Bahkan saya sertakan catatan agar semua meminta ijin dengan alasan masing-masing jika beliau tetap mengundang rapat. Hal ini terpaksa saya lakukan karena tahu kondisi beliau yang masih lemah, sehingga harus istirahat.
"Ustadz, sejak tadi Papa keluar masuk ruang ini. Menengok sudah ada yang datang apa belum. Saya jadi kasihan Papah capek. Sudah saya bilang agar Papa menunggu saja di rumah sambil istirahat, biar tidak capek. Fida saja yang nungguin di sini, tapi Papa nggak mau", ujar Fida.
Ruang rapat memang berada di komplek rumah keluarga beliau yang diberi nama Omah Ledok. Letaknya tepat di depan rumah induk, agak turun.
"Baiklah, kita ke rumah saja", jawab saya. Saya pun naik kembali menuju ke rumah beliau. Sebentar saja menunggu, beliaupun keluar.
"Ayuk di sana (ruang rapat)", ajak Pak Nardi.
"Tidak di sini saja kah?" tanya saya.
"Di sana, di sana, kita kan rapat," ujar beliau sambil menarik tangan saya.
Subhanallah. Sekali lagi saya saksikan betapa besarnya semangat dakwah beliau. Saya sadar, beliau tidak ingin saya datang untuk 'menengok' orang sakit yang lemah dan perlu dihibur atau dikasihani. Beliau merasa sehat untuk berjuang. Karenanya saya harus datang untuk berjuang. Melakukan rapat untuk memikirkan kemaslahatan umat, bukan datang untuk menengok orang sakit.
Saya jadi ingat beliau pernah berkomentar untuk teman-teman yang beberapa kali tidak datang rapat, "Harokah dakwah itu sendinya musyawarah. Tanpa musyawarah tidak akan ada harokah. Jadi kalau tidak rapat, dakwah ya tidak akan jalan," ujar beliau.
Di ruang rapat itu, kami duduk berdua.
"Dek, mungkin mereka berpikir bahwa sehat itu hanya fisik. Manusia kan tidak hanya fisik tapi lahir dan batin", pelan beliau mulai perbincangan. Suaranya masih lemah, tapi aura semangatnya terasa sangat kuat.