[caption caption="Ilustrasi: fashionexprez.com"][/caption]Dalam kehidupan kita saat ini, sangat banyak dijumpai pesta pernikahan yang mewah dan mahal, bahkan kadang tampak berlebih-lebihan. Ada yang melakukannya atas dasar kemampuan, karena memang berasal dari keluarga kaya, namun ada pula yang melakukan semata-mata karena gengsi atau memenuhi standar kelayakan terkait dengan adat dan status sosial di tengah masyarakat.
Sampai dengan hari ini, di beberapa daerah saya masih sering mendengar banyaknya pemuda yang terpaksa menunda menikah karena mahalnya biaya “adat” dalam pernikahan.
Kadang seorang lelaki telah bersusah payah mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan. Namun karena mahal dan rumitnya proses pernikahan berdasarkan adat setempat, terpaksa pernikahan belum bisa dilaksanakan karena uang yang dimiliki belum mencukupi untuk memenuhi semua tuntutan adat tersebut.
Di beberapa daerah bahkan masih ada adat yang memberikan tarif harga tertentu untuk laki-laki atau untuk perempuan, berdasarkan kriteria tertentu yang berlaku secara turun temurun. Misalnya, berdasarkan status sosial orang tuanya, atau berdasarkan jenjang pendidikannya.
Prosesi dan persyaratan adat yang menyulitkan seperti ini, sesungguhnya tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini, dan terlebih lagi tidak sesuai dengan semangat ajaran agama. Dalam ajaran agama Islam, pernikahan itu dibuat simpel dan sederhana.
Kendati ada prosesi dan syarat, namun semua tidak ada yang menyulitkan. Pada dasarnya, agama menghendaki agar pernikahan bisa terjadi dengan sakral dan bertanggung jawab, namun mudah dan sederhana dalam pelaksanaan.
Mempermudah Mahar
Salah satu contoh ajaran agama yang mempermudah pelaksanaan pernikahan adalah dalam urusan mahar atau maskawin. Ajaran agama menghendaki agar mahar tidak sampai menjadi beban dan membuat kesulitan dalam penunaiannya. Mahar hendaknya diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sesuai dengan kesanggupan dan kemampuannya. Nabi saw telah bersabda, “Sungguh sebaik-baik kaum perempuan adalah yang paling ringan tuntutan maharnya” (HR. Ibnu Hibban). Beliau juga pernah bersabda, "Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan".
Hal ini menunjukkan, agama tidak menginginkan adanya kesulitan dalam proses pernikahan. Umar bin Khathab pernah berpesan, “Janganlah berlebihan dalam memberikan mahar kepada perempuan, sebab Rasulullah saw menikah dan menikahkan putrinya tidak lebih dari mahar empat ratus dirham. Seandainya meninggikan nilai mahar ada manfaat bagi kemuliaan perempuan di dunia atau menambah ketakwaannya, tentu Rasulullah saw adalah orang yang pertama kali melakukannya”.
Beberapa riwayat menunjukkan, bahwa Nabi Saw memberikan mahar sebesar empat ribu dirham atau senilai dengan empat ratus dinar kepada istri beliau (Riwayat An-Nasa’i). Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa mahar Nabi saw kepada istrinya adalah lima ratus dirham (Riwayat Muslim). Di zaman itu, ada sahabat Nabi yang memberikan mahar kepada istrinya senilai seratus ribu dirham (Riwayat Abu Dawud). Ada contoh lain, mahar berupa emas sebesar biji kurma (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Nabi Saw juga pernah menikahkan seorang lelaki fakir yang tidak memiliki harta, dengan mahar berupa hafalan Al Qur’an (Riwayat Bukhari dan Muslim). Ketika Ali menikah dengan Fatimah, maharnya baju besi yang biasa digunakan untuk berperang (Riwayat Nasa’i). Seorang perempuan dari Banu Fazarah dinikahi seorang lelaki dengan mahar sepasang alas kaki (Riwayat At-Tirmidzi).
Berbagai riwayat di atas menunjukkan, bagi yang mampu, diperbolehkan memberikan mahar setingkat dengan kekayaannya, sedangkan bagi yang tidak mampu, hendaknya memberikan mahar sesuai kemampuan dirinya. Mahar hendaknya ditunaikan secara sederhana, dalam artian tidak boleh memaksa diri dan memberat-beratkan diri untuk memberikan mahar yang di luar kesanggupan.
Ibnul Qayim Al Jauzi menyimpulkan, "Maka dengan demikian hadits-hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada ketetapan tentang batas minimal mahar, dan sesungguhnya segenggam makanan, cincin yang terbuat dari besi dan sepasang alas kaki adalah sah untuk dijadikan mahar. Hadits-hadits tersebut juga memberikan pengertian bahwa berlebih-lebihan dalam mahar adalah makruh hukumnya di samping hal itu menujukkan sedikitnya berkah dalam perkawinan tersebut".
Senada dengan itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, "Yang patut baginya adalah memberikan mahar yang mudah didapati tanpa harus bersusah payah".
[caption caption="ilustrasi : theislamicgreetingcardstore.com"]
Demikian pula dalam melaksanakan pesta pernikahan, hendaknya disesuaikan dengan kemampuan. Jangan sampai memaksakan diri untuk mengejar kemewahan dan gemerlap pesta tanpa mempertimbangkan hal-hal yang lebih penting dan fundamental dalam kehidupan. Pesta pernikahan itu penting, namun memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari setelah resmi menikah adalah jauh lebih penting. Maka pesta hendaknya digelar sesuai kemampuan dan tidak perlu memaksakan untuk menciptakan kemewahan.
Bagi anda yang hendak melangsungkan pernikahan dan tidak memiliki cukup dana untuk melaksanakan pesta, jangan bersedih. Lakukan pesta sederhana saja sesuai kemampuan yang ada. Kesederhanaan pesta yang dilakukan dengan penuh kesadaran akan makna pernikahan, justru bisa menjadi pertanda kedewasaan dan kematangan pengantin dalam menghadapi realitas kehidupan.
Sebaliknya, gemerlap pesta yang tidak dibarengi dengan kesadaran dan pemahaman akan makna pernikahan bisa menjadi pertanda ketidakdewasaan dan ketidaksiapan menghadapi realitas kehidupan.
Jika anda hanya mampu melaksanakan pesta sederhana, nikmati saja kesederhanaannya. Karena pesta yang sederhana, mahar yang sederhana, bisa memberikan kebahagiaan yang lebih abadi dibanding mewahnya sebuah pesta. Ungkapan ini bukan sekedar hiburan saja, namun dibuktikan dengan penelitian ilmiah oleh para ahli.
Sebuah studi telah menemukan bahwa pasangan yang mengadakan pesta pernikahan secara sederhana cenderung memiliki pernikahan yang lebih langgeng dan bahagia, dibanding mereka yang mengadakan pesta mewah.
Penelitian yang dilakukan oleh dua profesor ekonomi di Universitas Emory Amerika Serikat tersebut juga menemukan korelasi yang sama, antara cincin kawin yang lebih murah dengan tingkat perceraian yang lebih rendah. Laporan ini dibuat berdasarkan survei rinci terhadap 3.151 orang dewasa di Amerika Serikat yang masih, atau pernah menikah.
"Iklan Industri pernikahan telah memicu norma yang menciptakan kesan bahwa menghabiskan jumlah besar pada pernikahan adalah sinyal komitmen yang diperlukan untuk pernikahan yang sukses," kata Andrew M. Francis, yang menuliskan laporan penelitian ini bersama Prof. Hugo M. Mialon.
Penelitian tersebut makin menguatkan keyakinan akan makna kebahagiaan. Bahwa bahagia itu berada dalam jiwa yang tunduk kepada tuntunan-Nya, dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang dianugerahkan kepada kita.
Bukan dalam gemerlapnya pesta.
---
Bahan Bacaan :
- Cahyadi Takariawan, Wonderful Journeys For A Marriage, Era Adicitra Intermedia, Solo, 2016
- What The Cost Of Your Engagement Ring May Say About Your Marriage
- Why spending less on your wedding could save your marriage
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H