[caption caption="ilustrasi : www.pinterest.com"][/caption]Dalam kehidupan berumah tangga, kita tidak bisa menghindarkan diri dari konflik. Karena sesungguhnya konflik adalah konsekuensi logis dari adanya interaksi. Tidak ada interaksi yang tidak menimbulkan konflik, baik konflik ringan sampai konflik yang berat. Dalam pernikahan, sering dikatakan bahwa konflik adalah bumbu kehidupan. Meski demikian, jangan sampai bumbu lebih banyak dibanding masakan utamanya.
Apapun jenis masakannya, kalau bumbu lebih banyak dari bahan pokok, justru akan mengacaukan rasa. Bumbu baru menjadi membuat enak masakan apabila diberikan dengan takaran yang proporsional. Pertengkaran dan konflik dianggap wajar sebagai bumbu kehidupan berumah tangga, apabila proporsional, dan bisa segera diselesaikan. Tidak berlarut-larut, apalagi sampai melakukan tindakan kekerasan dalam mengekspresikan konflik.
Untuk itu, jika tengah menghadapi konflik dengan pasangan, perhatikan benar enam etika berikut ini:
1. Jangan melakukan kekerasan fisik terhadap pasangan
Walau tengah ada masalah dengan pasangan, berjanjilah untuk tidak memukul, menampar, menendang, meninju, mencakar, serta tindakan kekerasan fisik lainnya. Jangan melukai dan menyakiti fisik pasangan dengan cara atau sarana apapun. Dengan tangan kosong ataupun dengan alat pemukul, pisau, dan aneka sarana lainnya. Anda wajib menjaga fisik pasangan.
Tidak layak suami memukuli istri, tidak layak istri memukuli suami. Tindakan kekerasan fisik yang dilakukan dalam situasi emosi akan sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan pasangan. Seorang istri mengadu di ruang konseling, bahwa dirinya kerap menjadi obyek pelampiasan kemarahan suami. Tendangan, tamparan, bahkan di saat dirinya tengah hamil, sering didapatkan. Banyak bekas-bekas luka dan lebam akibat pukulan suami, masih bisa dilihat di beberapa bagian tubuhnya.
Tindakan kekerasan fisik seperti ini sangat merugikan dan membahayakan. Tidak pantas dilakukan oleh dua orang yang berhimpun atas nama cinta. Tidak patut dilakukan oleh manusia yang bertaqwa. Menyiksa binatang saja dilarang agama, apalagi menyiksa pasangan hidupnya, kekasih hatinya. Tentu sama sekali tidak bisa dibenarkan.
2. Jangan melakukan kekerasan psikologis terhadap pasangan
Walau tengah emosi karena sedang konflik, berjanjilah untuk tidak memaki, membentak, mengeluarkan sumpah serapah, kata-kata jorok dan kotor, serta tindakan lain yang menyakiti hati pasangan. Pada saat suami dan istri tengah mengalami konflik, biasanya justru  memilih kata-kata yang paling pedas dan menyakitkan hati. Kata-kata yang paling jorok sekalipun mudah terucapkan di saat suasana emosi tidak terkendali. Masih ditambah dengan tindakan yang semakin melecehkan pasangan, seperti meludah, atau mengusir dari rumah. Ini sungguh sangat menyakitkan pasangan.
Anda wajib menjaga hati dan perasaan pasangan. Tidak layak suami mencaci maki istri, demikian pula tidak layak istri memaki-maki suami. Kewajiban suami adalah melindungi istri, kewajiban istri adalah menghormati suami. Sepanjang anda terikat sebagai suami dan istri, anda harus saling menjaga hati dan perasaan pasangan. Tidak saling menyakiti, tidak saling melukai.
Kekerasan psikologis bisa lebih menyakitkan dibanding kekerasan fisik. Walau tidak mengucurkan darah, walau tidak ada bagian tubuh yang cidera, walau tidak ada luka yang menyayat badan pasangan, namun hati yang terluka lebih lama sembuhnya. Perasaan yang tersayat-sayat lebih dalam dan lebih lama rasa sakitnya. Maka sangat tidak patut suami dan istri saling melakukan kekerasan secara psikologis terhadap pasangan. Bukankah anda berdua sepasang kekasih yang diikat oleh cinta?