Kehidupan pernikahan dan berumah tangga sangat berbeda dengan saat lelaki dan perempuan masih hidup lajang. Di saat masih jomblo, mereka cenderung bisa leluasa menikmati kebebasan tanpa ada keharusan untuk melakukan penyesuaian.Â
Namun setelah menikah, kedua belah pihak harus membuka diri seluas-luasnya untuk berubah bersama pasangan. Lelaki dan perempuan harus merelakan adanya intervensi dalam kehidupan baru bersama pasangan. Tidak bisa lagi bersikukuh mempertahankan 'orisinalitas' diri, tanpa mau berubah bersama pasangan. Inilah konsekuensi hidup berumah tangga.
Sekarang coba saya ajak anda memahami fenomena berbagai perbedaan antara suami dan istri. Mungkin perbedaan karakter, perbedaan kebiasaan, dan pengalaman hidup yang sangat mencolok dari pasangan suami istri.Â
Dengan memahami berbagai fenomena perbedaan ini, akan memudahkan bagi anda untuk memahami pentingnya menerima pengaruh pasangan, walaupun ada yang tidak disukai. Menerima pengaruh pasangan menjadi sebuah keharusan untuk membentuk keharmonisan dan kebahagiaan hidup berumah tangga.
Fenomena 1: Sang Perencana dan Sang Penikmat
Pasangan Andi dan Sari (bukan nama sebenarnya) memiliki karakter yang sangat berbeda. Sari adalah tipe perencana. Segala sesuatu direncanakan dengan detail. Ia bahkan memiliki catatan lengkap tentang berbagai rencana dalam kehidupannya.Â
Hal ini sudah dilakukannya sejak masih sekolah di bangku SMA, hasil dididikan dari orang tua dan orang-orang di sekitarnya. Maka setelah menikah, Sari langsung mengajak Andi untuk membuat perencanaan hidup. Sayangnya, Andi bukan tipe perencana. Andi adalah seorang lelaki yang terbiasa hidup bebas tanpa mengerti perencanaan.
Karena Sari tidak bisa mengajak Andi membuat planning, maka ia pun membuat rencana sendiri. Tahun berapa akan membangun rumah, tahun berapa membeli mobil, tahun berapa naik haji, tahun berapa berangkat umrah, tahun berapa wisata ke Singapura, semua sudah direncanakan dengan detail dan dicatat dalam buku catatannya. Setiap kali Anda diajak mendiskusikan semua perencanaan hidupnya, Andi selalu mengelak. Dampaknya Sari uring-uringan dan tidak betah dengan gaya hidup Andi yang santai, mengalir baik air di sungai.
Di ruang konseling, Sari menunjukkan catatan perencanaan yang dibuatnya, sembari menyatakan bahwa Andi tidak memiliki perencanaan apapun dalam kehidupan. Ini yang menjadi sumber konflik setiap saat dalam rumah tangga mereka yang baru berjalan lima tahun.Â
Menurut Sari, hidup berumahtangga harus serba direncanakan agar sumber daya yang terbatas bisa dikelola secara efektif dan efisien. Menurut Andi, hidup harus dinikmati, jangan sampai terbebani oleh target-target yang bisa jadi tidak tercapai sesuai rencana.
Apa tuduhan Sari? "Suami saya hidupnya terlalu santai dan tidak memiliki perencanaan sama sekali. Padahal sumber daya keluarga kami sangat terbatas dan harus dikelola dengan sebaik mungkin. Itu hanya bisa terjadi apa bila kita memiliki perencanaan yang detail. ia bahkan tidak bisa merencanakan apapun".
Apa tuduhan Andi? "Istri saya terlalu akademis dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Orang hidup itu yang penting berusaha keras disertai doa. Jika nanti punya uang, kita bangun rumah. Jika punya uang, kita beli mobil, dan begitu seterusnya. Kewajiban kitahanya berusaha dan berdoa. Jangan dibuat stress dengan rencana-rencana yang kita bikin sendiri. Istri saya itu tidak bisa menikmati hidup."
Coba perhatikan. Sari sangat perencana, namun menjadi stress dan tegang dengan aneka rencananya. Andi tidak memiliki perencanaan, namun pandai menikmati hidup. Siapa yang harus berubah? Keduanya harus berubah.Â
Mereka berdua harus bersedia menerima pengaruh pasangan, hingga berada di titik keseimbangan. Jika Andi dan Sari saling memaksakan kehendak, maka mereka akan bertengkar di sepanjang rentang kehidupan berumah tangga.
Fenomena 2: Sang Ratu Kebersihan dan Sang Raja Kebebasan
Budi dan Novi (bukan nama sebenarnya) adalah pasangan dengan karakter yang berbeda tajam. Novi adalah perempuan yang sangat menjaga kebersihan dan kerapihan segala sesuatu. Ini adalah hasil pembiasaan hidup semenjak ia kecil bersama ayah dan ibunya yang sangat menjaga kebersihan dan kerapihan. Novi tidak bisa melihat ada kotoran atau ketidakrapihan di dalam rumahnya.Â
Maka semenjak menikah, ia sudah menata rumah mungilnya dengan bersih dan rapi. Ia memiliki banyak tempat untuk aneka keperluan. Ada tempat untuk handuk bersih, ada tempat untuk handuk kotor. Ada tempat untuk pakaian bersih, ada pula untuk pakain kotor, dan begitu seterusnya.
Sementara itu, Budi adalah seorang lelaki yang terbiasa dengan ketidakteraturan. Hidupnya cenderung bebas, dan tidak terlalu peduli dengan kerapihan rumah. Ia tidak menuntut Novi untuk membersihkan dan merapikan rumah, karena bagi Budi, yang paling penting anak-anak sudah diurus dengan baik.Â
Bahkan Budi punya kebiasaan menggantungkan jaket, baju, dan celana panjang ke 'kapstok' yang dipasang di balik pintu kamar tidur mereka. Kebiasaan ini sudah dimiliki Budi semenjak kuliah. Ia dan teman-teman satu kos memiliki pola hidup yang cenderung santai dan longgar dalam urusan kebersihan serta kerapian. Inilah salah satu pemicu konflik setiap hari antara Budi dan Novi.
Apa tuduhan Novi? "Sudah berapa kali aku minta kepadamu untuk memisahkan pakaian kotor kamu agar aku bisa mencucinya. Jangan digantung semua di balik pintu seperti itu. Kamu tidak perlu mencuci, aku yang akan mencuci. Kamu hanya aku minta untuk memisahkan baju kotor dan menaruhnya di keranjang cucian. Apakah itu sulit?" ujar Novi. Nyatanya, Budi bahkan tidak bisa membedakan mana pakaiannyayang sudah kotor dan mana yang masih bersih.
Apa tuduhan Budi? "Mengapa hidup kita harus sangat kaku seperti ini? Sudahlah, biar saja rumah kita sedikit berantakan, yang penting kita semua nyaman, dan anak-anak terurus dengan baik. Jangan menghabiskan waktu untuk merapikan dan membersihkan rumah. Toh masih banyak hal lain yang bisa kita lakukan", ujar Budi.
Nah, siapakah yang harus berubah? Keduanya harus berubah, menerima pengaruh pasangan. Hingga berada di titik keseimbangan, yang membuatmereka merasa saling nyaman dan saling bisamerawat kebersamaan.
Fenomena 3: Sang Inspektur dan Sang Pelupa
Hari dan Dewi (bukan nama sebenarnya) adalah pasangan dengan karakter yang sangat jauh berbeda. Hari adalah tipe lelaki yang disiplin dan berusaha untuk selalu mengontrol segaa sesuatudalam kehidupan berumah tangga. Ini hasil pendidikan yang ditempuh Hari, sekaligus menjadi pekerjaan kedinasan yang dilakoninya saat ini.Â
Ia bekerja pada bagian yang mengharuskannya untuk melakukan pemeriksaan dengan detail. Sang inspektur yang biasa memeriksa, dilakukan pula 'tugas' ini dalam hidup berumah tangga. Ia selalu mengontrol kegiatan Dewi dan anak-anak setiap hari.
Sementara itu Dewi memiliki sifat pelupa. Dewi sendiri ketika ditanya sudah lupa, sejak kapan dia menjadi pelupa. Maka sangat banyak hal yang terlalaikan karena kelupaan, bukan karena kesengajaan. Misalnya ketika Hari meminta tolong kepada Dewi untuk men-charge HPnya yang sedang lowbat, ternyata Dewi belum mencolokkan charger ke sambungan listrik.Â
Setelah beberapa saat Hari membutuhkan HP, dia kaget karena ternyata HP dalam keadaan mati kehabisan daya baterai dan dalam kondisi tergeletak di dekat colokan listrik. Ini hanya contoh kecil, sangat banyak peristiwa kelupaan yang akhirnya berbuntut pertengkaran.
Pertengkaran menjadi lebih sering terjadi dalam rumah tangga Hari dan Dewi, karena kebiasaan Hari yang suka mengotrol segala sesuatu, berdampak memperbanyak hal yang tampak lalai pada diri Dewi. Pada titik tertentu, Dewi merasa selalu disalahkan, padahal ia juga merasa sudah melakukan hal yang baik dan benar untuk suaminya, namun seakan itu tidak pernah dilihat dan dihargai. Yang tampak pada Hari selalu sisi kelemahan Dewi yang sering lupa, tidak tampak usaha Dewi yang sudah melakukan banyak kebaikan untuknya.
Siapakah yang harus berubah? Keduanya harus berubah. Hari dan Dewi harus berusaha menerima pengaruh pasangan, hingga mereka bisa berada dititik keseimbangan yang membuat hidup mereka nyaman dan damai.
Rela Menerima Pengaruh Pasangan
Nah, dari berbagai contoh fenomena hidup berumah tangga yang saya sampaikan di atas, cukup mudah memahami mengapa suami dan istri harus rela menerima pengaruh pasangan. Tujuannya adalah untuk mencapai titik keseimbangan dalam kehidupan berumah tangga, yang bisa dinikmati oleh suami dan istri.Â
Bukan hanya suami saja yang berubah menerima pengaruh pasangan, bukan hanya istri saja yang berubah menerima pengaruh pasangan. Keduanya harus rela berubah untuk menerima pengaruh pasangan.
Ketidaksediaan atau ketertutupan diri untuk menerima pengaruh pasangan, adalah sebentuk 'kesombongan' yang harus dihilangkan. Ajaklah pasangan anda berubah dan berproses bersama, menuju kondisi yang lebih baik dan lebih nyaman.Â
Bimbinglah pasangan anda, untuk berproses bersama menuju kehidupan berumah tangga yang lebih harmonis dan bahagia. Bukan dengan memaksakan kehendak, namun dengan proses bersama, menerima pengaruh pasangan untuk kemudian melakukan perbaikan.
Dengan cara seperti ini tidak perlu ada yang terluka untuk cinta. Tidak perlu tuduh menuduh, tuding menuding, salah menyalahkan, namun justru bergandengan tangan untuk melakukan perubahan bersama pasangan. Betapa indah dan menyenangkan jika hal seperti ini bisa kita wujudkan dalam kehidupan keseharian.
Solo, 24 Juli 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H