Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Adakah “Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Rumah Tangga”?

19 Juli 2016   08:26 Diperbarui: 20 Juli 2016   11:27 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada postingan sebelumnya sudah saya sampaikan bahwa rata-rata pernikahan di Indonesia terjadi dengan “terjun bebas” alias tidak ada pembekalan yang memadai bagi para calon pengantin (Lihat kembali di sini). Program Suscatin (Kursus Calon Pengantin) yang sudah dimiliki Pemerintah RI ternyata belum bisa direalisasikan dengan berbagai macam alasan. Kalaupun ada yang berjalan, masih terkesan formalitas untuk melaksanakan program. Tidak ada syarat sertifikat kelayakan menikah bagi calon pengantin untuk memproses pernikahan.

Pada saat menjelang menikah tidak ada pembekalan pranikah dan tidak ada lembaga yang berwenang menyatakan apakah seseorang memang layak menikah atau tidak. Ditambah lagi, setelah menikah dan hidup berumah tangga, juga tidak ada pendidikan dan pembinaan yang terprogram dan berkelanjutan. Masih bagus kalau pasangan suami istri rajin membaca buku, mengikuti seminar atau menghadiri kajian tentang keluarga sakinah. Jika itupun tidak, maka benar-benar tidak ada asupan pengetahuan, pemahaman, pengingatan, penguatan dan penyegaran tentang ketahanan keluarga.

Ternyata hidup berumah tangga memang unik, tidak ada sekolah berjenjang, perguruan tinggi maupun pendidikan lanjutnya. Maka ketika keluarga menghadapi persoalan, rata-rata tidak diselesaikan secara akademis, namun diselesaikan secara “adat”. Yang menyedihkan, bahkan pemahaman yang sangat mendasar untuk keperluan hidup berumah tangga pun banyak tidak dipahami. Seperti pemahaman tentang hak dan kewajiban suami istri, hak dan kewajiban orang tua dan anak, pembagian peran dalam rumah tangga, pendidikan anak, dan lain sebagainya.

Long Life Education

Pembinaan hidup berumah tangga merupakan kebutuhan yang sangat penting dan mendesak, mengingat banyaknya permasalahan dalam kehidupan rumah tangga. Sayangnya, justru dalam sisi ini belum ada institusi yang mengerjakan dengan serius, terprogram dan sistematis. Yang paling sering didapatkan hanyalah Seminar Keluarga, Pelatihan Keluarga, Majelis Taklim tentang keluarga, yang diadakan oleh kelompok masyarakat, namun belum terprogram dengan rapi dan tidak berkelanjutan.

Semestinya, pembinaan hidup berumah tangga bersifat seumur hidup, long life education. Begitu selesai akad nikah, maka mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri yang berinteraksi dan berkomunikasi sebagai suami dan sebagai istri. Untuk itu, perlu ada ilmu tentang komunikasi suami istri, pembagian peran, harmonisasi keluarga, interaksi orang tua dengan anak, penyiapan kehamilan, kelahiran, pendidikan anak, bahkan menyiapkan masa-masa tua dan menghadapi kematian. Ajaran agama telah komplit merawat setiap fase kehidupan, dan sangat jeli memberikan perhatian terhadap keluarga.

Kehidupan keluarga sangatlah dinamis yang selalu memiliki kebaruan dalam setiap pergeseran waktu. Kondisinya tidak pernah sama, maka pembinaan pun tidak pernah ada selesainya. Satu fase dilalui, akan segera disusul dengan fase berikutnya yang berbeda lagi corak dan tantangannya. Mari kita perhatikan perubahannya. Kita mulai saja dari akad nikah, untuk memudahkan memahami detail-detail perubahan kondisi dan situasi yang dihadapi baik oleh individu maupun oleh keluarga sebagai satu tim.

Pada keluarga pengantin baru yang belum punya anak, mereka hanyalah berdua dan tengah menikmati suasana bulan madu. Mereka perlu belajar bagaimana menjadi suami yang baik dan bagaimana menjadi istri yang baik. Bagaimana cara menyenangkan pasangan, bagaimana cara melayani pasangan, bagaimana cara menghormati dan menghargai pasangan. Mereka perlu belajar mengetahui hal-hal yang tidak disenangi pasangan, hal-hal yang membuat marah dan tersinggung pasangan, hal-hal yang menyakiti hati pasangan.

Pembelajaran itu tidak selalu terjadi dalam waktu yang cepat. Kadang belum selesai masa pembelajaran menjadi suami dan istri, sudah dihadapkan pada keharusan pembelajaran baru, ketika istri sudah hamil anak pertama. Kehamilan membuat perubahan dalam suasana keluarga, karena mulai ada “pihak ketiga” berupa janin walaupun belum wujud. Di saat kehamilan anak pertama, mereka mulai belajar merawat janin. Mereka belajar bagaimana menjadi calon ayah dan calon ibu. Mereka mempersiapkan segara sesuatu dengan perfect, karena anak adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu dalam pernikahan.

