"Nderek pak Nardi" demikian embah-embah di kampung kami menyebut beliau dengan bangga.
"Mbenjang Ahad nderek pak Nardi teng Kilen Pragi," kata embah langganan pijat sembari memijatku.
"Kulo ajeng tilik mesjid kulo..."
Jadi kisahnya, ustadz Sunardi adalah pegiat wakaf sarana ibadah dan sarana pendidikan. Entah berapa masjid dan berapa sekolah yang beliau menjadi kontributor dalam pengadaan dan pembangunan. Naah para embah di kampungku ikut menyumbang salah satu masjid di kawasan Kulon Progo. Mereka bahagia ikut berwakaf barang 1 meter, bahkan dengan mencicil beberapa kali. Setelah bangunan masjid berdiri dan diresmikan, panitia akan mengundang ust. Sunardi lagi dan begitulah para pewakaf ikut hadir menyaksikan masjid sudah berdiri.
"Saya nunut sak daplangan," begitu kata-kata sederhana beliau yang masuk logika orang kecil, "Besok bisa cukup untuk berbaring sama bu Pamella."
Beliau mengikrarkan di depan jamaah, beliau berwakaf beberapa meter untuk punya kapling berdua di akhirat dengan bu Pamella, istri beliau. Padahal apa yang beliau sumbangkan jauh lebih banyak dari itu. Namun perumpamaan 'sak daplangan' itu membuat masyarakat kecil merasa bersemangat bahwa wakaf barang semeter dua meter insya Allah menjadi tabungan akhirat.
Mungkin ribuan bahkan jutaan orang yang tergerak berwakaf termotivasi oleh beliau.
Hari ini --Senin 12 November 2018--Jogjakarta berduka, ribuan orang bertakziyah, menyolatkan dan menangis mengiringi kepergian beliau. Berduyun pengantar jenazah dari berbagai kalangan long march dari masjid tempat disemayamkan hingga pemakaman yang berjarak cukup jauh. Berduyun seperti jamaah manusia yang terbuka hati oleh ceramah beliau.
Ayahanda, semoga kami dapat merawat amanahmu, meneruskan perjuanganmu dan menjaga persatuan umat sebagaimana yang engkau contohkan selama ini. Ayahanda, kami semua menangis. Bukan menangisi kepergianmu, sebab kami yakin engkau pergi dengan tersenyum untuk bertemu Rabbmu dengan membawa seluruh amal sholih yang sulit kami kejar.
Kami menangisi diri kami sendiri yang tak jua bisa meniru kebaikanmu. Kami menangisi dakwah yang kehilangan salah satu batu bata penting. Akankah kami bisa menggantikanmu?
Ida Nurlaila @ida_1912