Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbeda, Tidak Masalah, kan?

9 Oktober 2020   09:19 Diperbarui: 9 Oktober 2020   09:28 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
agus yusuf | jawapos.com

Kehidupan kaum disabilitas dekat dengan menyisihkan diri atau disisihkan oleh masyarakat. Bukan tanpa alasan, secara psikologi mereka menyisihkan diri karena ada perasaan rendah diri, takut tidak diterima lingkungan, dan lain sebagainya.

Soetjiningsih (1995) menyatakan, "Remaja yang mengalami cacat tubuh lebih cenderung hidup dalam lingkungan sendiri, dengan sikap-sikap negatif, penuh prasangka dan rendah diri." Maka bagi kaum disabilitas yang mengalami rendah diri, seharusnya memerlukan pendampingan khusus, supaya merasa dianggap manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di muka bumi ini.

Allah telah menciptakan makhlukNya dengan berbagai jenis penciptaan. Semua adalah sama di hadapanNya. Allah tidak menilai dari bentuk fisik ataupun kekayaan, namun dari perbuatan mereka. Rasulullah Saw bersabda, "Allah tidak melihat rupa kalian dan harta kalian akan tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian dan perbuatan-perbuatan kalian" (H.R. Muslim).

Menyimak hadits tersebut, Allah Swt tidak melihat dan menilai makhluk-Nya dari fisik, rupa yang rupawan atau kekayaan yang melimpah. Allah menilai dari keimanan dan ketakwaan, yang akan melahirkan amal perbuatan baik.

Dalam buku "Kalau Berbeda, Lalu Kenapa?" ada kisah yang sangat menarik. Agus Yusuf yang terlahir tanpa tangan dan kaki kanan, mampu menepis stigma bahwa disabilitas akan terkurung dengan rasa rendah diri. Agus mampu membuktikan, disabilitas memiliki hak untuk berkarya dan hidup layak sebagaimana masyarakat normal lainnya.

Agus adalah seniman papan atas di tanah air, karyanya sudah melanglang buana ke berbagai negara. Karyanya dipajang di Switzerland, berjajar dengan karya pelukis dunia. Nama Agus telah mengharumkan bangsa dan negara Indonesia. Jika Anda melihat karyanya, tak akan menyangka bahwa semua lukisan itu dibuat menggunakan mulutnya.

Agus Yusuf adalah suami dan sekaligus ayah yang baik. Apakah difabel harus menikah dengan yang sesama difabel? Tentu saja tidak. Agus hanya difabel fisik, namun tidak difabel hati, pikiran dan perasaan. Maka ia dijodohkan Allah dengan gadis cantik asal Majalengka, Sri Rohmatiah. Dari pernikahan mereka, Allah karuniakan dua anak.

Kedua anaknya bukan hanya sekedar normal. Mereka berdua cantik, ganteng, pinter, salih dan salihah. Agus dan istri tercinta mampu mendidik kedua anaknya, sehingga bisa merasa percaya diri memiliki ayah yang difabel. Kepercayaan itu tidak tumbuh secara instan. Namun merupakan usaha yang mereka tanamkan sejak dalam kandungan, lahir, dan balita.

Agus mampu membangun keluarga bahagia, jauh dari rendah diri, menyisihkan diri atau disisihkan. Lingkungan sekitarnya mengenal keluarga Agus sebagai keluarga normal. Rumahnya terbuka untuk umum yang ingin belajar melukis atau hanya sekedar diskusi. 

buku sri rohmatiah | dok. Wonderful Publishing
buku sri rohmatiah | dok. Wonderful Publishing
Berbeda, Tidak Mengapa, kan?

Mungkin ini suatu pemandangan yang berbeda bagi masyarakat pada umumnya. Agus sering mengajak anak perempuannya jalan-jalan berdua memakai motor yang telah dimodifikasi menjadi roda tiga dan memakai setir mobil. Kedua tangan Lala---panggilan anak pertama Agus---melingkar di pinggang ayahnya.

Mungkin publik juga akan merasa aneh ketika melihat anak laki-laki mendorong kursi roda ketika di bandara atau sebuah gedung pameran. Kebersamaan mereka di depan publik tanpa rasa canggung, menandakan keluaga berbeda ini tidak menyisihkan diri dalam pergaulan. Mereka berbaur dan berinteraksi secara biasa saja. Sebab, "Kalau Berbeda, Lalu Kenapa?"

Kedua anak Agus tumbuh dengan optimal, dipenuhi limpahan kasih sayang orangtua. Hingga usia mereka remaja, tidak ada penolakan atau bully dari lingkungan sekolah dan teman-temannya. Anak-anak mereka sama saja dengan anak-anak yang memiliki orang tua normal. Mereka memiliki hak sama dalam hal pengakuan dari lingkungan, baik itu lingkungan sekolah atau lingkungan luar.

Keluarga ini adalah keluarga islami, tentu pengajarannya juga berdasarkan ajaran agama Islam. Anak-anak mereka juga sekolah di sekolah Islam swasta. Agus hanya ingin anak-anaknya menjadi anak yang shalih, berbakti dan berguna bagi orang tua, masyarakat, dan agamanya.

Dalam buku ini kisah kebersamaan mereka di depan publik ditulis secara terbuka. Dengan tujuan untuk mengedukasi masyarakat luas --terlebih anak-anak, bahwa keterbatasan orang tua adalah kelebihan bagi mereka.

Daftar Pustaka
Sri Rohmatiah, Kalau Berbeda, Lalu Kenapa? Wonderful Publishing, Yogyakarta, 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun