Ungkapan kekaguman terhadap kondisi kebaikan atau kelebihan orang lain yang diekspresikan di hadapan pasangan ---seperti dalam dua contoh di atas--- potensial menimbulkan masalah dalam keluarga. Suami dan istri bisa tersulut kecemburuan, dan rasa cemburu yang dipendam dalam waktu lama akan berubah menjadi amarah dan dendam.
Realitas Obyektif vs Penangkapan Subyektif
Walaupun dalam dua contoh di atas tidak ada tambahan kalimat, "Enggak kayak kamu", namun perasaan seperti itu bisa muncul pada pasangan. Kalimatnya normatif, dan secara obyektif memang benar, namun secara subyektif dirasakan berbeda oleh pasangan. Realitas obyektifnya, orang tersebut memang layak dikagumi. Namun secara subyektif, hal itu menyebabkan pasangan merasa dibandingkan.
Jadi, kalimat normatif di atas akan ditangkap secara berbeda oleh pasangannya, sebagai berikut:
“Subhanallah, cantik sekali cewek itu. Enggak kayak kamu...."
“Alhamdulillah, teman baru di divisiku baik banget. Aku tidak pernah melihat ada orang yang lebih solih dari temanku itu. Orangnya sabar dan penuh pengertian. Enggak kayak kamu”.
Kalimat “enggak kayak kamu” itu tidak mesti terucapkan, namun sudah bisa dirasakan seperti itu oleh pasangan. Apalagi ketika memang kalimat “enggak kayak kamu” benar-benar diucapkan, pasti akan semakin membuat rasa sakit hati yang mendalam pada diri pasangan.
“Lihat bu Susan itu. Walaupun orangnya sibuk, tapi dia sangat rajin datang ke pengajian rutin di masjid. Makanya orangnya jadi sangat lembut dan sopan. Enggak kayak kamu”.
Kalimat ini sangat menyakitkan bagi sang istri, kendati realitas obyektifnya bisa jadi memang seperti itu.
“Pak Soleh itu benar-benar soleh seperti namanya. Orangnya sangat bijak, cerdas, berwibawa, dan rajin ngaji. Enggak kayak kamu”.
Kalimat seperti ini tentu sangat menyakitkan bagi sang suami, kendati realitas objektifnya bisa jadi memang seperti itu.