Setelah anak pertama lahir, suasana keluarga berbeda lagi dibanding dengan sebelum bayi lahir. Semua perhatian akan tersita kepada bayi pertama yang sangat menakjubkan bagi pasangan muda. Mereka sekarang sudah benar-benar menjadi ayah dan ibu. Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka berdua sudah memiliki anak dengan segala tanggung jawabnya. Sang ibu harus belajar mengurus, merawat, menerima dan mencintai anak. Sang ayah harus belajar yang sama, sehingga keduanya mengerti dan bisa melakukan pengasuhan anak dengan baik. Pembelajaran ini juga tidak bisa cepat, kadang memerlukan waktu yang panjang untuk bisa menjadi orang tua yang baik.

Kondisi ini akan segera berubah lagi. Karena keluarga dengan satu anak berbeda dengan ketika sudah memiliki dua, tiga atau lebih anak. Demikian pula, keluarga dengan anak-anak kecil yang belum sekolah, berbeda kondisinya dengan ketika anak-anak mulai sekolah. Kondisi keluarga berbeda lagi setelah anak-anak mulai kuliah, dan berbeda pula setelah pada lulus kuliah. Keluarga dengan anak-anak yang belum menikah berbeda dengan ketika mereka sudah mulai menikah. Demikian seterusnya, situasinya selalu berubah.

Perjalanan sejak dari pengantin baru yang masih muda usia dan culun, lalu menjadi ayah dan ibu, lalu mendidik dan membesarkan anak-anak hingga dewasa, kemudian menjadi mertua, akhirnya menjadi kakek dan nenek, kemudian menjadi sendirian karena ditinggal pasangan, hingga akhirnya dirinya pun menghadap Tuhan. Perhatikan, betapa seluruh rentang waktu tersebut selalu berbeda situasi dan kondisinya. Maka mestinya berbeda pula materi pembelajarannya. Satu fase berganti ke fase berikutnya, dan mestinya segera belajar untuk menghadapi fase yang tengah dihadapi. Tidak ada waktu untuk berhenti belajar, berhenti memahami, berhenti mengerti, karena waktu terus berlalu. Kondisi terus berganti.

Begitulah hidup berumah tangga, harus selalu ada pembinaan, pengingatan, penyegaran dan pengarahan. Tidak pernah ada habisnya. Sayangnya, program ini tidak ada yang menjalankannya dengan sistematis dan terprogram. Kursus Calon Pengantin saja tidak bisa berjalan, masih ditambah dengan tidak ada perhatian terhadap pembinaan hidup berumah tangga. Pemerintah belum mampu memberikan program pendidikan berkelanjutan dalam keluarga, maka semestinya semua pihak saling bekerja sama untuk mewujudkan ketahanan keluarga.

Pembinaan hidup berumah tangga ini merupakan porsi terbesar pembentuk ketahanan keluarga, yang seharusnya dilakukan dengan terprogram dan terstruktur. Dikatakan porsi terbesar, karena memang yang paling utama adalah melakukan pembinaan. Kegiatan konseling yang dilakukan ketika terjadi konflik suami dan istri misalnya, hanyalah bagian yang kecil dalam pembentukan ketahanan keluarga. Bagian terbesarnya adalah pembinaan hoidup berumah tangga. Pada dasarnya manusia selalu memerlukan pembinaan, pengingatan, pencerahan dan penguatan, termasuk dalam kehidupan berumah tangga.

Belajar Dimana ?

Untuk menjadi direktur perusahaan saja, ada sekolah dan pendidikan lanjutnya. Lulus S-1 Manajemen, bisa lanjut S-2 dan S-3. Bisa mengambil spesialisasi Manajemen Perusahaan. Untuk menjadi dokter, ada kuliah serta pendidikan lanjutnya. Sejak masuk Fakultas Kedokteran, kemudian bisa lanjut S-2 dan S-3, atau bisa meneruskan ke jenjang Spesialisasi. Untuk menjadi apoteker, ada pendidikan S-1, dilanjutkan profesi, lalu bisa meneruskan S-2 dan S-3. Untuk menjadi jendral TNI, ada sekolah dan pendidikan lanjutnya. Tiap akan kenaikan pangkat, selalu ada pendidikan yang menyertainya.

Ternyata menjadi suami, menjadi istri, menjadi ayah, menjadi ibu, menjadi mertua, menjadi kakek, menjadi nenek, tidak ada pendidikan yang terprogram. Tidak ada Sekolah Suami, Akademi Istri Salihah, Sekolah Orang Tua, Akademi Mertua, atau Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Rumah Tangga, dan Universitas Kehidupan. Itu hanya sekolah, akademi dan sekolah tinggi dalam angan-angan. Semacam cita-cita dan impian, namun sulit diwujudkan.

Nah, kalaupun tidak ada sekolah dan kampus formal untuk belajar hidup berumah tangga, paling tidak ada modul dan kurikulum yang bisa membuat semua kalangan masyarakat belajar mandiri. Bisa diselingi dengan program Pelatihan, Seminar, Workshop, Pengajian dan yang semacam itu, untuk saling berbagi pengalaman dan saling memberikan pembelajaran satu dengan yang lain. Tidak perlu menunggu STIMaRT (Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Rumah Tangga) untuk bisa belajar tentang manajemen rumah tangga. Yang diperlukan adalah modul dan kurikulum pembelajaran mandiri.

Lagi-lagi, ini menjadi kewajiban semua pihak ---baik pemerintah maupun komponen masyarakat--- untuk mewujudkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun