Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Keluarga Bahagia dan Keluarga yang Tampak Bahagia

18 November 2015   06:05 Diperbarui: 18 November 2015   10:20 6990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Keluarga Bahagia| Ilustrasi: Shutterstock"][/caption]Untuk memahami perbedaan keluarga bahagia dan keluarga yang tampak bahagia, anda perlu membaca kisah keluarga David dan Laura berikut ini terlebih dahulu.

Anda sudah sering membaca atau mendengar kisah imajiner ini. Sebuah kisah tentang keluarga yang tampak bahagia. David dan Laura, istrinya, dikenal masyarakat luas sebagai keluarga yang bahagia. Pasangan serasi ini tinggal di sebuah desa yang jauh dari keramaian kota.

Selama enam puluh tahun berumah tangga, belum pernah mereka bertengkar atau mengalami konflik yang berkepanjangan. Banyak orang memuji kehidupan pernikahan mereka yang demikian indah dan bahagia. Bahkan tidak jarang orang iri terhadap keharmonisan keluarga mereka.

Sedemikian inspiratif kehidupan keluarga David dan Laura, sampai sebuah Tabloid Nasional mewawancarai David mengenai rahasia pernikahan bahagia mereka. Saat diwawancara, David membuka rahasia pernikahan mereka.

Berikut penuturan David:

“Peristiwa ini terjadi 60 tahun yang lalu. Saat itu kami sedang berbulan madu. Kami berdua sedang menunggang kuda melewati sebuah kebun anggur yang luas. Tiba-tiba kuda yang ditunggangi Laura tersandung, dan ia pun terjatuh.

Tetapi Laura segera bangkit dengan wajah yang gembira dan tidak marah. Ia hanya mengucapkan satu kata : “SEKALI”. Lalu ia pun kembali menunggangi kudanya.

Beberapa menit kemudian, kudanya kembali tersandung dan Laura jatuh untuk kedua kalinya. Lagi-lagi ia bangkit dengan wajah yang tetap tersenyum. Ia hanya berkata, ”DUA KALI”. Saya kagum dengan sikapnya yang santun dan sabar itu.

Saat akan kembali ke villa tempat kami menginap, kuda yang ditunggangi Laura kembali tersandung yang membuatnya jatuh untuk ketiga kalinya. Kali inipun Laura tetap menunjukkan wajah yang menyenangkan. Tapi kali ini ia mengeluarkan pistol dari dalam tasnya, dan “DOORR !!!”

Dia menembak mati kuda tersebut.

Saya sangat terkejut dengan reaksinya itu, dan langsung membentak dengan keras. “Hei, apakah kamu sudah gila? Kenapa kamu menembak kuda itu? Itu bukan kuda kita!"

Laura menatap saya dengan wajah yang lembut, dan hanya mengucapkan satu kata, ”SEKALI”.

Sejak hari itulah kami tidak pernah sekalipun bertengkar, dan itulah rahasia bagaimana pernikahan kami bisa bertahan dengan damai sampai enam puluh tahun ini....”

Kisah imajiner tentang keluarga David dan Laura di atas menggambarkan sebuah kehidupan yang tampak bahagia. Kadang kita tertipu oleh penampilan orang yang tampak harmonis dan bahagia, padahal kita tidak tahu apa yang ada di balik tampilan tersebut. Saya sering menjumpai keluarga yang dipuji dan dipuja orang banyak, dijadikan contoh teladan masyarakat sekitar, menjadi inspirasi bagi banyak kalangan, padahal mereka menyimpan sangat banyak persoalan pelik.

Bahagia dan Tampak Bahagia

Dalam kehidupan keseharian, semua orang mendambakan keluarga yang harmonis dan bahagia. Namun tidak jarang, keinginan untuk bahagia itu hanyalah sebatas wacana dan mimpi kosong belaka. Mereka ingin bahagia, namun tidak menempuh jalannya. Mereka ingin bahagia, namun hanya mengharapkan pasangan membahagiakan dirinya, tanpa berusaha memberikan yang terbaik bagi pasangannya.

[caption caption="ilustrasi : www.dreamstime.com"]

[/caption]Keluarga bahagia terdiri dari pasangan yang saling menghormati satu dengan yang lain. Suami dan istri berinteraksi secara positif dalam kehidupan sehari-hari, saling memberikan yang terbaik bagi pasangannya. Mereka tidak hanya menuntut hak dari pasangan, justru lebih mengedepankan menunaikan kewajiban terhadap pasangan. Mereka saling menghargai satu dengan yang lain, dan tidak meremehkan atau melecehkan kehormatan pasangan.

Keluarga bahagia menyadari bahwa mereka memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itulah mereka selalu berusaha untuk memperbaiki diri bersama pasangan. Mereka menyadari bahwa tidak ada manusia sempurna, semua orang selalu memiliki kekurangan. Untuk itu mereka tidak menuntut kesempurnaan pasangan, justru bisa saling menerima kondisi pasangan secara apa adanya. Mereka berdua tidak mudah kecewa atas kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri pasangannya.

Keluarga bahagia selalu mengedepankan berpikir positif dan berprasangka baik terhadap pasangan. Suami dan istri saling membangun kepercayaan dan menjaga kesetiaan. Mereka tidak menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh pasangan untuk melakukan penyelewengan dan perselingkuhan. Mereka mampu menjaga diri dari godaan dan ketergodaan meskipun kadang harus berpisah jauh dari pasangan karena tugas.

Keluarga bahagia mendasarkan seluruh aktivitas mereka pada tuntunan Allah yang dicontohkan oleh Nabi mulia. Mereka menyadari bahwa kebahagiaan hakiki tidak akan pernah bisa didapatkan dari penyimpangan dan pengingkaran terhadap ajaran agama. Kebahagiaan hakiki bermula dari ketaatan kepada Allah dan Nabi, yang diwujudkan dalam bentuk kelurusan dan kebaikan perbuatan sehari-hari. Mereka saling menguatkan dalam ibadah dan berusaha menjadikan keluarga Rasul Saw sebagai teladan utama.

Keluarga bahagia sudah menemukan cara untuk menyelesaikan setiap persoalan dan konflik di antara mereka. Itulah sebabnya konflik tidak merusak keutuhan dan keharmonisan keluarga mereka, karena selalu bisa diselesaikan dengan tepat dan cepat. Suami dan istri segera duduk berdua mencari solusi, dan mereka segera saling memaafkan serta saling merelakan.

Suasana bahagia yang mereka miliki akan memancarkan aura kebahagiaan yang mudah ditangkap dan dilihat oleh orang-orang di sekitar mereka. Untuk itulah mereka menjadi keluarga yang bahagia, dan tampak bahagia pula pada pandangan orang-orang yang melihatnya. Bukan keluarga yang pura-pura bahagia. Bukan keluarga yang bersandiwara menampakkan kebahagiaan, padahal di dalamnya rapuh dan penuh ketegangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun