[caption id="attachment_322083" align="aligncenter" width="620" caption="ilustrasi : www.telegraph.co.uk "][/caption]
Semua orang yang menjalani kehidupan berumah tangga, menghendaki keluarga yang utuh, harmonis, sukses dan bahagia; sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Namun tidak jarang harapan itu tidak bisa kesampaian, karena biduk keluarga mereka terhempas ombak yang datang menerjang. Perceraian bukan untuk direncanakan, namun jika hal itu terpaksa harus terjadi, maka kehidupan harus tetap dijalani dengan sikap positif.
Sebagian yang lain, terpaksa berpisah dari pasangan karena takdir kematian. Suami atau istri yang mendahului menghadap Allah Yang Maha Kuasa, sehingga mereka harus meneruskan hidup bersama anak-anak, tanpa kekasih yang mendampingi. Suasana ini tentu saja akan dirasakan berat bagi siapapun, namun juga tidak akan bisa ditolak atau dihindari, karena kematian adalah ketentuan Ilahi. Manusia hanya pasrah menjalani, jika sudah berhubungan dengan takdir kematian.
Banyak kenyataan di dalam kehidupan sehari-hari, para janda atau duda yang harus melanjutkan hidupnya sendiri tanpa pasangan hidup yang mendampingi. Mereka harus bertahan hidup, dan bahkan harus membesarkan serta mendidik anak-anak menuju dewasa. Tentu saja ini bukan kondisi ideal, namun harus dihadapi dengan sepenuh kesadaran dan tanggung jawab. Tidak boleh menjadi lemah dan putus asa dalam mengisi lembar-lembar kehidupan dalam kesendirian.
Bersikap Positif sebagai Single Parent
"Menjadi single parent bukanlah akhir dari hidup", demikian ungkapan Titi Atmojo, salah seorang pendiri Indonesia Single Parent. Sikap positif seperti itu harus dimiliki oleh semua ayah atau ibu yang harus mendidik anak-anaknya sendirian. Menjadi single parent bukanlah akhir dari hidup, bahkan harus dipahami sebagai awal dari babak kehidupan yang baru.
Sudah sangat banyak kisah positif dan inspiratif dari para single parent. Di antaranya adalah kisah dari empat perempuan single parent, yaitu Ainun Chomsun, Budiana Indrastuti, Mia Amalia, Rani Rachmani Moediarta yang kisahnya ditulis dalam buku The Single Mom. Kisah-kisah serupa dengan itu tentu juga sangat banyak kita jumpai, bahkan mungkin yang lebih "hebat", namun belum sempat dituliskan kisahnya. Belajar dari kisah inspiratif mereka, kita bisa banyak mendapatkan hikmah dan pembelajaran.
Jika anda termasuk kategori single parent, yang paling penting adalah sikap positif dalam menjalani hidup. Jangan terpengaruh oleh omongan atau persepsi negatif lingkungan terhadap status single parent yang anda sandang. Jika ada sebagian kelompok masyarakat yang masih memiliki persepsi negatif terhadap para janda atau duda, jangan pusingkan hal itu. Karena yang akan melanjutkan hidup adalah anda sendiri, bukan mereka.
Hidup harus terus berjalan, karena anak-anak tengah berjalan menuju masa depan. Jangan habiskan waktu untuk meratapi kondisi, justru curahkan semua potensi untuk memberikan yang terbaik upaya menyiapkan masa depan yang cerah bagi anak-anak. Yang telah terjadi dalam hidup ini, biarlah berlalu. Hadapi hari-hari baru dalam kehidupan dengan penuh pengharapan akan suasana dan capaian yang lebih baik di masa yang akan datang.
Sendiri Mendidik Anak, Bahkan Anak Cacat
Menjadi single parent tidak boleh dijadikan alasan untuk kelemahan dalam mendidik anak-anak. Dengan kondisi single parent justru harus berjuang dengan lebih leluasa dan merdeka dalam mendidik dan mencetak sukses bagi masa depan anak-anaknya. Tentu saja ada kekurangan, namun bukan berarti tidak bisa mendapatkan hasil yang lebih baik dari masyarakat pada umumnya.
Kisah Hee Ah Lee adalah potret kesuksesan seorang ibu single parent. Lahir di Korea Selatan, 9 Juli 1985, kedua tangan Hee Ah Lee menderita lobster claw syndrom di mana masing-masing tangannya hanya memiliki dua jari yang bentuknya mirip capit udang. Selain itu, kedua kakinya hanya sampai batas lutut. Yang lebih menyedihkan, Hee Ah Lee juga mengalami keterbelakangan mental. Namun ibunya adalah seorang perempuan yang gigih dan tangguh. Walau kondisinya single parent, sang ibu menemani anak gadis ini dengan sepenuh jiwa.
Perjuangan amat berat dan penuh air mata dilalui setiap hari, sang ibu menemani Hee Ah Lee belajar piano. Tentu saja tidak mudah. Kadang-kadang untuk mampu memainkan sebuah lagu, Hee Ah Lee memerlukan waktu satu tahun. Malah untuk memainkan salah satu karya Chopin, dia berlatih sekitar lima sampai sepuluh jam setiap hari selama lima tahun. Hanya untuk satu buah lagu. Ibu yang hebat ini tidak pernah bosan dan putus asa untuk memotivasi putrinya agar mampu berprestasi.
Dunia kini menyaksikan kehebatan Hee Ah Lee. Hasil pembinaan ibu yang gigih ini membuat Hee Ah Lee sering diundang berkeliling dunia memainkan piano, hanya dengan dua jari di setiap tangan dan kaki sebatas lutut. Bukan hanya itu, Hee Ah Lee juga pandai berpidato sebelum tampil memainkan piano di hadapan ribuan penonton. Cacat tidak menghalanginya memiliki karya dan prestasi yang membawanya berkeliling dunia.
Maka jangan pernah putus asa dalam mendidik anak-anak tercinta. Single parent tidak menghalangi mencetak anak berprestasi. Bahkan pada kondisi anak yang cacat fisik dan mengalami keterbelakangan mental sekalipun. Hee Ah Lee adalah contoh nyata. Lalu, bagaimana dengan kita yang memiliki keluarga yang utuh dan harmonis, dengan anak-anak yang normal semua?
Tentu akan bisa semakin hebat lagi proses dan hasil akhirnya. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H