Menjalankan ibadah Ramadhan di negeri orang tentu tidak seperti di tanah air. Sangat berbeda suasana dan kondisinya. Masyarakat muslim Indonesia yang bekerja di Australia, atau tengah studi, atau bahkan yang sudah menjadi permanent recident bahkan citizen, menjalani ibadah Ramadhan dengan suasana yang khas.
Ramadhan tahun lalu saya menikmati kegiatan bersama masyarakat muslim Indonesia yang berada di Melbourne, Perth dan Adelaide. Ramadhan kali ini saya berkesempatan membersamai kegiatan masyarakat Indonesia di Brisbane dan Adelaide. Saya bertemu dengan para mahasiswa Indonesia, serta mereka yang bekerja dan telah menetap lama di Australia. Ada sangat banyak cerita tentang dinamika kehidupan Ramadhan di negeri orang.
- Rindu Suasana Kampung Halaman
Banyak sahabat yang menyatakan sangat merindukan suasana Ramadhan di kampong halaman. Sangat banyak hal tidak akan dijumpai di Australia, misalnya suara adzan yang berkumandang dari setiap masjid. Di Indonesia, sehari lima kali kita mendengar suara adzan berkumandang dengan lantang dari masjid-masjid yang bahkan jaraknya berdekatan. Bukan saja suara adzan, di beberapa wilayah bahkan masih ditambah dengan suara shalawatan, dzikir, doa atau puji-pujian sebelum dan setelah adzan. Suara ini tentu saja tidak akan terdengar di Australia. Suara adzan dan iqamah hanya diperdengarkan di dalam masjid saja, tidak sampai keluar suaranya.
Di kampung halaman, ada suara dari masjid mengingatkan waktu sahur dan imsak. Sejak dua jam sebelum Subuh sudah bersahutan suara takmir masjid mengingatkan warga masyarakat agar bangun melaksanakan sahur. Bahkan di beberapa kampung, ada petugas ronda sahur keliling kampung membunyikan suara kentongan atau alat-alat lainnya. Di Australia hal ini mustahil terjadi karena akan dianggap sebagai mengganggu ketenangan warga.
Seorang mahasiswa yang baru enam bulan tiba di Adelaide menyatakan betapa ia merasa kesepian melaksanakan ibadah Ramadhan di negeri Kanguru ini. Harus rajin melihat jam, lalu bangun sahur, memasak sendiri, lalu memperhatikan waktu untuk berhenti makan sahur. Saat maghrib juga demikian terasa sepi, karena harus memperhatikan waktu sendiri untuk mengetahui kapan tiba waktu berbuka puasa.
- Perbedaan Kemudahan Fasilitas Ibadah
Di tanah air, betapa mudah kita menjalani puasa Ramadhan karena sangat banyak warung dan restoran yang menyediakan menu berbuka dan menu sahur. Insyaallah dijamin halal. Di Australia, tentu semua harus dimasak sendiri untuk mendapatkan menu berbuka dan sahur yang halal. Bagi warga Indonesia yang sudah lama menetap di Australia, tentu sudah sangat paham cara mengantisipasi suasana ini. Mereka terbiasa menyiapkan masakan sendiri untuk kepentingan berbuka puasa dan sahur.
Terutama suasana sahur, tidak dijumpai warung atau restoran yang buka pada jam-jam sahur tersebut. Kalau pun ada restoran buka 24 jam, tentu letaknya di tengah kota yang posisinya jauh dari tempat tinggal warga Indonesia. Saat berbuka puasa, di berbagai wilayah Indonesia banyak kampong Ramadhan yang menuual aneka jajanan dan makanan untuk keperluan berbuka puasa. Sangat lengkap dan sangat banyak jumlahnya. Hal seperti ini tidak akan dijumpai di Australia.
- Perbedaan “Kemeriahan” Malam Ramadhan
Di kampong halaman, setiap malam Ramadhan tampak kemeriahan dan kesibukan warga masyarakat berangkat ke masjid untuk melaksanakan shalat tarawih. Di jalan-jalan dengan mudah kita jumpai masyarakat berjalan atau naik kendaraan menuju masjid guna melaksanakan shalat tarawih berjamaah sekaligus mendengarkan tausiyah menjelang tarawih. Seakan-akan sudah menjadi menu wajib setiap malam Ramadhan.
Di masjid-masjid yang ada di Autralia tentu juga ada kegiatan tarawih berjama’ah, dengan suasana yang meriah. Namun kemeriahan itu baru tampak setelah kita tiba di masjid. Di jalan, di kota, kita tidak melihat perbedaan apapun antara Ramadhan dengan di luar Ramadhan. Sama saja, tidak ada perbedaan yang bias dilihat. Maklum, karena Australia sangat sedikit warga muslim.
- Banyak Godaan
Salah satu tantangan di negara orang adalah banyaknya godaan saat menjalankan puasa Ramadhan. Saat musim dingin, masyarakat muslim berangkat ke kampus atau berangkat bekerja dalam suasana dingin mencekam, di sepanjang perjalanan, di tempat-tempat umum tampak masyarakat Australia minum kopi dan makan dengan nikmat. Bau harum kopi terasa sangat menggoda saat muslim dingin. Restoran dan café yang buka siang hari, di jam makan siang tampak orang makan dengan nyaman. DI ruang kuliah pun mahasiswa dengan santai menyantap makanan sambal mengikuti kuliah di dalam kelas.
Belum lagi godaan pandangan mata berupa pakaian dan penampilan kaum perempuan bule yang tentu saja memiliki budaya kebebasan berekspresi, berbeda dengan tradisi pakaian muslim. Hal seperti ini menjadi tantangan tersendiri untuk dihadapi, dan bahkan bias menjadikan bertambahnya pahala karena banyaknya godaan saat berpuasa.
- Merasakan Spiritualitas Mendunia
Namun ada hal yang tidak didapatkan di Indonesia, yaitu suasana spiritualitas yang lebih mendunia, lebih bercorak internasional. Saat melaksanakan kegiatan buka puasa di masjid atau kampus, tampak berbagai masyarakat Islam dari berbagai etnis dan negara. Demikian pula saat menjalankan shalat berjama’ah di masjid, seluruh umat Islam berkumpul tanpa membedakan suku, ras dan kebangsaan. Karena jumlah masjid sangat terbatas, maka selalu bercorak internasional.
Shalat Subuh berjamah di masjid-masjid yang ada di Australia, terasa benar kita sebagai umat Islam yang berasal dari berbagai bangsa dan negara, menyatu dalam saf-saf shalat. Tanpa membedakan warna kulit, jenis rambut, bahasa dan budaya, semua melaksanakan shalat berjama’ah dipimpin oleh imam yang sudah ditetapkan oleh pengurus masjid setempat. Semua berbaur, semua menyatu, semua menunaikan ibadah dengan perasaan kebersamaan.
Ini suasana spiritualitas yang berbeda. Tidak dijumpai di Indonesia. Di masjid-masjid yang ada di Australia, suasananya selalu tampak internasional. Ini menguatkan suasana spiritual bahwa umat Islam itu selalu bersaudara dimanapun mereka berada.
- Tetap Aktif Berkegiatan
Masyarakat Indonesia sering membawa hadits dhaif, “tidurnya orang berpuasa itu ibadah”, untuk melegalkan kebiasaan banyak tidur saat Ramadhan. Padahal haditsnya lemah, namun tetap digunakan. Di Australia, tidak ada libur atau cuti Ramadhan serta Iedul Fitri. Maka, usai melaksanakan tarawih, mereka yang bekerja malam langsung berangkat bekerja. Yang masih melakukan penelitian di lab mereka sebera meneruskan kegiatan di lab. Tidak ada libur karena sedang Ramadhan.
Bahkan saat hari Iedul Fitri, usai shalat Iedul Fitri masyarakat Indonesia segera berpencaran menuju tempat kerja dan tempat kuliah atau penelitian di laboratorium. Tidak ada libur karena Iedul Fitri. Ini memacu kerja keras dan disiplin, yang semoga bias tetap dibawa semangatnya hingga ketika kelak mereka pulang ke tanah air. Ramadhan tetap menghasilkan produktivitas, tetap bekerja dengan tekun, tetap berkarya dengan sebaik-baiknya.
Itu semua justru menimbulkan kesan yang mendalam bagi masyarakat Indonesia yang ada di Australia. Mereka merasakan, justru di sisi-sisi seperti itu terasa asyiknya. Ada tantangan yang lebih untuk dihadapi, berbeda dengan di negeri sendiri. Saat mereka pula ke tanah air, kelak mereka akan merindukan suasana Ramadhan di Australia. Mereka pasti ingin kembali lagi ke sana.
ilustrasi : www.islaminaustralia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H