Beberapa hari lagi, tahun ajaran baru 2020 akan segera dimulai. Pemerintah telah memutuskan, pembelajaran dilakukan secara daring. Siswa belajar di rumah, hingga situasi dianggap memungkinkan untuk kembali masuk sekolah.
Ada sangat banyak hal yang harus berubah dengan sistem pembelajaran online ini. Semua pihak harus beradaptasi, dan bersinergi mengupayakan keberhasilan proses pendidikan. Baik pihak sekolah maupun rumah, harus berupaya melakukan hal terbaik demi tercapainya  proses pembelajaran yang nyaman.
Sinergi Ayah Bunda
Fondasi paling utama dalam menciptakan keberhasilan pembelajaran adalah sinergi ayah bunda. Studi yang dilakukan oleh John Defrain dan tim tentang strong family (2019), menunjukkan bahwa kekuatan keluarga sangat ditentukan oleh kekuatan hubungan antara suami dan istri.
DH. Olson (2000) menyebutkan tiga dimensi untuk menghadirkan sinergi suami dan istri. Yang pertama adalah cohesion (kohesi), kedua adalah flexibility (fleksibilitas) dan ketiga communication (komunikasi). Pasangan suami istri harus mampu mewujudkan tiga dimensi ini dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, Cohesion
DH. Olson menyatakan, "Cohesion is a feeling of emotional closeness with another person". Kohesi adalah suasana kedekatan emosional antara suami dan istri. Jika menggunakan bahasa Al Qur'an, suami dan istri disebut sebagai libas atau pakaian, yang saling melekat.
Kohesi didapatkan dari keseimbangan antara "separateness" dan "togetherness" (Olson, 2000). Keseimbangan antara ketakbersamaan dengan kebersamaan. Yang dimaksud dengan togetherness adalah kebersamaan suami dan istri, sedangkan separateness adalah kondisi ketidakbersamaan di antara mereka.
Kohesi akan tercipta apabila pasangan suami istri mampu menyeimbangkan kebersamaan dan ketakbersamaan. Jika terlalu banyak separateness, bisa memunculkan kekeringan cinta. Mereka yang tengah menjalani LDR, harus pandai mengelola kohesi, agar tidak mengalami gejalan kekeringan cinta.
Sebaliknya, jika terlalu banyak togetherness, bisa menimbulkan kebosanan. Suasana karantina di masa pandemi, membuat semua anggota keluarga berkumpul di rumah dengan segala keterbatasan fasilitas. Ini harus dikelola dengan tepat, agar tidak menimbulkan kejenuhan dan kebosanan.
Suami dan istri harus pandai menemukan titik keseimbangan, antara togetherness dengan separateness. Di sinilah letak kohesi, yang menjadi modal membangun sinergi antara suami dan istri.
Kedua, FlexibilityÂ
Yang dimaksud dengan fleksibilitas adalah keseimbangan antara "chaos" dan "rigidity" (Olson, 2000). Dalam kehidupan keluarga, ada sisi stabilitas, namun ada pula sisi perubahan. Ada hal-hal yang harus statis, namun ada hal yang harus dinamis.
Jika keluarga memiliki aturan yang kaku, tidak bisa berubah, tidak menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi, maka akan terbentuk keluarga yang beku. Suasananya sangat tidak menyenangkan bagi semua anggota keluarga. Semua serba aturan kaku.
Jika keluarga tidak memiliki sesuatu yang dipegangi, semua boleh berubah secara bebas, tak ada norma yang dijadikan pijakan, akan terbentuk keluarga tak beraturan. Semua orang boleh bebas memilih keinginanya sendiri.
Makan keluarga harus mampu menjaga keseimbangan antara hal yang harus tetap dan hal hal yang boleh berubah. Ini yang disebut fleksibel. Justru karena ada hal yang tetap dan ada yang bisa berubah, maka menjadi fleksibel.
Fleksibilitas ini sangat penting dalam menjaga keharmonisan keluarga, mengingat kondisi keluarga selalu berubah dari waktu ke waktu. Tantangan yang dihadapi selalu berubah. Kondisi suami dan istri pun selalu berkembang. Maka harus pandai menjaga sisi stabilitas dan menerima sisi perubahan.
Ketiga, Communication
Komunikasi antara suami dan istri akan terbangun dengan bagus apabila mampu menciptakan keseimbangan antara suasana "engagement" dan "openness to change" Â (Olson, 2000). Ada suasana keterlarutan (engagement), namun juga harus ada suasana keterbukaan untuk menerima perubahan.
Terkadang, komunikasi suami dan istri harus mengutamakan aspek rasa. Komunikasi seperti ini berguna untuk membangun kenyamanan hubungan, untuk menguatkan bonding. Maka yang lebih dipentingkan adalah ketersambungan rasa, bukan soal kualitas pembicaraan dan hasil pembicaraan.
Namun, ada kalanya komunikasi suami istri harus berada dalam level "openness to change". Kadang ada adu argumen dan perdebatan, untuk menghasilkan kualitas keputusan yang bagus. Misalnya ketika mendiskusikan soal pendidikan anak, maka model komunikasi harus terbuka.
Olson juga menemukan, bahwa komunikasi dalam keluarga cenderung bercorak linear. Artinya, makin baik komunikasi, makin kuat pula ketahanan keluarga. Ini menjadi dasar memahami urgensi komunikasi untuk menciptakan sinergi suami dan istri.
Dengan membangun kohesi, fleksibiliti dan komunikasi, akan terbangun sinergi antara suami dan istri. Sinergi positif yang bisa digunakan untuk menemani anak belajar di rumah, selama masa pandemi. Sinergi yang mampu menghadirkan suasana pembelajaran, sehingga anak betah menjalani masa belajar di rumah.
Bahan Bacaan
DeFrain, J. D., & Asay, S. M. (2019). Focusing on the Strengths and Challenges of Families. International Course on Advocacy Skills in Mental Health System Development from Research to Policy. Yogyakarta.
Olson, D.H. (2000). Circumplex Model of Marital and Family Systems. Journal of Family Therapy, 22, 144-167..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H