Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Suami Melanggar Janji

12 September 2016   17:12 Diperbarui: 12 September 2016   17:24 5414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi mu’asyarah bil ma’rufitu adalah perintah kepada para suami untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan istri, dengan cara yang disenangi istri. Bukan dengan  cara semau-maunya suami, atau dengan cara sesuka hati suami. Mungkin banyak suami yang karena merasa dirinya menjadi pemimpin rumah tangga, maka ia bebas melakukan apa saja, dan bebas memperlakukan istri dengan cara yang disukainya sendiri. Padahal yang diperintahkan Allah dalam ayat ini adalah memperlakukan istri dengan cara yang disukai hati istri.

Inilah salah satu jawaban, mengapa banyak istri merasa tidak happy hidup bersama suami, hingga memilih untuk menggugat cerai. Sekitar 70 % perceraian di Indonesia terjadi karena gugat cerai dari pihak istri. Mungkin karena mereka sudah tidak bisa menerima perlakuan suami yang tidak disukai hati mereka. Mestinya para suami memperlakukan istri dengan cara yang disenangi istri. Nyatanya banyak suami yang memperlakukan istri dengan cara yang sesuai dengan kemauan dan keinginannya sendiri, tanpa peduli perasaan istri.  

Perjanjian Yang Detail

Perjanjian itu masih diperinci lagi dengan empat poin yang bercorak sangat detail, untuk tidak melakukan tindakan sebagai berikut:

  • Meninggalkan istri selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
  • Tidak memberi nafkah wajib kepada istri 3 (tiga) bulan lamanya;
  • Menyakiti badan atau jasmani istri;
  • Membiarkan (tidak memperdulikan) istri selama 6 (enam) bulan atau lebih.

Empat poin ini bercorak sangat detail dan mudah dilakukan evaluasi. Misalnya, jika ada suami meninggalkan istrinya dua tahun berturut-turut tanpa ada kejelasan berita apapun, maka ini sudah menjadi poin pelanggaran dari perjanjian shighat taklik. Jika ada suami tidak memberikan nafkah wajib kepada istri tiga bulan berturutan, tanpa ada kejelasan alasan yang bisa diterima akal sehat, maka ini sudah menjadi poin pelanggaran perjanjian. Jika ada suami menyakiti badan atau jasmani istri, baik dengan alat-alat tertentu ataupun dengan tangan kosong, ini jelas merupakan poin pelanggaran perjanjian. Jika ada suami yang membiarkan istri selama enam bulan, inipun sudah menjadi poin pelanggaran.

Bahkan, menyakiti badan atau jasmani istri ini bukan semata-mata dengan kekerasan fisik, seperti pukulan, tendangan, cakaran, dan lain sebagainya. Bahkan kata-kata kasar dan menyakitkan pun, walaupun tanpa kekerasan fisik, bisa berdampak menyakiti badan istri. Ini yang disebut sebagai psikosomatis. Kondisi sakit psikis yang menyebabkan fisiknya ikut sakit. Jika diperiksa ke dokter atau ke laboratorium hasilnya semua baik-baik saja, namun realitasnya ia sangat lemah dan tidak mampu beraktivitas normal. Fisiknya ikut sakit, akibat psikis yang tersakiti.

Bagaimana dengan Bang Toyib? Ia sudah melanggar sangat banyak hal. Sebelum ia melanggar poin-poin perjanjian yang detail tersebut, bahkan ia sudah melanggar perjanjian dasar untuk mempergauli Romlah dengan cara mu’asyarah bil ma’ruf. Jelas Romlah tidak suka dan tidak senang diperlakukan seperti itu oleh Bang Toyib. Ditinggal dan ditelantarkan selama sepuluh tahun tanpa dinafkahi dan tanpa mendapat kejelasan berita sama sekali.

Janji yang diucapkan Bang Toyib pada saat akad nikah itu sedemikian sakral, namun ternyata dengan mudah diabaikan dan dilanggar begitu saja. Dampak dari pelanggaran ini sudah pasti sangat merugikan. Romlah dan kedua anaknya menjadi terzalimi, kehilangan kasih sayang, kehilangan figur suami dan ayah, kehilangan pasangan untuk berbagi dalam suka dan duka. Padahal menikah adalah untuk mendapatkan suasana sakinah mawadah wa rahmah, dengan kehidupan yang seperti itu tentu tidak mungkin bisa didapatkan.

Semoga Bang Toyib membaca tulisan ini, dan segera mengontak Romlah serta kedua anaknya. Kabarkan keberadaan dirimu, dan segera pulang menemui keluargamu. Lihatah betapa Romlah sangat setia menunggumu. Lihatlah kedua anakmu yang kini sudah beranjak remaja dan butuh bimbingan serta kasih sayangmu. Segera minta maaf kepada Romlah dan kedua anakmu, karena engkau telah melanggar sejumlah perjanjian shighat taklik. Maka engkau harus mengobati luka hati keluargamu. Rawat dan dampingi keluargamu. Jangan pernah tinggalkan mereka lagi.

Baca postingan kisah Bang Toyib sebelumnya di akun Kompasiana saya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun