Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Enam Etika Konflik Suami Istri

19 Februari 2016   17:28 Diperbarui: 20 Februari 2016   02:12 2461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi : www.pinterest.com"][/caption]Dalam kehidupan berumah tangga, kita tidak bisa menghindarkan diri dari konflik. Karena sesungguhnya konflik adalah konsekuensi logis dari adanya interaksi. Tidak ada interaksi yang tidak menimbulkan konflik, baik konflik ringan sampai konflik yang berat. Dalam pernikahan, sering dikatakan bahwa konflik adalah bumbu kehidupan. Meski demikian, jangan sampai bumbu lebih banyak dibanding masakan utamanya.

Apapun jenis masakannya, kalau bumbu lebih banyak dari bahan pokok, justru akan mengacaukan rasa. Bumbu baru menjadi membuat enak masakan apabila diberikan dengan takaran yang proporsional. Pertengkaran dan konflik dianggap wajar sebagai bumbu kehidupan berumah tangga, apabila proporsional, dan bisa segera diselesaikan. Tidak berlarut-larut, apalagi sampai melakukan tindakan kekerasan dalam mengekspresikan konflik.

Untuk itu, jika tengah menghadapi konflik dengan pasangan, perhatikan benar enam etika berikut ini:

1. Jangan melakukan kekerasan fisik terhadap pasangan

Walau tengah ada masalah dengan pasangan, berjanjilah untuk tidak memukul, menampar, menendang, meninju, mencakar, serta tindakan kekerasan fisik lainnya. Jangan melukai dan menyakiti fisik pasangan dengan cara atau sarana apapun. Dengan tangan kosong ataupun dengan alat pemukul, pisau, dan aneka sarana lainnya. Anda wajib menjaga fisik pasangan.

Tidak layak suami memukuli istri, tidak layak istri memukuli suami. Tindakan kekerasan fisik yang dilakukan dalam situasi emosi akan sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan pasangan. Seorang istri mengadu di ruang konseling, bahwa dirinya kerap menjadi obyek pelampiasan kemarahan suami. Tendangan, tamparan, bahkan di saat dirinya tengah hamil, sering didapatkan. Banyak bekas-bekas luka dan lebam akibat pukulan suami, masih bisa dilihat di beberapa bagian tubuhnya.

Tindakan kekerasan fisik seperti ini sangat merugikan dan membahayakan. Tidak pantas dilakukan oleh dua orang yang berhimpun atas nama cinta. Tidak patut dilakukan oleh manusia yang bertaqwa. Menyiksa binatang saja dilarang agama, apalagi menyiksa pasangan hidupnya, kekasih hatinya. Tentu sama sekali tidak bisa dibenarkan.

2. Jangan melakukan kekerasan psikologis terhadap pasangan

Walau tengah emosi karena sedang konflik, berjanjilah untuk tidak memaki, membentak, mengeluarkan sumpah serapah, kata-kata jorok dan kotor, serta tindakan lain yang menyakiti hati pasangan. Pada saat suami dan istri tengah mengalami konflik, biasanya justru  memilih kata-kata yang paling pedas dan menyakitkan hati. Kata-kata yang paling jorok sekalipun mudah terucapkan di saat suasana emosi tidak terkendali. Masih ditambah dengan tindakan yang semakin melecehkan pasangan, seperti meludah, atau mengusir dari rumah. Ini sungguh sangat menyakitkan pasangan.

Anda wajib menjaga hati dan perasaan pasangan. Tidak layak suami mencaci maki istri, demikian pula tidak layak istri memaki-maki suami. Kewajiban suami adalah melindungi istri, kewajiban istri adalah menghormati suami. Sepanjang anda terikat sebagai suami dan istri, anda harus saling menjaga hati dan perasaan pasangan. Tidak saling menyakiti, tidak saling melukai.

Kekerasan psikologis bisa lebih menyakitkan dibanding kekerasan fisik. Walau tidak mengucurkan darah, walau tidak ada bagian tubuh yang cidera, walau tidak ada luka yang menyayat badan pasangan, namun hati yang terluka lebih lama sembuhnya. Perasaan yang tersayat-sayat lebih dalam dan lebih lama rasa sakitnya. Maka sangat tidak patut suami dan istri saling melakukan kekerasan secara psikologis terhadap pasangan. Bukankah anda berdua sepasang kekasih yang diikat oleh cinta?

3. Jangan melakukan konflik terbuka di depan anak

Walaupun sedang konflik dengan pasangan, jangan melakukan konflik terbuka di depan anak-anak. Hal itu akan menyebabkan munculnya kekecewaan, ketakutan dan trauma dalam kehidupan anak di masa depan mereka. Pertunjukan “peperangan” baik secara fisik atau adu mulut antara suami dan istri yang dilihat anak-anak, sama dengan mengajarkan kekerasan, permusuhan dan kebencian pada benak mereka.

Suami dan istri harus mampu meredam konflik secara dewasa, menyelesaikan permasalahan secara bijak. Jangan sampai pertempuran dahsyat justru ditampakkan di hadapan anak-anak. Mereka tidak siap dan tidak sanggup menyaksikan berbagai konflik di antara orang-orang yang sangat mereka cintai. Mereka tidak akan sanggup untuk memilih antara ayah atau ibu. Trauma dalam waktu panjang bisa muncul akibat anak-anak terbiasa menyaksikan kekerasan di antara ayah dan ibu mereka.

Jangan biarkan anak-anak menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya. Bahkan pertengkaran dalam bentuk diam-diaman sekalipun. Anak-anak akan cepat menangkap bahwa antara ayah dan ibu mereka ada sesuatu, karena sudah tidak bisa saling berbicara satu dengan yang lain. Tidak bisa saling tertawa satu dengan yang lain. Ini akan menyakitkan bagi anak-anak yang masih sangat berharap mendapat kehangatan kasih sayang kedua orang tua secara utuh dan penuh.

4. Jangan menampakkan konflik terbuka di depan umum

Konflik suami dan istri tidak patut di buka di depan umum. Ada suami istri bertengkar di depan rumah mereka sehingga menjadi tontonan tetangga. Ada suami dan istri bertengkar di stasiun kereta api, terminal bus, bahkan bandara. Ada suami istri bertengkar hebat di hadapan karyawan dan anak buah perusahaan. Pemandangan seperti ini tentu sangat tidak layak dipertontonkan.

Ada pula suami dan istri yang berantem melalui sosial media, saling berbalas status fesbuk yang membuat konflik mereka meluas dan diketahui secara terbuka. Istri menulis kekecewaan terhadap suami secara terbuka di status fesbuknya. Saat sang suami membaca, segera ia balas status istrinya dengan gantian menulis status fesbuk kalimat caci maki yang pedas untuk sang istri. Fesbuk yang merupakan media sosial terbuka, digunakan untuk saling menyerang antara suami dan istri.

Hal seperti ini tidak patut dilakukan, karena konflik dengan pasangan bukanlah tontonan atau entertainment. Konflik dengan pasangan semestinya dikelola di ruang privat sembari mencari solusi bersama, bukan diumbar melalui jejaring sosial. Apalagi kalau sekaligus menggalang dukungan, tentu sudah sangat jauh dari etika.

5.    Jangan cepat-cepat curhat

Saat tengah konflik dengan pasangan, jangan cepat-cepat curhat kepada pihak lain, apalagi “curhat jalanan” kepada pihak yang tidak berkompeten. Tindakan curhat jalanan setiap mengalami konflik ini justru bisa semakin memperluas medan konlik, bukan menyelesaikan.

Suasana hati suami dan istri itu cepat sekali berubah. Dalam hitungan menit bahkan detik, kemarahan bisa berubah menjadi kehangatan kasih sayang. Istri yang marah atas perilaku suami, tiba-tiba bisa hilang lenyap kemarahannya berganti kasih sayang, saat suami dengan tulus memeluk dan mengucapkan kata cinta. Karena situasi hati suami istri mudah sekali berbolak-balik, maka saat tengah menghadapi konflik, jangan mudah curhat dan menceritakan konflik itu kepada orang lain. Situasinya bisa sangat cepat berubah.

Pihak yang menerima curhat bisa memiliki persepsi permanen atas persoalan itu, padahal suami dan istri telah mengalami berbagai macam perubahan perasaan dalam waktu yang sangat singkat. Tindakan cepat curhat ketika menghadapi pertengkaran dengan pasangan satu sisi menunjukkan ketidakdewasaan dalam hidup berumah tangga, dan di sisi lain membahayakan kebahagiaan rumah tangga.

Curhat hanya pantas dilakukan kepada pihak yang memiliki kompetensi, itupun dilakukan secara privat di ruang tertutup. Dilakukan curhat setelah usaha mereka berdua untuk menyelesaikan masalah tidak berhasil menemukan jalan keluar. Pada hakikatnya masalah bukan  untuk diobral, bukan untuk diumbar, dan bukan dilakukan di depan umum.

6. Segera cari jalan penyelesaian

Yang harus anda lakukan adalah segera duduk berdua untuk mencari penyelesaian masalah. Tutup rapat masalah anda berdua, bicarakan baik-baik berdua saja, cari solusi berdua. Jangan emosi, jangan terbakar kemarahan, berpikirlah secara rasional dengan hati yang tenang. Bukankah anda dua orang yang saling mencinta?

Sebagai sepasang kekasih, tentu sangat mudah bagi anda untuk merujuk kembali kisah cinta yang telah anda bangun sejak awal berumah tangga. Merunut kembali motivasi yang mendorong anda  berdua menjalani hidup berumah tangga. Itu akan membawa anda kepada suasana pengantin baru. Mengingat kembali masa-masa indah sejak sebelum menikah hingga awal-awal menjalani kehidupan keluarga, bisa membangkitkan cinta dan kasih sayang.

Jika anda berdua benar-benar tidak mampu menyelesaikan persoalan dan konflik, segera lakukan mediasi menggunakan bantuan pihak yang anda percaya bersama. Bisa mediasi melalui psikolog, konselor, pemuka agama, atau pihak keluarga yang terpercaya, agar memberikan advice atas masalah yang tengah melilit anda berdua. Mediasi ini merupakan salah satu bentuk upaya mencari jalan penyelesaian terhadap masalah. Agar masalah anda berdua segera selesai dan segera menemukan titik terang untuk mengakhiri “peperangan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun