Bagian Kedua
Dalam tulisan sebelumnya, telah saya kenalkan sosok KH. Sunardi Syahuri yang sedemikian melegenda di hati masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Menyaksikan prosesi pemakaman hari ini, Senin 12 November 2018, membuat semua orang percaya, Pakde Nardi --panggilan khas kami untuk beliau-- adalah sosok yang sangat dicintai oleh sangat banyak kalangan masyarakat. Saya dan rombongan teman-teman parkir di kawasan kebun binatang Gembira Loka, karena saking membludagnya kendaraan para pentakziyah.
Seorang teman berkomentar, karena Pakde Nardi adalah pembimbing haji dan umrah, suasana prosesi pemakaman juga mirip suasana di saat melaksanakan ibadah di tanah suci. Sangat padat, ramai, dan penuh sesak. Orang datang pergi, terus menerus, seakan tanpa henti.Â
Sejak anak-anak sekolah, remaja, pemuda, orang tua, bahkan kakek dan nenek yang datang dengan diantar kursi roda. Subhanallah, sedemikian besar kecintaan masyarakat kepada beliau. Merinding melihat suasananya.
Untuk lebih mengenal beliau secara lebih detail, saya akan lanjutkan beberapa testimoni dari handai taulan yang beredar di grup-grup whatsApp. Keseluruhannya menandakan kedalaman rasa cinta dan penghormatan masyarakat kepada beliau dan juga keluarganya. Sungguh, membaca dan sedikit mengedit tulisan testimoni teman-teman ini, membuat saya kembali berurai air mata.
Testimoni 10 : Sehat Itu Bukan Hanya Soal Fisik
"Dek nanti rapat lho". Hampir setiap hari Selasa, kalimat sederhana itu masuk ke HP saya. Tapi hari itu rasanya berbeda, pesan beliau sangat menggetarkan jiwa saya. Subhanallah, Allahu Akbar ! Luar biasa semangat dakwahnya. Hati saya tergetar, tak sadar saya sudah bercucuran air mata.
Bayangkan, hari itu adalah hari pertama beliau pulang ke rumah, setelah beberapa minggu di Singapura untuk menjalani operasi besar , memotong 70 % lambung dan 30 % levernya. Baru sampai rumah, beliau sudah mengundang saya untuk rapat. Jadi bagaimana saya bisa menolaknya? Sedang beliau yang masih sangat lemah saja siap berjuang. Masa saya yang masih sehat undur dari perjuangan?
Bahkan di waktu beliau sehat pun, pernah suatu saat pada pukul 22.00 beliau menelpon karena saya belum hadir rapat, sayapun tidak punya hujjah untuk menolak.
"Mujahid kok tidur sore", ujarnya ketika suatu malam saya ketiduran.
Waktu itu tepat pukul 20.00 WIB, saya masuk ruang rapat. Masih kosong. Yang ada hanya Fida, putri bungsunya. Tentu saja ruang itu masih kosong, karena sudah saya umumkan melalui grup bahwa rapat diliburkan.Â