Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Perlu Ada yang Terluka untuk Cinta

23 Februari 2016   06:05 Diperbarui: 23 Februari 2016   06:44 1376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="ILUSTRASI: www.dunyanews.tv"][/caption] 

Kisah cinta anak manusia tidak pernah ada habisnya. Orang mengatakan, cinta mendatangkan bahagia yang luar biasa. Di saat yang sama, cinta bisa menorehkan luka yang luar biasa dalamnya. Cinta bisa membuat hati manusia berbunga-bunga, namun cinta juga bisa melahirkan penderitaan tiada habisnya. Demikianlah manusia, kadang melakukan tindakan yang berkebalikan dengan apa yang diinginkannya.

Dalam kehidupan keseharian, kadang kita menemukan perbuatan “atas nama cinta” yang tidak pada tempatnya. Tindakan atas nama cinta yang melahirkan duka dan luka. Suami bisa melakukan tindak kekerasan kepada istri, atas nama cinta. Orang tua bisa melakukan tindakan kekerasan kepada anak, atas nama cinta. Yang diinginkan adalah mengekspresikan rasa cinta, namun yang muncul adalah tindakan yang tidak menyenangkan bahkan melukai orang yang dicintai.

Walaupun atas nama cinta, jika yang dilakukan adalah sebuah penganiayaan atau kezaliman, yang ditorehkan adalah luka yang menganga. Seperti yang terjadi pada Bunga berikut ini.

Sepotong Cinta untuk Bunga

Seorang bapak mengadukan perlakuan anak pertamanya yang kasar kepadanya. Anak pertama tersebut perempuan, kini telah duduk di bangku kuliah. Sebut saja namanya Bunga. Setiap pagi Bunga memaksa bapaknya untuk membersihkan kamar tidur dan kamar mandi, serta menyiapkan sarapan pagi yang dikehendakinya. Setiap malam Bunga memaksa bapaknya untuk menyediakan santap malam sesuai seleranya.

Itulah yang terjadi setiap hari. Setiap malam. Bapaknya diperlakukan seperti pembantu atau budak. Tetapi mengapakah Bunga berperilaku seperti itu ? Tentu ada alasannya.

Rupanya semenjak kecil Bunga sering mendapatkan perlakuan yang menyakitkan dan melukai hati serta perasan, dari bapaknya. Sang Bapak sering menampar, menendang, menjambak rambut, dan memaki-maki Bunga dengan kata-kata yang kasar dan kotor. Bunga sering menangis karena mendapatkan perlakuan kasar dari bapaknya. Hanya karena urusan kecil dan sepele, sang Bapak cepat emosi dan ringan tangan menampar wajah Bunga. Mungkin, maksud sang Bapak adalah mendisiplinkan Bunga, mendidik Bunga agar bisa mandiri dan cepat dewasa.

Gadis kecil nan lugu itu merasa sakit dan hatinya terluka. Ia menangis sejadi-jadinya. Sang Bapak makin merasa anaknya demikian cengeng dan manja. Maka tangis Bunga justru semakin membuat keras sikapnya. Makin menangis, makin keras bentakan bapaknya. Sayang, peristiwa seperti ini terjadi hampir setiap hari. Selalu ada tangis, selalu ada perasaan yang terluka. Sejak kecil, hingga ketika mulai sekolah di SD, SMP bahkan SMA, perlakuan kasar itu selalu didapatkannya.

Rupa rupanya torehan luka demi luka yang diderita Bunga, menjelma menjadi dendam dan kemarahan yang membara. Menjelma menjadi kesumat yang bergelora. Ia ingin ada waktu dimana bisa menuntaskan balas dendamnya. Dan waktu itu kini miliknya. Saat sang Bapak sudah mulai tua dan kian lemah, Bunga beranjak dewasa. Ia mendapatkan dirinya, kesempatannya, waktunya yang telah ditunggu sejak 20 tahun lalu. Suatu saat ia pulang dari kuliah, dibawanya sebilah clurit dan segulung lakban. Dengan lakban itu, ia membuat garis di dalam rumahnya. Dibelah menjadi dua.

”Bagian kiri garis ini adalah rumah milikku. Bagian kanan garis adalah rumah milik bapak dan ibu”, begitu Bunga mulai memberi instruksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun