Empat belas tahun adalah waktu yang lama. Benarkah? Saya ingin bercerita tentang makna waktu empatbelas tahun dalam kehidupan berumah tangga. Ini kisah tentang seorang lelaki yang kehilangan waktu sepanjang itu.
Sejak sebelum menikah ia sudah sangat obsesif untuk memiliki usaha sendiri. Ia bertekad tidak mau bekerja pada orang lain, namun ia ingin membangun usaha yang membuatnya bisa mandiri dan mempekerjakan orang lain. Setelah menikah, keinginan itu bertambah kuat. Ia sangat ingin membahagiakan istri dan anak-anak kelak.
Akhirnya ia mulai membangun usaha yang dirintis dengan modal seadanya. Berbekal semangat dan ilmu bisnis yang didapatkan dari berbagai forum pelatihan, ia mulai menjalankan bisnis rumahan. Ia bahagia ternyata dalam waktu cepat sudah mulai ada hasil yang bisa dinikmati. Ia bertambah yakin akan mampu membesarkan usahanya. Ia pun sibuk mengikuti coaching bisnis. Hasil usahanya kian menggembirakan di bawah bimbingan coach,
“Branding”, ujar sang coach. “Kamu harus mulai membranding usahamu”. Ini yang akhirnya mengurus tenaga, waktu, pikiran dan perhatian. Waktu terus berlalu dengan segala dinamika dan suka duka dalam membangun branding. Berbagai tantangan yang setiap hari ditemui semakin membuat dia asyik dalam usahanya. Ia memang tipe lelaki pekerja keras dan menyukai tantangan.
Tanpa terasa empat belas tahun sudah ia serius berkonsentrasi membangun branding usahanya. Pagi, siang, sore malam waktunya habis untuk membranding usahanya. Seluruh tenaga, pikiran dan sumber daya dicurahkan untuk membangun usaha yang dirintisnya dari nol. Sangat mengasyikkan, namun juga melenakan. Sepanjang waktu itu ternyata ia telah meninggalkan keluarga. Tanpa terasa. Atas nama kesibukan kerja, ia tidak memiliki waktu untuk istri dan dua anaknya. Bahkan tidak ada kamus libur dalam hidupnya.
Alhamdulillah berhasil. Usahanya sekarang berkembang pesat. Branding yang sangat kuat, menyebabkan usahanya dan dirinya sangat terkenal. Sesuai dengan cita-cita dan harapan yang sudah dibangun selama ini. Ia merasa sangat puas menyaksikan kondisi perusahaannya sekarang. Benar-benar ia berhasil membuktikan bahwa dirinya bisa mandiri, bisa membangun bisnis, bisa membangun perusaan, bisa melakukan branding, dan mempekerjakan banyak karyawan. Sebuah kondisi yang sesuai dengan mimpinya selama ini.
Namun, apakah ia berhasil membahagiakan keluarganya? Inilah berita sedihnya.
Ketika ditanya tentang keluarga, ia sangat gagap. "Keluarga? Oh ya... Aku akan segera mengurusnya..." katanya.
Ia tersentak saat diingatkan soal keluarga. Selama ini ia terlalu fokus mengurus bisnisnya. Ia tidak peduli dengan kondisi istri dan kedua anaknya. Ia tidak terlibat dalam pengasuhan kedua anak yang tidak terasa demikian cepat tumbuh kembang mereka. Rasanya belum lama menikah dan membentuk rumah tangga, tidak terasa sudah lebih dari ematbelas tahun. Semua mengalir begitu saja, sebegitu asyik dan fokus membangun bisnis, hingga ia lupa bahwa pihak yang akan dibahagiakan dengan bisnisnya adalah keluarga.
Bergegas ia pulang ke rumah, kembali mengurus keluarga.
Namun terlambat. Sang istri sudah terlalu lama merasa tidak dicintai, merasa tidak diperhatikan. Sang istri mengalami kegersangan cinta. Hatinya sudah layu. Memendam kecewa dalam waktu lama. Kendati ia perempuan setia, yang tidak mau menduakan suaminya dengan lelaki lain, namun rasa cinta yang dulu demikian membara saat masa-masa indah bulan madu, sekarang sudah menghilang. Ia tidak menemukan rasa cinta kepada suaminya. Rasanya sudah hambar.