Cowok : Apa makanan kesukaanmu Dek
Cewek : Klepon Bang. Kalo Abang suka makanan apa?
Cowok : Klepoff Dek.
Cewek : Kalo gitu kita berjodoh dong Bang...
Apakah hal-hal teknis bisa menjadi tolok ukur seorang lelaki berjodoh dengan seorang perempuan? Sekedar dipertemukan oleh hobi yang sama, kesukaan makanan yang sama, drama Korea yang sama ---cukupkah itu menjadi indikator berjodoh?
Tentu saja tidak salah bahwa mereka bertemu karena hobi. Namun hobi sebagai alasan pernikahan, tentu menjadi sangat lemah ikatannya. Tidak salah bertemu dalam kesamaan jenis makanan, namun menikah semata-mata dilandasi oleh kesukaan makanan, menjadi ikatan yang lemah.
Pada dasarnya, persoalan mendasar dalam pernikahan menyangkut visi kehidupan. Ada hal-hal filosofis yang menjadi pengikat pernikahan, dan akan menjadi fondasi yang mengekalkan. Mengapa menikah, untuk apa menikah, akan dibawa kemana kehidupan pernikahan mereka nanti? Itu semua memerlukan kesamaan jawaban.
Hal-hal filosofis yang harus lebih dahulu dipertautkan, sebelum berbicara hal-hal teknis dalam kehidupan. Sebab dalam hal-hal teknis, kita tidak mungkin menyamakan semuanya. Namun, ikatan sakral yang melatarbelakangi pernikahan, harus dikokohkan.
Kemampuan Penyesuaian Diri
Dalam sebuah pernikahan, selalu menuntut adanya kemampuan adaptasi dari suami dan istri. Sebelum menikah, mereka telah memiliki kebiasaan, karakter, gaya hidup yang bisa jadi sangat berbeda. Masing-masing dari mereka telah melewati perjalanan kehidupan yang mendewasakan.
Makanan kesukaan, cara menikmati makanan, jam tidur, cara tidur, gaya berpakaian, pola hidup dan lain sebagainya --- bisa saja awalnya sangat berbeda. Mereka dibentuk oleh kultur besar dan kultur kecil yang berbeda. Maka terbentuklah dua kepribadian yang tak sama.
Namun setelah menikah, mereka harus saling menyesuaikan diri. Berusaha menemukan sebanyak mungkin kecocokan ---sampai menemukan titik yang paling nyaman dalam penerimaan dan dalam perbedaan.
Dulunya, sebelum menikah, mereka adalah dua makhluk yang memiliki status bebas merdeka, tidak terikat satu dengan yang lainnya. Namun pernikahan telah membuat mereka berdua menjadi saling terikat, saling tergantung, saling memberikan pengaruh secara timbal balik.
Kemampuan penyesuaian diri menjadi salah satu faktor penentu kebahagiaan pernikahan. Jika suami dan istri cepat menyesuaiakn diri, maka akan mempercepat pula munculnya keharmonisan dan kelanggengan pernikahan.
Keharmonisan pernikahan akan terganggu jika kedua belah pihak atau salah satu pihak enggan beradaptasi. Ketika suami dan istri cenderung mempertahankan kemauannya sendiri, tanpa mau berusaha menyesuaikan dengan harapan pasangan. Sikap ini akan membuahkan kelambatan dalam mencapai titik keharmonisan dan kebahagiaan pernikahan.
Prosaes penyesuaian diri bukan hanya diperlukan pada bagian awal kehidupan pernikahan. Sesungguhnyalah suami dan istri harus selalu berusaha terus menerus saling menyesuaikan diri. Bahkan sampai saat mereka menua bersama.
Mengapa penyesuaian diri harus terus menerus terjadi? Karena suami dan istri akan selalu mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Selama masih bernama makhluk hidup, maka akan selalu mengalami perkembangan.
Selera mereka bisa berubah, gaya hidup bisa berubah, bahkan sifat dan karakter pun bisa berubah. Inilah watak manusia, yang desain dirinya adalah makhluk dinamis. Berbeda dengan malaikat yang didesain menjadi makhluk yang tetap, tanpa perubahan.
Maka tidak jadi masalah Anda berjodoh dengan siapa, sepanjang saling bersedia membuka ruang untuk saling menyesuaikan diri. Setelah hal-hal filosofis selesai, tak jadi persoalan apakah Anda penyuka klepon ataupun pembenci klepon. Tidak masalah apakah Anda penggila durian ataupun pembenci durian.
Yang paling penting, sediakan ruang untuk bersedia saling menyesuaiakan diri. Di sepanjang rentang kehidupan pernikahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H