Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mudik, Brexit, dan Ikatan-ikatan Perasaan Kita

8 Juli 2016   08:50 Diperbarui: 8 Juli 2016   09:27 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.nasional.harianterbit.com

Masyarakat Indonesia dikenal memiliki budaya kekeluargaan, kekerabatan, persahabatan, pergaulan dan sosial yang sangat tinggi. Apalagi yang tinggal di wilayah pedesaan, mereka sangat ramah dan sangat terbuka satu dengan yang lainnya. Saya tinggal di kampung Mertosanan Kulon, desa Potorono, kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, propinsi DIY. Tanpa nomer rumah. Namun kami saling mengenal satu dengan yang lainnya. Semua warga di kampung kami mengerti, rumah-rumah yang ada di kampung beserta penghuninya.

Warga kampung biasa saling datang silaturahim sekedar untuk menanyakan kabar atau mengobrol hal-hal yang tidak penting. Jika ada tamu di rumah saya, semua warga bisa mengetahui. Itu karena warga kampung saling peduli dan saling empati. Kami saling terhubung satu dengan yang lain. Bahkan rumah-rumah yang ada di bagian dalam, banyak yang tidak memiliki batas tanah yang jelas. Seakan-akan tanah luas yang saling menyambung satu dengan yang lainnya.

Bahkan untuk masyarakat muslim, masih ditambah dengan pertemuan di masjid saat shalat berjama’ah. Mereka bertemu minimal ketika sholat Subuh, Maghrib dan Isya berjama’ah, karena waktu Dhuhur dan Asar masih berada di tempat kerja atau kegiatan. Sholat berjama’ah adalah kontrol sosial yang luar biasa efektif, karena satu dengan yang lainnya saling mengetahui kondisi. Mungkin ada yang sakit sehingga tidak bisa hadir ke masjid, mungkin ada yang sedang kesulitan ekonomi, mungkin ada yang tengah mendapat banyak rejeki, semua akan tampak.

Lain Ladang Lain Belalang

Kondisi ini tidak akan dijumpai di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, Australia dan lain-lain. Rata-rata masyarakat di negara maju saling menjaga privasi dengan sangat ketat, sehingga hampir tidak ada budaya bertamu ke rumah tetangga secara “sembarangan”. Kita hanya datang ke rumah tetangga di samping rumah jika ia mengundang kita untuk suatu keperluan, seperti pesta. Jika tidak diundang, dianggap tidak patut kalau bertandang ke rumah orang lain.

Masyarakat di negara maju dan sibuk, seakan tidak punya waktu untuk sekedar bercengkerama, mengobrol dengan tetangga. Rumah adalah tempat privasi, tempat untuk istirahat, dan mereka baru bergaul satu dengan yang lain saat di tempat kerja. Jangankan yang tinggal di rumah-rumah, sedangkan yang lebih sempit dari itu, seperti di apartemen, mereka saling tidak mengenal siapa yang tinggal di samping “rumah”nya. Padahal berada di lantai yang sama, di gang yang sama, bahkan berhadap-hadapan pintu.

Maka tidak jarang dijumpai, seorang tua renta yang memiih tinggal sendirian di kamar apartemennya, ditemukan meninggal dunia setelah mayatnya membusuk berminggu-minggu tanpa ada yang mengetahui. Hal ini karena mereka saling menutup diri saat tinggal di rumah atau di apartemen. Kondisi sakit, sulit dan berat yang dihadapi oleh seseorang mungkin tidak diketahui bahkan oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak ada tetangga yang mengetahui, tidak ada teman yang menemani, semua cenderung hindup individualis, sendiri-sendiri. Diperparah lagi, kebaktian ke gereja di hari Minggu pun sudah banyak yang enggan melakukan.

Nasib orang-orang tua di negara-negara maju sangat “mengenaskan”. Mereka memang diurus oleh negara jika mau tinggal di panti jompo, namun tidak ditengok oleh sanak saudara. Tinggal di panti jompo, setiap hari ketemu dengan berita kematian, dan merasa kesepian. Tidak ada anak-anak, menantu dan cucu yang mengelilingi setiap hari, atau bergantian menengok dan menjaga orang tua.

Mudik Sepenuh Rindu

Sekarang lihat fenomena mudik lebaran kita. Tahun 2016 ini kita dikejutkan dengan berita bertubi-tubi kejadian mengenaskan di Brexit alias Brebes Exit. Berjubel dan bertumpuknya para pemudik di pintu keluar tol Brebes yang menyebabkan kemacetan super parah dan menimbulkan banyak korban jiwa. Ada yang stres dan depresi karena tertahan dua hari di tengah kemacetan total. Ada bayi yang meninggal dunia, dan banyak lagi kisah sedih lainnya.

Setiap tahun selalu ada korban mudik. Ada kecelakaan lalu lintas di jalan raya, ada kecelakaan di laut, ada kecelakaan di stasiun kereta api, di terminal bus, dan lain sebagainya. Selalu ada berita terkait kondisi tidak menyenangkan saat mudik, dari tahun ke tahun. Upaya sudah dilakukan oleh Pemerintah, namun setiap tahun pemudik selalu bertambah. Kemampuan mengantisipasi yang dilakukan Pemerintah tidak sebanding dengan peningkatan jumlah para pemudik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun