Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sediakan Pelampung Sebelum Rumah Tangga Anda Bermasalah

21 Juli 2016   07:15 Diperbarui: 21 Juli 2016   20:37 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Suami saya sudah tidak bisa diajak berbicara. Apapun yang saya lakukan jadi salah”, keluh seorang istri di ruang konseling. Ia mengeluhkan sikap suaminya akhir-akhir ini.

“Saya berpikir untuk bercerai saja. Saya sudah lelah dengan sikap dan perilakunya yang tidak mau berubah,” ungkap seorang suami di ruang konseling. Ia tengah jengkel dengan sikap istrinya.

Begitulah keluhan yang sering dijumpai para konselor di ruang konseling. Banyak pasangan suami istri merasa sudah buntu, tidak mengerti jalan keluar dari masalah yang tengah mereka hadapi. Akhirnya tidak jarang yang memilih untuk menempuh jalan pintas dengan bercerai. Di saat situasi darurat dalam keluarga telah terjadi, mereka tidak memiliki kesepakatan tentang tindakan pengamanan dan penyelamatan yang harus dilakukan. Akhirnya masing-masing memilih jalannya sendiri, yang kian menjauhkan satu dengan yang lain.

Untuk mewujudkan kebahagiaan dan keharmonisan keluarga, ada banyak aspek yang sangat penting dan signifikan untuk mendapatkan perhatian. Pada tiga postingan terdahulu, berturut-turut telah saya sampaikan tentang tentang aspek persiapan menjelang pernikahan (lihat Sertifikat Layak Menikah, Perlukah?), aspek pembinaan hidup berumah tangga (lihat Adakah "Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Rumah Tangga"?), serta aspek pemberdayaan keluarga (lihat Tidak Cukup Kata Cinta, Keluarga Butuh Biaya). Pada kesempatan kali ini akan saya sampaikan tentang aspek pencegahan.

Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati

Dalam dunia kesehatan, berlaku idiom “lebih baik mencegah daripada mengobati”, demikian pula dalam konteks kebahagiaan keluarga secara umum dan luas. Keluarga harus diberi kemampuan untuk melakukan pencegahan dari berbagai permasalahan. Sesungguhnya keluarga tidak perlu terjebak atau terjatuh ke dalam persoalan yang rumit dan membahayakan, selama mereka sudah memiliki kemampuan pencegahan yang baik.

Sepanjang kurang lebih 16 tahun pengalaman menjadi konselor keluarga di Jogja Family Center (JFC), hampir semua persoalan hidup berumah tangga bermula dari hal-hal kecil dan sederhana. Seperti membiarkan persoalan-persoalan kecil menumpuk, akhirnya membesar tanpa bisa dikendalikan. Bermula dari komunikasi yang tidak nyaman, tidak saling terbuka satu dengan yang lain, lebih suka menutup diri, lebih percaya kepada orang lain daripada pasangan sendiri, hingga merembet kepada persoalan yang lebih besar. Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit, demikian kata pepatah mengatakan.

Kami menyebut kondisi ini sebagai “fenomena gunung pasir”. Mengapa gunung pasir? Karena itulah yang saya lihat setiap hari di Yogyakarta. Begitu saya membuka jendela rumah, langsung tampak Gunung Merapi. Usai erupsi besar tahun 2010, masyarakat sekitar Merapi mendapat limpahan berkah berupa pasir yang berkualitas bagus untuk bahan bangunan. Kini pasir itu ditumpuk di berbagai tempat, dari kejauhan tampak seperti gunung yang sangat tinggi. Namun begitu kita dekati, lalu kita ambil dengan tangan kita, ternyata hanyalah tumpukan butir-butir pasir yang sangat kecil dan halus.

Demikian juga persoalan hidup berumah tangga. Pasangan suami istri yang dilanda persoalan besar dan rumit, pada dasarnya adalah tumpukan dari butir-butir persoalan kecil yang dibiarkan menumpuk. Tidak ada upaya mencegah agar tidak terjadi penumpukan, justru yang sering terjadi adalah gejala pembiaran. Masalah demi masalah dibiarkan, konflik demi konflik dibiarkan, akhirnya muncul tumpukan permasalahan yang menjadi berat. Tidak selalu karena adanya partikel masalah yang besar, namun lebih karena bertumpuknya partikel-partikel masalah kecil.

Sama seperti fenomena gunung pasir. Jika kita melihat dari segi satuan butir pasir, hanyalah partikel yang kecil dan ringan. Namun jangan pernah menyepelekan, karena jika partikel kecil dan ringan itu ditumpuk hingga menggunung, niscaya akan menjadi gunung masalah yang siap meledak sewaktu-waktu. Tergantung ada pemicu atau tidak, dan sepanjang apa sumbu ledaknya. Jika ada faktor pemicu, dan termasuk tipe sumbu pendek, maka akan sangat mudah meledak.

Konflik atau pertengkaran antara suami dan istri, atau antara orang tua dengan anak, tidak akan terjadi dan membesar begitu saja. Semua ada prosesnya, ada tahap dan levelnya. Yang sering terjadi adalah membiarkan saja gejala awal munculnya konflik, hingga akhirnya berubah level dan sampai puncak ledakan yang tak terelakkan. Jika mereka mengenal gejala konflik, sesungguhnya bisa melakukan pencegahan sejak dini, agar konflik tidak berkembang dan meluas. Konflik segera bisa diakhiri dengan damai dan aman.

Untuk itu setiap keluarga hendaknya memiliki “Pintu Darurat Keluarga” (PDK) di mana mereka sudah mengerti akan melakukan tindakan apa jika suatu ketika mereka berada dalam situasi darurat. PDK dimaksudkan agar suami dan istri mengerti apa yang harus mereka lakukan saat konflik, namun sudah terumuskan jauh sebelum adanya konflik. Sediakan terlebih dahulu pintu daruratnya, sebelum terjadi persoalan keluarga yang memberatkan. Dengan demikian, bisa meminimalisasi peluang terjadinya masalah, sekaligus sudah mengerti apa yang harus dilakukan saat kondisi darurat keluarga benar-benar terjadi.

Prinsip PDK sama dengan pintu darurat pada pesawat terbang. Saat kita naik pesawat, selalu ada peragaan dan petunjuk dari pramugari mengenai berbagai sisi keselamatan penerbangan. Salah satunya diberitahukan tentang pintu-pintu darurat. Pramugari mengatakan, “Pesawat ini dilengkapi dengan sepuluh pintu darurat, Empat di bagian depan, dua di bagian tengah, dan empat di bagian belakang. Pada saat terjadi kondisi darurat, lampu petunjuk akan menyala yang menuntun anda ke pintu darurat terdekat... bla bla bla...”

Pintu darurat dan cara mencapainya, cara membuka dan menggunakannya, semua sudah lengkap dijelaskan. Sementara itu pilot dan co pilot ---suami dan istri, dalam kehidupan berumah tangga--- berusaha untuk menerbangkan pesawat dengan senyaman mungkin, yang menjamin penumpang sampai tujuan bukan hanya dengan selamat, namun juga dengan tenang, damai dan bahagia. Di saat terjadi kondisi darurat, maka semua anggota keluarga sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk penyelamatan. Ini membuat kondisi darurat cepat teratasi dan tidak berlarut-larut.

Ini bermanfaat untuk mencegah munculnya kondisi darurat yang berkelanjutan apalagi permanen. Lebih detail tentang PDK, silakan dilihat selengkapnya di PDK, "PIntu Darurat Keluarga" . Pada dasarnya, pembuatan PDK dalam setiap keluarga merupakan salah satu upaya pencegahan, agar keluarga tidak perlu terjatuh ke dalam permasalahan yang berat.

Keluar Dari Konflik Sejak Mengenali Gejalanya

Keluarga juga perlu dibekali dengan kemampuan dan ketrampilan mengelola konflik yang pasti datang dalam kehidupan. Hendaknya suami dan istri bisa memahami sisi-sisi perbedaan kejiwaan dan karakter antara suami dan istri, mampu meredam konflik, mengerti cara keluar dari konflik, serta memahami cara menghindari pertengkaran berkelanjutan dalam kehidupan rumah tangga. Ketrampilan mengelola konflik ini masuk kategori aspek pencegahan, karena sesungguhnya konflik bisa dicegah dengan prinsip “keluar dari konflik pada level pertama”. Artinya, begitu merasa ada gejala konflik, langsung melakukan tindakan pencegahan sehingga tidak membesar dan tidak masuk ke level berikutnya yang lebih besar dan lebih membahayakan.

Tidak perlu menunggu konflik menjadi sekam yang diam-diam siap membakar seluruh bangunan kehidupan berumah tangga. Karena sejak masuk level pertama konflik yang berupa the unvisible conflict. Konflik yang terjadi pada tingkatan ini masih ada di batin atau perasaan. Belum tampak pada permukaan. Suami dan istri bisa merasakan gejalanya, berupa ketidaknyamanan perasaan, tidak nyaman komunikasi, tidak bisa saling berbicara, dan lain sebagainya. Segera keluar dari level pertama ini. Lebih detail tentang teori menghadapi konflik, bisa dilihat di Menghadapi Konflik Pasutri Secara Dewasa.

Program bimbingan bisa dilakukan untuk upaya pencegahan agar tidak perlu terjadi persoalan berat yang bisa merusak kebahagiaan yang mengancam keutuhan keluarga. Prinsip mencegah lebih baik daripada mengobati, hendaknya benar-benar dipahami dan diterapkan oleh semua keluarga, agar tidak perlu menghadap konselor atau psikolog. Semua bisa diselesaikan secara adat di rumah tangga masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun