sendiri dengan mengatakan, "Saya mengenal diri saya sendiri. Saya punya tangan, kaki, kepala, perut", mereka belum mengenal dirinya sendiri. Mereka hanya mengerti hal-hal fisik.

 Ungkapan orang-orang tersebut, belum bisa menggambarkan apa yang terjadi dalam diri kita ketika kita marah, bemusuhan, berhasrat, menikah, ketika kita lapar kita mencari makan, dan ketika haus kita mencari minum. Menurut Al-Ghazali, jika hanya mengetahui ini saja, kita masih sama dengan hewan yang berada di muka bumi.

Hal ini sejalan dengan hasil studi yang dilakukan oleh Dr. Tasha Eurich. Ia menemukan, 95% orang merasa diri mereka memiliki self-awareness, namun kenyataannya hanya 15% dari mereka yang benar-benar sadar diri.

Urgensi Self Awareness

Ma'rifatun nafs atau self awareness sangat penting bagi kehidupan manusia. Berbagai sifat positif akan bisa dioptimalkan, berbagai sifat negatif akan bisa dihilangkan --apabila mengenal dan menyadari diri sendiri.

Self awareness atau kesadaran diri adalah pengenalan yang mendalam dan menyeluruh, serta perhatian terhadap diri sendiri, terkait kelebihan dan kekurangan, potensi dan hambatan, serta pengaruh lingkungan. Orang yang memiliki self awareness, cenderung mengenal secara jelas berbagai macam kondisi diri, baik berupa kekuatan maupun kelemahan.

Tasha Eurich menyatakan, "Research suggests that when we see ourselves clearly, we are more confident and more creative". Di sinilah salah satu jawaban yang bisa diberikan, mengapa pebisnis senior bisa terkalahkan oleh pebisnis baru. Ketika para pebisnis baru lebih memiliki self awareness, maka dirinya menjadi lebih percaya diri dan lebih kreatif.

Perhatikan fenomena di sekitar kita. Restoran yang sudah sangat lama berdiri dan terkenal, bisa kalah oleh restoran yang baru saja buka. Perusahaan yang sudah sangat besar, bisa kalah bersaing dengan perusahaan yang masih kecil. Guru yang sudah senior, bisa dikalahkan kemampuan mengajarnya oleh guru baru.

Gejala tersebut tentu ada sangat banyak penyebab dan penjelasannya. Namun salah satu poin penting yang menjadi penyebab, mengapa mereka yang sudah ahli dan ternama, bisa kalah oleh pendatang baru? Atau, mengapa pendatang baru bisa melejit meninggalkan mereka yang sudah senior? Penyebab itu bernama ma'rifatun nafs atau self-awareness.

Mengapa Gagal Memiliki Self Awareness?

Sangat banyak orang yang ternyata tidak memiliki self awareness. Menurut Dr. Tasha Eurich, ada tiga hal yang menyebabkan kondisi ini. Mari kita cermati, adakah ketiganya bersarang dalam diri kita?

  • Adanya blind spot

Setiap manusia memiliki titik buta atau blind spot dalam dirinya. Kita tidak akan mungkin mengenali diri kita seutuhnya. Ada bagian dari diri kita yang hanya bisa diketahui oleh orang lain. Menurut Tasha Eurich, hal ini karena sebagian besar perilaku kita telah bersifat otomatis, sehingga kita tidak selalu sadar dengan apa yang kita lakukan.

Ketika sebuah aktivitas sudah menjadi rutinitas harian, maka akan bertemu dengan blind spot dalam dirinya. Seseorang cenderung tidak bisa lagi mengetahui secara utuh kualitas aktivitasnya, karena terhalang oleh titik buta.

Ketika shalat sudah menjadi rutinitas, seseorang bisa gagal menilai kualitas shalatnya. Karena telah menjadi perilaku mekanis. Ketika tilawah sudah menjadi rutinitas, bisa membuat pelakunya merasa sudah benar dan sempurna. Kita memerlukan orang lain untuk mengoreksi dan memberikan masukan.

  • Gejala feel-good effect

Makin senior dan makin ahli seseorang, akan membuat dirinya merasa semakin berkualitas. Manusia akan merasa bahagia saat melihat sisi kelebihan dirinya. Pada kondisi itu, mereka akan cenderung fokus hanya pada kelebihan yang dimiliki, dan cepat merasa puas.

Bahkan para ahli ibadah bisa terjebak dalam feel-good effect ini. Ketika merasa sudah banyak ibadah, ketika merasa sudah banyak menjalankan ketaatan, ketika sudah menjauhi kemaksiatan, seseorang merasa sudah aman dan sudah baik. Manusia cenderung merasa cepat puas dengan kebaikan yang dilakukan, karena merasa sudah banyak beramal.

  • Terjebak cult of self

Saat seseorang makin produktif dan dikenal luas oleh publik, bisa menyebabkan dirinya merasa besar. Saat ia mulai mengkultuskan diri sendiri, maka ia kehilangan self awareness. Perasaan kebesaran yang dimiliki membuat dirinya telah benar-benar hebat. Tak lagi melihat cela dalam dirinya.

Dalam dunia modern saat ini, bisa jadi cult of self ini muncul sebagai akibat dari popularitas yang tercipta melalui sosial media. Seseorang merasa hebat, merasa besar, merasa excellent, padahal kenyataannya tidak sehebat yang dikira. Bahkan bisa jadi hanya kehebatan dan kebesaran yang semu.

Meningkatkan Self Awareness

Untuk mengenali diri sendiri yang sejati, harus dimulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang diri. Imam Al-Ghazali berpendapat, pertanyaan mendasar untuk mengenal diri sendiri adalah "Apa dan siapa saya? Saya datang dari mana? Untuk apa saya tercipta ? Apa yang membuat saya menjadi bahagia dan sengsara?"

"Who am I" adalah pertanyaan mendasar, untuk menemukan kesejatian diri. Dengannya akan mempertautkan dengan pengenalan kepada kehadiran dan intervensi Allah dalam diri. Mengenali dan mengerti, bahwa ada intervensi Allah dalam detak jantung, dalam denyut nadi, dalam tarikan nafas, dalam aliran darah, dalam lintasan pemikiran, dalam kondisi hati setiap hari.

 Diperlukan upaya serius untuk menyadari tiga gejala yang dinyatakan Tasha Eurich di atas. Harus sadar bahwa dalam diri setiap manusia ada blind spot. Ketika menjadi khalifah, Umar bin Khathab pernah mendatangi Hudzaifah. "Wahai Hudzaifah, apakah engkau melihat adanya kemunafikan dalam diriku?"

"Tidak ada, wahai Amirul Mukminin!"

"Janganlah engkau sungkan mengatakannya," kata Umar.

"Sungguh tidak ada, hanya saja engkau masih menyimpan dua stel pakaian. Satu engkau pergunakan pada musim dingin, dan satunya lagi untuk musim panas!"

Mendengar penjelasan tersebut, Umar segera menyedekahkan satu stel pakaian yang masih disimpannya, walau sebenarnya Hudzaifah tidak menyebut hal itu sebagai tanda adanya kemunafikan dalam diri Umar.

Umar bin Khathab --salah satu sahabat Nabi yang dijamin masuk surga, masih mengkhawatirkan dalam dirinya ada blind spot. Maka ia bertanya, meminta feedback dari sahabat yang terpercaya, Hudzaifah tentang sifat kemunafikan yang mungkin ada dalam dirinya. Ini adalah cara meningkatkan self awareness.

Kita juga harus berusaha menghindari feel-good effect. Di bulan Ramadhan, kita berpuasa, shalat tarawih, banyak bersedekah, banyak berdoa dan amal kebaikan lain. Dengan itu bisa muncul perasaan, "Alhamdulillah, amalku sudah banyak, sehingga sudah cukup untuk masuk surga melalui pintu Ar-Rayyan".

Terlebih lagi, jangan sampai kita memiliki cult of self. Mengkultuskan diri, seakan sudah alim, seakan sudah abid, seakan sudah taqwa, seakan sudah sempurna amalnya. Tidak merasakan ada yang kurang dalam dirinya. Tak merasa ada yang kurang dari amalnya.

Orang-orang salih zaman dulu, sangat khawatir dengan amal mereka. Apakah amal Ramadhan mereka diterima Allah? Mereka merasa tidak aman. Ibnu Rajab Al-Hambali berkata,

:

"Sebagian salaf berkata, 'Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka dipertemukan lagi dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar Allah menerima (amal-amal shalih di Ramadhan yang lalu) mereka."

Maka sangat penting untuk mendapatkan feedback dari orang-orang salih. Dengarkan masukan dari orang-orang salih, untuk terus menerus memperbaiki kualitas diri kita. Mumpung Ramadhan, kesempatan untuk memperhatikan, mengenali, dan masuk ke dalam diri sendiri. Menggapai pengenalan dan kesadaran diri yang hakiki.

 

Bahan Bacaan

Heba El-Haddad, The Four Benefits of Cultivating Self-Awareness, https://khalilcenter.com, diakses 16 April 2021

Hepi Andi Bustomi, 101 Sahabat Nabi, Pustaka Al-Kautsar 

Imam Al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan, Mizan, 1995

Tasha Eurich, What Self-Awareness Really Is (and How to Cultivate It), Harvard Business Review, https://hbr.org, 4 Januari 2018

Yunal Isra, Membincang Hadis "Man Arafa Nafsahu Arafa Rabbahu", 19 Februari 2018, https://bincangsyariah.com

Muhammad Masrur, Konsep Mengenali Diri Menurut Imam Al-Ghazali, 2 Juni 2020, https://bincangsyariah.com

.

Catatan Kaki

[1] Tentang ungkapan tersebut, Imam As-Suyuthi menyatakan, "Imam Nawawi pernah ditanya, lantas beliau menjawab, 'Ungkapan itu tidak mempunyai dasar sebagai hadits Nabi." Ibnu Taimiyah menilai ungkapan tersebut sebagai hadits maudhu'. Az-Zarkasyi mengutip perkataan Imam As-Sam'ani yang menyebutkan bahwa ungkapan itu dari seorang ulama sufi terkenal Yahya bin Muadz Ar-Razi (Yunal Isra, 2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun