John Gray, Ph.D ---pakar hubungan dan pernikahan, penulis buku Mars and Venus Together Forever--- menceritakan, pada beberapa seminar, ia bertanya kepada peserta, "Siapa yang memiliki orang tua yang masih bersatu dan tidak bercerai?"
Separuh peserta mengangkat tangannya.
Kepada kelompok tersebut, ia bertanya lagi, "Siapa yang menganggap dirinya memiliki kecakapan hubungan dan komunikasi yang lebih baik dibandingkan orang tuanya?"
Hampir setiap orang mengangkat tangannya.
Respons tersebut kemudian memunculkan pertanyaan, "Jika memiliki kecakapan yang lebih baik, mengapa saat ini pasangan suami istri lebih banyak memiliki persoalan dalam hubungan? Mengapa begitu banyak terjadi perceraian?"
Rupanya, komunikasi saja tidak cukup untuk menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan hidup berumah tangga. Ada banyak sisi yang harus dipenuhi baik dari aspek spiritual, emosional, intelektual, material maupun manajerial, untuk menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan. Komunikasi hanya salah satu unsur saja, yang harus ada. Namun mesti ditopang dengan berbagai unsur lainnya.
Don't touch me
Keluarga Adi termasuk terpelajar dan bercorak modern. Isti, sang istri, adalah seorang doktor, peneliti, dan sekaligus dosen di sebuah perguruan tingga ternama. Sementara Adi adalah seorang pengusaha cukup sukses. Dunia Adi dan Isti sangat berbeda, satu dunia akademis, satu lagi dunia bisnis praktis. Kesibukan masing-masing yang luar biasa, mampu mereka siasati dengan baik dengan selalu berkomunikasi. Secara umum, obrolan mereka tampak lancar, dan secara sikap tampak saling menghormati.
Namun tidak ada yang menyangka bahwa sesungguhnya Adi memendam kekecewaan yang sangat mendalam terhadap Isti. Saking sibuknya Isti sebagai pejabat struktural di kampus, dosen dan peneliti, sampai tidak memiliki waktu yang cukup untuk menemani suami. Bahkan akhir pekan pun sering tak ada waktu saking banyaknya tugas yang harus segera diselesaikan.
Malam Minggu yang diharapkan akan menjadi ajang berduaan dengan sang istri, sering berujung pada kekecewaan diam-diam. Adi berusaha untuk selalu mendukung karier sang istri. Isti pun tampak sedemikian menikmati segudang kesibukan yang datang silih berganti. Seperti yang terjadi pada sebuah malam Minggu, Adi sangat ingin mengajak Isti jalan berduaan. Sepulang dari shalat Isya di masjid, ia segera masuk ke dalam kamar. Isti tengah sibuk menulis laporan penelitian di laptop kerjanya.
"Don't touch me," kata Isti saat mengetahui Adi mendekati dirinya.
"Laporan ini harus dikumpulkan hari Senin. Ini masih sangat banyak yang harus ditulis. Please, don't touch me," ujar Isti sambil tetap menulis di laptop. Tidak melihat kepada Adi sama sekali.
Dengan hati masygul Adi keluar kamar dan duduk di ruang keluarga, menonton acara di televisi. Sendiri. Adi sangat ingin memahami dan mendukung kegiatan Isti. Namun kebutuhan emosionalnya sebagai suami kerap tidak terpenuhi. Tumpukan dari peristiwa serupa ini, menjadi kekecewaan yang mendalam. Adi suami yang baik. Ia tidak pernah mengekspresikan kekecewaan secara langsung kepada Isti. Ia tidak mau ribut dan tidak ingin membuat Isti kecewa.
Terlalu sering ia mendengar kalimat "don't touch me" dari sang istri. Setiap ada kesempatan liburan di rumah, Adi selalu mengusahakan untuk bisa menikmati waktu bersama Isti. Namun sangat jarang keinginan itu terlaksana. Yang lebih sering adalah, ia harus rela tidur atau ketiduran sendiri, karena menunggu Isti selesai menulis laporan.Â
Saat sibuk dengan berbagai laporan penelitian dan tugas kedinasan lainnya, Isti demikian konsentrasi menyelesaikan pekerjaannya. "Don't touch me please" adalah kata yang lebih sering diucapkan Isti, ketimbang kata I love you atau kata-kata mesra lainnya.
Kekecewaan Adi semakin memuncak saat untuk kesekian kalinya gagal menikmati malam minggu berduaan bersama Isti. Namun ia selalu memendam kekecewaan itu dalam hati, tidak diekspresikan kepada Isti. Bisa jadi, Isti merasa sikapnya wajar dan biasa saja. Toh Adi tidak pernah protes. Namun suara hati Adi yang terluka, tumpah ruah disampaikan kepada temannya.
Garwo, sigaraning nyowo
Dalam bahasa Jawa, pasangan sering disebut sebagai "garwo". Orang-orang tua zaman dulu mengajarkan, garwo adalah singkatan dari sigaraning nyowo, atau belahan jiwa. Ini adalah kondisi di mana suami dan istri saling merasakan kebersamaan yang kuat satu dengan yang lain, merasakan saling memiliki, saling mencintai, saling merasakan kehilangan saat tidak bisa berduaan.Â
"Dilabuhi tekaning pati, tekan pecahing dhodho, wutahing ludiro," dibela hingga mati. Walau dada harus terbelah dan darah harus tumpah, istri akan dibela dan dijaga oleh suami. Pun sebaliknya.
Inilah yang lebih esensial dibandingkan dengan kelancaran komunikasi. Suasana jiwa yang saling terikat satu dengan yang lainnya, membuat suami dan istri akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk pasangan. Suami dan istri yang sibuk dengan pekerjaan, profesi serta organisasi, harus bisa disiasati agar tidak membuat keringnya cinta kasih di antara mereka.Â
Kendati setiap hari mereka terus berkomunikasi, namun dengan lemahnya keterikatan hati, menyebabkan mereka hanya berinteraksi sebagai teman tidur, teman makan, teman saat di rumah. Bukan sebagai belahan jiwa.
Adi dan Isti adalah contoh pasangan yang kehilangan makna "sigaraning nyowo". Mereka tinggal berduaan saja di rumah, dua anak mereka tengah kuliah di kota yang berbeda. Namun semakin tua usia mereka, bukannya semakin bisa menikmati waktu bersama. Justru semakin sibuk dengan profesi dan kariernya. Bagi Isti, tugas-tugasnya jauh lebih penting daripada sekedar berjalan berduaan di kota atau bermalam Minggu di sebuah tempat wisata. Kendati berusaha memahami, akan tetapi ada ruang jiwa kosong yang tidak terisi. Adi sangat merasakan kekosongan ini. Ia merasa tidak memiliki belahan hati.
Walau setiap hari selalu berkomunikasi, namun tidak disertai dengan suasana saling memiliki. "Hai Adi, good morning," sapa Isti setiap pagi. "Hai Isti," jawab Adi. "Good night, Adi," ucap isti setiap malam sebelum tidur. "Good night Isti," jawab Adi. Seperti komunikasi yang mekanis, rutin, menjalankan kewajiban layaknya pasangan suami istri pada umumnya. Seperti robot. Seperti mesin. Mereka terus berkomunikasi, namun semata-mata menjalankan rutinitas kehidupan berumah tangga.
Jadilah belahan jiwa
Yang harus selalu dijaga dalam pernikahan adalah suasana belahan jiwa. Anda akan merasa kehilangan pasangan saat tidak bisa berduaan dengannya. Anda akan merasakan kekosongan saat tidak bersama dirinya. Anda akan merasa tidak nyaman saat terlalu lama terpisah dari pasangan. Anda tidak akan tega membiarkan pasangan merana tanpa kehangatan pelukan anda. Walau setiap saat anda selalu berkomunikasi verbal, itu tidak cukup untuk membuat kelekatan jiwa dengan pasangan.
Tentu pekerjaan dan tugas kedinasan harus diselesaikan dan ditunaikan. Namun itu bukan alasan untuk mengusir suami saat ingin bermesraan. "Don't touch me" adalah kalimat penolakan yang sangat menyakitkan bagi pasangan yang ingin mengekspresikan cinta. Karena semestinya, "Aku tak bisa bermalam minggu tanpamu", dan "semua karierku tak ada gunanya tanpa cintamu".
Jadilah belahan jiwa, yang anda merasa tidak bisa hidup tanpanya. Jadilah kekasih yang dengannya anda merasakan kehidupan yang nyata. Dengannya anda mendapatkan makna. Dengannya anda meraih surga.
*) Adi dan Isti, bukan nama sebenarnya.Â
Bahan Bacaan
Cahyadi Takariawan, Wonderful Couple : Menjadi Pasangan paling Bahagia, Era Adicitra Intermedia, Solo, 2016
John Gray, Beyond Mars and Venus:Â Membangun Hubungan Ideal di Zaman yang Semakin Kompleks, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H