Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Istri Harus Menggugat Cerai

12 September 2016   22:34 Diperbarui: 12 September 2016   22:41 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya telah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa Bang Toyib benar-benar telah melanggar perjanjian shighat taklik yang diucapkan saat akad nikah dulu. Sepuluh tahun pergi tanpa kejelasan, katanya bekerja di luar negeri untuk mencari penghidupan yang mapan. Namun nyatanya Romlah harus hidup sendiri, bekerja keras membanting tulang demi biaya hidup sehari-hari bersama dua anak tercinta. Kepahitan yang sudah terlalu lama membuat rasa pahit itu menjadi biasa. Kesedihan yang berketerus menerusan bisa saja membuat Romlah sudah kebal dengan perasaan itu.

Kendati Bang Toyib telah melanggar poin-poin perjanjian shighat taklik, akan tetapi tidak dengan sendirinya, tidak dengan serta merta, menyebabkan mereka berdua menjadi bercerai begitu saja. Baik secara agama, maupun secara hukum positif yang berlaku di Indonesia. Mereka tetap sebagai suami dan istri yang sah secara legal formal, yang bisa dibuktikan dengan adanya surat nikah. Walaupun fungsi-fungsi keluarga sudah tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, namun ikatan legal formal mereka sebagai suami istri tidaklah terputus begitu saja.

Perjanjian Shighat Taklik

Sebagaimana telah saya posting sebelumnya, isi dari shighat taklik pada dasarnya adalah sebuah janji untuk mu’asyarah bil ma’ruf(pergaulan yang baik) terhadap istri. Bang Toyib pernah mengucapkan janji itu saat akad nikah dengan Romlah di depan ayah Romlah, saksi, petugas dari KUA dan  seluruh keluarga yang hadir menyaksikan prosesi tersebut. Pada waktu itu dengan lancar dan lantang Bang Toyib membaca ikrar :

Bismillahirrahmanirrahim

Wa aufu bil ‘ahdi, innal ‘ahda kana mas’ula

“Dan tepatilah janjimu, sesungguhnya janji itu kelak akan dituntut.”

Sesudah akad nikah, saya : Toyib bin Sudarmo, berjanji dengan sesungguh hati bahwa saya akan mempergauli istri saya yang bernama : Romlah binti Munawar, dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran Islam.

Kepada istri saya tersebut saya menyatakan sighat ta’lik sebagai berikut.

Apabila saya :

  • Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
  • Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
  • Menyakiti badan atau jasmani istri saya;
  • Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih,

Dan karena perbuatan saya tersebut, istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut kemudian istri saya membayar uang sebesar Rp. 10,000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai ‘iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.

Kepada Pengadilan Agama saya memberikan kuasa untuk menerima uang ‘iwadl (pengganti) tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial.

Suami : Toyib bin Sudarmo.

Pilihan Sikap Istri

Telah saya sampaikan pada postingan sebelumnya, bahwa ada tiga poin perjanjian yang nyata-nyata dilanggar oleh Bang Toyib, yaitu poin pertama, kedua dan keempat. Untuk poin ketiga tentang menyakiti  badan atau jasmani, tidak ada indikasi itu karena satu sisi mereka terpisah jarak jauh, dan sisi lainnya Romlah tampak segar bugar. Tidak tampak sebagai seseorang yang menderita kekerasan fisik dalam rumah tangga.

Kendati telah nyata pelanggaran yang dilakukan Bang Toyib atas perjanjian tersebut, akan tetapi dalam perjanjian tersebut juga masih ada klausul tentang sikap istri. Klausul tersebut adalah, “Dan karena perbuatan saya tersebut, istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut kemudian istri saya membayar uang sebesar Rp. 10,000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai ‘iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya”.

Dengan demikian, tuntutan kejelasan sikap berikutnya adalah dari pihak Romlah. Setelah meyakini adanya unsur pelanggaran Bang Toyib terhadap perjanjian shighat taklik, maka harus ditanyakan kepada Romlah, bagaimana sikap dia terhadap pelanggaran tersebut? Kurang lebih urutan normatif dalam perjanjian tersebut adalah sebagai berikut.

  • Ada pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh suami
  • Istri tidak ridho
  • Istri mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Agama
  • Gugatan cerai diterima oleh Pengadilan Agama
  • Istri membayar uang sebesar Rp. 10,000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai ‘iwadl (pengganti) kepada suami
  • Jatuh talak satu

Pelanggaran perjanjian sudah jelas ditemukan dalam kasus Bang Toyib. Namun sepertinya Romlah berada dalam kondisi yang juga “tidak jelas”. Tentu saja dia tidak ridho atau tidak rela dengan kondisi yang dihadapi itu, bahwa dia tidak dinafkahi, bahwa dia ditelantarkan, bahwa dia tidak memiliki kejelasan status. Tapi dia memilih diam dan tidak meributkan itu semua. Seakan penerimaan atas takdir yang memang harus dijalani dalam kehidupan, dan dia meyakini selalu ada hikmah kebaikan di balik setian kejadian yang dialaminya. Sakit memang sakit, sedih ya jelas sedih, namun mau apa lagi? Antara putus asa dan menyimpan harapan. Antara benci dan rindu. Antara marah dan maaf. Berharap namun selalu cemas. Secara lugas, bisa dikatakan sikap Romlah ini “tidak jelas”.

Apakah siap diamnya Romlah terhadap perlakuan Bang Toyib itu bisa disebut sebagai ridho? Jika memang tidak ridho, mengapa ia diam saja? Oke, anggaplah Romlah tidak ridho, walaupun situasinya mengambang dan tidak jelas seperti itu. Masih ada langkah berikutnya, yaitu mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Agama. Pada titik ini diperlukan keberanian yang cukup, serta kesadaran yang memadai dari seorang Romlah yang memang sejak kecil sudah terbiasa hidup menderita. Timbang sana timbang sini, mikir ini mikir itu, hingga waktu terus berlalu, dan tidak sadar ternyata telah menghabiskan waktu sepanjang sepuluh tahun.

Padahal jika Romlah segera bersikap tegas, ia bisa segera membuat masalah ini segera ada kejelasan. Romlah mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama, dan akan ditindaklanjuti oleh pihak Pengadilan Agama. Apabila gugatannya diterima, maka segera ada ending yang nyata. Hidup akan segera bermula kembali dalam bentuk dan format yang baru. Menjadi janda “definitif”, dimana ia bisa bersiap menempuh babak kehidupan yang baru. Apakah akan memilih single parent, atau membuka lembaran baru bersama suami yang baru pula. Itu merupakan pilihan bagi Romlah.

Jika Romlah tetap memilih diam dan membuat statusnya menggantung untuk selamanya, itu adalah pilihan sadarnya. Dan jika Romlah memilih opsi menggugat ke Pengadilan Agama, itupun menjadi haknya. Bahagia atau duka, Romlah yang merasakannya. Orang lain hanya melihat dan menilai menurut kacamata dan ukuran mereka masing-masing.

.......

Baca postingan kisah Bang Toyib sebelumnya di Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun