Tindakan “memamerkan” foto selfie secara negatif –baik pada laki-laki maupun perempuan-- ada yang memang bertujuan untuk bisnis tubuh, sebagaimana telah terungkap pada tahun 2015 lalu tentang maraknya bisnis prostitusi melalui jejaring sosial. Ada pula yang bertujuan untuk mencari perhatian dari pihak lain agar tertarik dengan dirinya, sehingga bisa ditindaklanjuti dengan komunikasi intens melalui jejaring sosial atau fitur komunikasi. Bisa untuk keperluan mencari pacar, selingkuhan atau pasangan hidup. Bahkan untuk keperluan menggoda orang, atau untuk keperluan iseng “friendzone”dan bisa pula untuk tujuan-tujuan yang lain.
Narsis Yang Merusak Kebahagiaan Keluarga
Seorang perempuan narsis merasa percaya diri bahwa dirinya cantik atau menarik, mendorongnya untuk melakukan selfie dengan pose menawan bahkan menggoda. Masih dipoles lagi dengan proses editing yang membuat fotonya semakin cantik menarik. Setelah yakin fotonya sempurna, kemudian diunggah melalui jejaring sosial. Bisa menjadi foto profil di Blakberry, WhatsApp, Facebook, Twitter, dan lain-lain, namun bukan semata sebagai identitas formal. Ada fungsi penarik perhatian dengan tampilan foto yang menggoda.
Pada umumnya foto selfie tidak dimaksudkan untuk koleksi pribadi, namun untuk “dipamerkan” melalui jejaring sosial. Ini yang disebut sebagai tindakan narsis. Demikian pula seorang lelaki narsis yang merasa percaya diri tubuhnya menarik, berotot, atletis, macho, mendorongnya untuk melakukan selfie dengan pose menantang. Setelah tampak fotonya sempurna, kemudian “dipamerkan” melalui jejaring sosial, dengan berbagai gaya dan tambahan kata-kata.
Seorang istri mengeluhkan kelakuan suaminya yang hobi berkomunikasi intens melalui media sosial dengan banyak perempuan. Sang suami memiliki banyak akun dan digunakan untuk “memacari” banyak perempuan melalui medsos. Foto-foto selfie ganteng sang suami digunakan sebagai senjata untuk menarik hati perempuan, yang kemudian dijadikan sebagai pacar virtualnya. Jumlah perempuan yang pernah menjadi pacar virtualnya lebih dari seratus. Kesenangan sang suami untuk melakukan selfie ternyata digunakan untuk tujuan yang negatif, sehingga potensial merusak keharmonisan keluarga.
Saat ditanya, sang suami dengan ringan menjawab, “Kan aku cuma ngobrol iseng melalui chatting. Tidak pernah ketemu, tidak selingkuh. Mengapa kamu marah?” Seakan-akan ia tidak punya beban, bahwa tindakannya itu membuat cemburu sang istri dan bisa merugikan pihak lain yang terpedaya akan rayuan dan foto gantengnya. Ia tidak memahami sakit hati sang istri yang mengetahui bahasa chatting sang suami dan foto-foto selfie sang suami yang sering dikirim kepada para pacar virtualnya.
“Ia demikian mesra saat chatting dengan para perempuan itu, padahal tidak pernah bersikap mesra kepada saya. Ia panggil para pacarnya dengan kata sayang, padahal ia tidak pernah memanggil sayang kepada saya. Ia selfie dengan pose yang menarik dan wajah yang berseri-seri untuk para perempuan itu, padahal ia tidak pernah menampakkan wajah cerah kepada saya,” demikian keluh sang istri.
Ada pula suami yang marah setelah mengetahui sang istri sering mengirim foto selfie kepada seorang lelaki yang diduga menjadi kekasih gelapnya. Sang suami geram setelah mendapati foto-foto dengan aneka pose tersimpan di gadget istri. Tampak sebagai foto selfie, bukan hasil jepretan orang lain. Setelah dilacak, ternyata foto-foto itu dikirim kepada seorang lelaki melalui fitur WhatsApp. Kejadian ini memicu pertengkaran suami istri yang berujung pada keinginan suami untuk menceraikan sang istri.
Sang suami tidak bisa menerima kelakuan istri yang suka memamerkan kecantikannya kepada lelaki lain. Ia menuduh sang istri tidak setia dan selingkuh. Sang istri membantah dengan mengatakan bahwa itu hanyalah tindakkan persahabatan, bukan perselingkuhan. “Aku hanya tukar menukar foto sebagai sebuah persahabatan”, ujar sang istri. Tindakan ini memicu kemarahan suami sampai pada titik yang tidak bisa ditahan. Perceraian sudah terbayang menjadi ujung dari kisah selfie sang istri.
Hendaknya suami dan istri berhati-hati dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi. Gunakan hanya untuk keperluan yang positif, tidak melanggar aturan agama, tidak melanggar batas kepatutan dan kesopanan, serta tidak menabrak etika dan norma. Jangan selfie, jika itu berdampak merusak kebahagiaan anda bersama pasangan. Silakan selfie, jika itu bertujuan untuk membahagiakan pasangan.
Sumber Berita :
- www.republika.co.id
- www.viva.co.id