Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sepuluh Keterampilan Ini Harus Dimiliki Suami

11 Juni 2018   05:47 Diperbarui: 11 Juni 2018   07:28 3988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: humairoh.com

Menjadi suami, adalah peristiwa besar bagi seorang laki-laki. Ia menjadi suami bukan semata-mata karena sudah menjalani pernikahan dan hidup berumah tangga, namun karena ia menempuh proses untuk mewujudkan kriteria dan kompetensi sebagai suami. Ada sejumlah ilmu, seni dan ketrampilan yang diperlukan kaum laki-laki, agar mereka bisa menjalani peran sebagai suami dengan baik. Bukan saja suami biasa, namun suami penuh cinta yang akan membawa keluarga menuju surga.

Dalam kesempatan kali ini, saya hanya memfokuskan diri pada pembahasan terkait aspek ketrampilan praktis. Ada berbagai ketrampilan yang diperlukan lelaki agar bisa berlaku sebagai suami yang penuh cinta kepada keluarga.

Pertama, Ketrampilan Memimpin Keluarga

Laki-laki adalah pemimpin keluarga, sebagaimana firman Allah: "Laki-laki adalah qawam bagi wanita..." (An Nisa': 34), juga firmanNya : "Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya" ( Al Baqarah : 228). Untuk menjadi pemimpin yang baik, diperlukan kesungguhan, namun juga ketrampilan.    

Ath Thabari menjelaskan ayat 228 surat Al Baqarah di atas, "Tingkatan kelebihan itu ialah kewenangan untuk memerintah dan ditaati, yakni kepemimpinan".  Ibnu Abbas berkomentar, "Derajat (tingkat kelebihan) yang disebutkan Allah tersebut mengisyaratkan dianjurkannya kaum laki-laki untuk bergaul dengan baik dan bersikap lapang terhadap isteri dalam hal harta dan akhlaq. Yakni, yang lebih utama ialah selayaknya suami membebani tugas terhadap diri sendiri".

Abu Syuqah menjelaskan, "Laki-laki yang memiliki kelebihan itu --baik kelebihan itu berupa jihad, kepemimpinan, atau dalam memuliakan isterinya dan mentolerir sebagian hak yang merupakan kewajiban isterinya--  seyogyanya memikul beban atas dirinya sendiri, karena kasih sayang kepada yang dipimpin. Apabila qiwamah ini memiliki kelebihan dan kemuliaan, maka itu adalah kelebihan kepemimpinan yang penuh kasih sayang dan kemuliaan memikul tanggung jawab."

Muhammad Abduh menjelaskan, "Yang dimaksud dengan pemimpin dalam firman Allah ar rijalu qawwamuna alan nisaa adalah kepemimpinan yang di dalamnya pihak yang dipimpin bebas berbuat menurut kehendak dan pilihannya, dan bukan kepemimpinan dimana orang yang dipimpin itu ditekan dan dirampas kehendaknya".

Menilik pemaknaan di atas, ketrampilan memimpin yang menyebabkan orang-orang yang dipimpin merasa senang, bahagia, tenang, leluasa dan teroptimalkan potensinya, amatlah diperlukan. Agar tidak menjadi pemimpin yang arogan, otoriter, sewenang-wenang, tidak peka terhadap keinginan pihak yang dipimpin. Agar tidak menjadi pemimpin yang menyusahkan dan memandulkan potensi pihak yang dipimpin.

Untuk itu diperlukan ketrampilan untuk memimpin keluarga, dengan model kepemimpinan yang menyenangkan, melegakan, membuat nyaman, tenang, dan tenteram semua anggota keluarga. Memimpin keluarga dengan sepenuh cinta, kasih, sayang dan tanggung jawab. Memimpin keluarga menuju surga, dan menjauhkan mereka dari neraka. Untuk maksud ini semua, diperlukan kepemimpinan spiritual, kepemimpinan emosional, kepemimpinan intelektual, sekaligus kepemimpinan manajerial.

Kedua, Ketrampilan Mencari Nafkah

Suami mendapatkan kewajiban untuk mencukupi kebutuhan nafkah keluarga, sebagaimana firman Allah : "...dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka" (An Nisa' : 34). Jabir bin Abdullah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, "Dan kamu wajib memberi nafkah kepada mereka (isteri) dan memberi pakaian secara makruf" (Hadits Riwayat Imam Muslim).

Karena adanya kewajiban nafkah ini, para suami harus memiliki ketrampilan untuk mencari nafkah yang bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Bukan saja kebutuhan pokok berupa sandang, papan dan pangan, keluarga juga memiliki berbagai kebutuhan untuk membentuk kebahagiaan dalam kehidupan. Sebagai contoh kebutuhan ibadah, untuk menunaikan ibadah haji dan umrah memerlukan biaya tersendiri yang perlu dianggarkan dan diupayakan.

Diperlukan sejumlah ketrampilan untuk bisa hidup layak mencari rizki Allah yang bertebaran di muka bumi, terlebih pada zaman yang penuh dengan persaingan bebas saat ini. Jika para suami tidak memiliki ketrampilan mencari nafkah, bukan saja bisa membuat sengsara keluarga, namun juga bisa membuat dosa karena tidak memenuhi kewajiban.

Ketiga, Ketrampilan Mengelola Keuangan

Suami tidak hanya perlu memiliki ketrampilan mencari nafkah, namun juga harus memiliki ketrampilan untuk mengelola keuangan keluarga. Pada kenyataannya, dengan jumlah uang yang sama, seseorang bisa mendapatkan kemanfaatan yang lebih banyak dan optimal daripada orang lain. Hal ini salah satunya berkaitan dengan ketrampilan mengelola harta yang ada untuk bisa berdayaguna dan berhasilguna optimal.

Seorang suami harus bisa membuat perencanaan baik jangka pendek, menengah ataupun jangka panjang dalam hal keuangan. Dengan perencanaan itu, ia mengelola harta sesuai prioritas kebutuhan. Tanpa perencanaan, ia akan memboroskan harta atau mengelola harta secara tidak efektif karena tidak sesuai prioritas. Walaupun tidak harus seperti kualitas akuntan publik, namun hendaknya memiliki kemampuan dasar untuk pengelolaan keuangan.

Jika suami tidak memiliki kemampuan mengelola keuangan, ia bisa mempercayakan pengelolaan keuangan keluarga sepenuhnya kepada sang istri. Dengan catatan, sang istri memiliki kemampuan yang baik untuk mengelola keuangan keluarga. Hal ini dimaksudkan agar berbagai kebutuhan hidup berumah tangga bisa terpenuhi secara proporsional, sekaligus bisa mengalokasikan semua sumber daya secara efektif untuk kemaslahatan yang luas. Sumber daya keuangan keluarga bisa memberikan kontribusi kebaikan bagi pihak-pihak lain, seperti keluarga besar, tetangga, maupun masyarakat yang memerlukan.

ilustrasi: humairoh.com
ilustrasi: humairoh.com
Keempat, Ketrampilan Interaksi dan Komunikasi

Para suami mendapatkan arahan dari Allah untuk mempergauli istri dengan cara yang baik, sebagaimana firmanNya: "Dan bergaullah dengan mereka secara makruf" (An Nisa': 19). Ayat ini memberikan isyarat pentingnya memiliki ketrampilan praktis dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan istri. 

Muhammad Abduh menjelaskan, "Artinya wajib bagi kalian wahai orang-orang mukmin untuk mempergauli isteri-isteri kalian dengan bijak, yaitu menemani dan mempergauli mereka dengan cara yang makruf yang mereka kenal dan disukai hati mereka, serta tidak dianggap mungkar oleh  syara', tradisi dan kesopanan. Maka mempersempit nafkah dan menyakitinya dengan perkataan atau perbuatan, banyak cemberut dan bermuka masam ketika bertemu mereka, semua itu menafikan pergaulan secara makruf. Diriwayatkan dari salah seorang salaf bahwa dia memasukkan ke dalam hal ini perihal laki-laki berhias untuk isteri dengan sesuatu yang layak baginya, sebagaimana isteri berhias untuknya".

Termasuk dalam kategori ini adalah ketrampilan berbicara, mendengarkan, bergurau atau bercanda, tertawa, respon dan empati, juga ketrampilan berlaku romantis. Demikian pula ketrampilan mengungkapkan perasaan, menyatakan kecintaan dan kasih sayang, memahami perasaan pasangan. Tidak pula boleh diremehkan, ketrampilan praktis untuk memuaskan pasangan dalam kebutuhan biologis.

Kelima, Ketrampilan Mengelola Konflik

Interaksi antar anggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari selalu membuka ruang untuk adanya konflik antara satu dengan yang lainnya. Sebagai pemimpin keluarga, suami harus mampu mengelola konflik keluarga dengan bijak dan dewasa. Tidak membiarkan keluarga berada dalam konflik berkepanjangan yang membuat kehidupan tidak produktif. Suami perlu belajar mengetahui teknik resolusi konflik, dan bisa mengaplikasikan dalam kehidupan keseharian.

Ketrampilan mengelola konflik keluarga, sebagiannya merupakan ilmu yang bisa dipelajari, sebagian merupakan seni yang harus didalami, dan seiring berjalannya proses akan membentuk pengalaman. 

Apabila pengalaman ini konsisten maka akan membentuk ketrampilan. Sebagai ilmu, resolusi konflik banyak dibahas oleh para ahli komunikasi maupun ahli psikologi. Ada sangat banyak pengetahuan bermanfaat tentang teori menyelesaikan konflik secara dewasa. Itu semua memberikan keluasan wawasan dalam memahami berbagai teknik menyelesaikan konflik.

Sebagai seni, manajemen konflik memerlukan sentuhan perasaan dalam menjalankannya. Memerlukan sentuhan rasa dalam menentukan waktu yang tepat, suasana yang tepat, cara yang tepat, di sini letak seni mengelola konflik. Hendaknya para suami selalu berusaha untuk belajar ilmu dan seni menyelesaikan konflik untuk bisa diterapkan dalam kehidupan keluarga.

Keenam, Ketrampilan Mengekspresikan Cinta

Suami hendaknya menjadi pusat kebahagiaan keluarga. Diperlukan ketrampilan untuk mengekspresikan cinta, baik kepada istri maupun kepada anak-anak. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak dijumpai istri yang merana, merasa tidak dicintai oleh suami, padahal saat dikonfirmasi, suami menyatakan ia mencintai istrinya sepenuh hati. Suami meresa sudah menunjukkan cinta ---dengan caranya;. Ternyata ekspresi cinta suami tidak sesuai dengan harapan dan tipe bahasa cinta yang dimiliki istri.

Sebagai contoh, istri yang bahasa cintanya adalah 'waktu berkesan', akan tetap merasa ditelantarkan suami walaupun sang suami setiap hari siang malam sibuk bekerja keras mencari nafkah demi untuk menyenangkan istri. Istri tetap merasa tidak dicintai walau sebanyak apapun suami memberi hadiah setiap hari. Untuk istri yang bahasa cintanya 'waktu berkesan', akan lebih senang jika ketika suami pulang ke rumah, langsung duduk di sampingnya, menemaninya, mendengarkan cerita-ceritanya, dan tampak antusias memperhatikan cerita istri.

Untuk tipe ini, istri tidak terlalu peduli apakah suami pulang membawa hadiah atau tidak, apakah suami membantu kesibukannya di dapur atau tidak. Yang paling penting adalah ditemani oleh suami. Diantar saat berangkat, dijemput saat pulang, ditemani jalan-jalan, adalah hal yang sangat membahagiakan istri dengan tipe bahasa cinta 'waktu berkesan'. Yang diperlukan dari suami adalah kebersamaan.

Berbeda lagi dengan istri yang bahasa cintanya adalah 'kaya-kata apresiasi'. Dengan tipe ini, istrisangat ingin mendengarkan kata-kata penuh rayuan dari suami, kata-kata romantis, pujian, kalimat kerinduan, pusi cinta, dan lain sebagainya. Berbeda pula dengan istri yang bahasa cintanya 'hadiah', ia merasa sangat dicintai apabila sering mendapatkan hadiah dari suami.

Demikian pula istri yang memiliki bahasa cinta 'sentuhan fisik', ia akan tetap merana walaupun setiap hari diberi hadiah istimewa oleh suami. Bahasa cinta 'sentuhan fisik' lebih membutuhkan kedekatan fisik dengan suami, senang disentuh lembut, dibelai mesra, sering dikecup dan dipeluk hangat. Hal itu jauh lebih membahagiakan istri daripada aneka jenis hadiah.

Jadi, agar bisa memiliki ketrampilan mengekspresikan cinta, suami perlu mengetahui apa tipe bahasa cinta istri. Jika tidak mengetahui, bisa membuat sang istri merasa tidak dicintai, walaupun dirinya sudah merasa mengekspresikan cinta setiap hari.

Ketujuh, Ketrampilan Praktis Kerumahtanggaan

Suami bukanlah seseorang yang hanya bisa memerintah istri dan anak-anak untuk melakukan berbagai macam urusan praktis kerumahtanggaan. Nabi Saw mencontohkan, beliau melakukan sendiri berbagai pekerjaan rumah tangga. Al Aswad bertanya kepada Aisyah, "Apakah yang dikerjakan Rasulullah saw di rumah?" Dia menjawab, "Beliau biasa dalam tugas sehari-hari keluarganya --yakni melayani keluarganya--- maka apabila telah datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikan shalat" (Riwayat Imam Bukhari).

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Dalam hadits itu terdapat anjuran untuk bersikap tawadhu dan tidak sombong, serta menganjurkan laki-laki untuk melayani isterinya". Dengan demikian, para suami perlu memiliki ketrampilan menyelesaikan urusan praktis kerumahtanggan, agar hal tersebut tidak terbeban kepada istri semata.

Dalam riwayat Ahmad, bahwa Aisyah ditanya, "Apakah yang dikerjakan Rasulullah saw di rumah?" Dia menjawab, "Beliau adalah seorang manusia biasa, membersihkan pakaiannya, memerah susu kambingnya dan melayani dirinya".

Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menukilkan riwayat Ahmad, bahwa Ali berkata kepada Fatimah, "Demi Allah, aku selalu menimba air dari sumur sehingga dadaku terasa sakit". Fatimah menjawab, "Dan aku, demi Allah, memutar penggiling hingga kedua tanganku melepuh".

Ketika mengomentari kisah Asma' binti Abu Bakar yang melakukan semua pekerjaan kerumahtanggaan di rumah suaminya, Az Zubair, Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkomentar, "Tetapi yang menjadikan Asma' bersabar melakukan hal itu ialah karena kesibukan suami dan ayahnya melaksanakan jihad dan sebagainya yang diperintahkan dan ditegakkan oleh Nabi saw; dan mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melaksanakan urusan rumah tangga sendiri, serta tidak mempunyai kemampuan untuk mengambil pelayan. Oleh karena itu diserahkanlah urusan itu kepada isteri-isteri mereka, maka isteri-isteri itulah yang menggantikan mereka mengurusi rumah tangga mereka agar dapat berjuang secara optimal dalam membela Islam, disamping tradisinya sendiri tidak menganggap yang demikian sebagai suatu cela".

"Kisah ini," lanjut Imam Al Hafizh, "telah dijadikan dalil untuk menetapkan bahwa wanita harus melakukan semua pelayanan yang dibutuhkan oleh suami, demikian pendapat Abu Tsaur. Akan tetapi ulama-ulama lain mengatakan bahwa yang demikian itu bagi wanita bersifat suka rela, bukan suatu keharusan, demikian pendapat Al Mahlab dan lain-lain. Namun yang jelas peristiwa ini dan yang semacamnya terjadi dalam kondisi darurat sebagaimana dijelaskan di muka. Oleh karena itu hukumnya tidak dapat diberlakukan bagi orang yang kondisinya tidak seperti itu".

"Telah dijelaskan pula bahwa Fatimah, penghulu para wanita sedunia, mengadu karena tangannya melepuh akibat memutar penggiling, lalu ia meminta pembantu kepada ayahnya (yakni Nabi saw), kemudian Nabi menunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik, yaitu berdzikir kepada Allah. Pendapat yang kuat ialah memberlakukan hal itu sesuai dengan kebiasaan negeri setempat, karena kebiasaan di satu negeri dalam hal ini berbeda dengan negeri lain".

Sedangkan Imam Nawawi berpendapat, "Semua ini termasuk kepatutan dan kelakuan yang dipraktikkan manusia, yaitu bahwa wanita melayani suaminya dengan hal-hal yang disebutkan itu dan sebagainya. Membuat roti, memasak, mencuci pakaian dan lain-lain, semua itu merupakan sumbangan dan kebaikan wanita kepada suaminya, pergaulan yang bagus, pergaulan yang makruf, yang tidak wajib sama sekali atasnya, bahkan seandainya ia tidak mau melaksanakannya maka ia tidak berdosa".

Hal ini semakin menegaskan, bahwa suami memerlukan ketrampilan praktis --selain perasaan bertanggung jawab dan sense of belonging--  dalam pekerjaan kerumahtanggaan.

Kedelapan, Ketrampilan Praktis Mendidik Anak

Kendatipun pendidikan anak lebih melekat kepada ibu, karena sejak dalam kandungan, melahirkan, menyusui dan menemani hari-harinya hingga dewasa, seorang anak selalu lekat dengan ibu--- akan tetapi keberhasilan pendidikan anak merupakan hasil kerjasama yang harmonis antara suami dan isteri. Kedua belah pihak harus memiliki rasa tanggung jawab dan sejumlah pengetahuan serta ketrampilan praktis yang memadai untuk melaksanakan pendidikan anak.

Pada dasarnya, pendidikan anak bermula dari rumah, bukan dari sekolah. Bobbi DePorter dan Mike Hernacki dalam buku Quantum Learning menyatakan, pembelajaran masa kecil di rumah adalah saat-saat yang amat menyenangkan. 

DePorter menyebut contoh belajar berjalan pada anak usia satu tahun. Kendati dengan tertatih dan berkali-kali jatuh, toh anak pada akhirnya mampu berjalan, tanpa merasa ada kegagalan, suatu hal yang amat berbeda dengan pembelajaran orang dewasa. Fungsi edukatif dalam keluarga menjadi sangat penting untuk mempersiapkan masa depan bangsa dan negara.

Pendidikan dalam keluarga merupakan sarana perombakan yang fundamental, sebab keluarga bisa menyiapkan jiwa manusia dari akar-akarnya. Seluruh anggota keluarga harus mendapatkan sentuhan pendidikan untuk menghantarkan mereka menuju optimalisasi potensi, pengembangan kepribadian, peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan.

Lebih jauh lagi, Al Qur'an mengisyaratkan pentingnya dialog ayah dengan anak. Bahkan, jika dihitung dari jumlah ayat tentang dialog orang tua dengan anak yang diabadikan di dalam Al Qur'an, tampak sangat banyak ayat yang menisahkan dialog ayah dengan anak.

Al-Qur'an memuat dialog orang tua dengan anak dalam 17 tempat yang tersebar di 9 surat. Perinciannya, dialog ayah dengan anak sebanyak 14 tempat; dialog ibu dengan anak sebanyak 2 tempat, dialog kedua orang tua dengan anak (tanpa nama) sebanyak 1 tempat. 

Hal ini semakin menguatkan nilai penting keterlibatan ayah dalam pendidikan dan pengasuhan anak. Oleh karena itu, para ayah harus memiliki ketrampilan untuk mendidik anak-anak sehingga mereka menjadi anak salih dan salihah yang menjadi kebanggaan orang tua dalam kebaikan.

Kesembilan, Ketrampilan Mengelola Waktu

Banyak suami zaman now yang merasa sibuk dan tidak memiliki waktu yang mencukupi untuk keluarga. Mereka tersibukkan oleh berbagai "urusan penting", hingga menganggap keluarga sebagai kurang penting. Dampaknya, banyak suami yang kurang dirasakan kehadirannya dalam keluarga, saking sibuk di luar rumah. Istri dan anak-anak kurang mendapat perhatian, karena sebagian besar waktu suami habis di tempat kerja, atau habis untuk hobi, atau untuk organisasi.

Hendaknya para suami pandai mengelola waktu yang dimiliki. Bekerja mencari nafkah, mengurus organisasi, memenuhi hobi, mengembangkan bisnis, berkegiatan sosial, meningkatkan potensi diri, seluruhnya memerlukan waktu tersendiri. Dengan keterbatasan waktu yang dimiliki, sementara sedemikian banyak amanah dan tanggung jawab terpikul, harus ada perencanaan dan manajemen waktu yang akurat serta disiplin, sehingga seluruhnya bisa diraih dengan optimal.

Tidak jarang dijumpai suami yang sangat banyak menghabiskan waktunya untuk gadget. Sebagian karena terkait dengan pekerjaan, seperti jualan online. Namun sebagian lainnya karena menjalin komunikasi di berbagai grup chatting dan medsos. Bahkan ada yang menghabiskan sangat banyak waktu untuk bermain game. Sangat disayangkan bahwa waktu utama yang semestinya digunakan untuk bercengkerama bersama keluarga, justru dihabiskan untuk game. Ini menandakan tidak memiliki pemahaman akan prioritas, termasuk tidak memiliki ketrampilan mengelola sumber daya waktu yang sangat terbatas.

Kesepuluh, Ketrampilan Sosial

Suami memiliki peran sosial yang besar di dalam masyarakat. Peran sosial harus dibangun di atas dua hal, yaitu kepedulian sosial dan keytrampilan sosial. Tidak cukup hanya dengan memiliki kepedulian sosial, suami juga harus memiliki ketrampilan sosial. 

Kepedulian merujuk kepada sebuah sikap dan sifat yang peka dan humble terhadap persoalan sosial dari masyarakat yang berada di sekitarnya. Ketrampilan merujuk kepada kemampuan praktis untuk mewujudkan jiwa kepedulian tersebut.,

Sebagai pemimpin keluarga, suami harus memiliki sejumlah ketrampilan sosial yang membuatnya bisa banyak memberikan kemanfaatan bagi orang-orang lain di sekitar. Keluarga adalah bagian utuh dari masyarakat, yang tidak boleh terasing dan terisolasi dari dinamika kemasyarakatan. Suami mesti terlibat aktif dalam kegiatan posisitf masyarakat, sekaligus berusaha untuk melakukan berbagai perbaikan.

Fenomena gagap-sosial bahkan phobi-sosial pada beberapa kalangan merupakan indikasi kegagalan dalam berinteraksi sosial. Ada suami yang tidak pernah terlibat dalam kegiatan masyarakat. Ia mengurung diri di rumah, tidak ikut ronda, pertemuan warga, kerja bakti, bahkan tidak mengerti ada tetangga yang sakit atau kelaparan. Rumah hanyalah tempat tinggal dan tempat istirahan bagi dirinya. Rumah tidak dijadikan sebagai basis kebaikan dan pusat kontribusi sosial bagi masyarakat sekitar.

Dengan memiliki ketrampilan sosial, suami akan memberikan kontribusi optimal bagi warga sekitar maupun masyarakat yang lebih luas. Keluarga akan menjadi basis perubahan sosial, bukan sekedar tempat berkumpul bagi semua anggota keluarga. Hal ini bisa terjadi apabila suami memiliki kepedulian sekaligus ketrampilan sosial.

Demikianlah sepuluh ketrampilan yang perlu dimiliki para suami untuk bisa menjalankan peran kerumahtanggaan dan peran sosial yang baik. Jika sepuluh ketrampilan ini dimiliki para suami, dirinya akan menjadi suami penuh cinta yang memberikan kebahagiaan kepada keluarga secara utuh dan sempurna.

Bahan Bacaan

Cahyadi Takariawan, Wonderful Couple, Era Adicitra Intermedia, Solo, 2016

Cahyadi Takariawan, Wonderful Love, Era Adicitra Intermedia, Solo, 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun