[caption id="attachment_406966" align="aligncenter" width="605" caption="ilustrasi : www.outfittrends.tumblr.com"][/caption]
Istri : “Bang, tahu gak, aku mau nikah sama kamu itu sebuah pengorbanan yang besar dalam hidupku”.
Suami : “Oh ya? Emang kenapa Dek?”
Istri : “Dari dulu banyak laki-laki yang ngejar-ngejar aku. Tapi semua aku tolak, dan aku rela memilih kamu menjadi suamiku.... Padahal kamu itu paling jelek dibanding semua laki-laki yang ngejar aku....”
Suami : “Eh, aku mau nikah dengan kamu juga melalui pengorbanan yang besar loh Dek.... Jangan kamu kira aku gak berkorban....”
Istri : “Kok bisa?”
Suami : “Iya Dek. Dari dulu aku ngejar-ngejar banyak perempuan, tapi mereka semua gak ada yang mau sama aku. Hanya kamu yang mau sama aku, padahal kamu itu paling jelek dibanding dengan semua perempuan yang aku kejar.... Ya udah, akhirnya aku nikah sama kamu aja....”
Istri : “Waw, berarti sama dong kita Bang..... Sama-sama korban....”
Begitulah kehidupan pasangan suami dan istri dalam berumah tangga, pasti harus siap berkorban demi pasangannya. Harus siap memberikan pengorbanan terbaik demi keluarga. Bahkan pengorbanan itu sudah diberikan sejak sebelum mereka menikah dan membentuk rumah tangga.
Dalam kehidupan sehari-hari, suami dan istri adalah pasangan yang harus saling bahu membahu dalam menunaikan kewajiban, peran, tanggung jawab dan aktivitas kehidupan. Suami dan istri harus saling memberikan hal terbaik bagi pasangan, dan itulah makna pengorbanan. Tidak ada cinta tanpa pengorbanan. Tidak ada keutuhan keluarga tanpa pengorbanan. Tidak ada keharmonisan dan kebahagiaan keluarga tanpa pengorbanan. Semua cita-cita hidup berumah tangga barun akan bisa terwujud dengan pengorbanan dari kedua belah pihak.
Suami harus bersedia berkorban demi istri dan istri harus rela berkorban demi suami. Suami dan istri harus sama-sama rela berkorban demi keutuhan, keharmonisan dan kebahagiaan keluarga mereka. Suami yang merasa lelah sepulang dari kerja yang menguras tenaga, sampai di rumah masih harus mengurus keluarga. Harus menyediakan waktu untuk mendengarkan curhat istri, harus menyediakan waktu untuk mengajak bermain anak-anak, harus menyediakan waktu untuk menemani anak-anak belajar. Masih ditambah dengan menyediakan waktu untuk tetangga dan kegiatan kemasyarakatan.
Sepulang dari kerja, suami yang merasa lelah dan merasa memiliki hak untuk istirahat langsung mengurung diri di kamar.
Istri : “Bang, ada sedikit masalah pada anak kita tadi di sekolah.....”
Suami : “Aku capek Dek, bisakah engkau tidak menggangguku...”
Istri : “Tapi ini sangat penting Bang, karena menyangkut kelanjutan anak kita di sekolah...”
Suami : “Sudahlah Dek, kamu urus sendiri saja....”
Istri : “Urus sendiri bagaimana? Ini anak kita Bang...”
Kadang suami merasa sangat lelah dan ingin istirahat ketika di rumah. Namun semestinya ia juga mengerti, bahwa istri pun juga lelah sudah mengurus rumah seharian. Bukan hanya dirinya yang lelah. Mengurus anak-anak dari bangun tidur hingga tidur lagi, semua pekerjaan rumah tangga juga menguras waktu, tenaga dan perhatian istri. Belum lagi kalau istri bekerja di luar rumah, berarti bertambah lagi lelahnya.
Untuk itu, jadilah suami yang siap berkorban untuk istri. Inilah tugas kesepuluh dari sepuluh tugas suami yang sudah saya posting berturutan beberapa hari ini di Kompasiana. Pada sembilan postingan sebelumnya telah saya sampaikan tugas-tugas suami, yaitu (1) menjadi suami yang memahami istri, (2) menjadi suami yang penuh perhatian kepada istri, (3) menjadi suami yang penuh cinta kepada istri, (4) menjadi suami yang senang membantu istri, (5) menjadi suami yang memenuhi kebutuhan istri, dan (6) menjadi suami yang sabar membimbing istri, (7) menjadi suami yang memberikan teladan kebaikan bagi istri, (8) menjadi pendengar yang baik bagi istri, (9) menjadi suami yang bisa menerima kekurangan istri, dan sekarang (10) menjadi suami yang siap berkorban untuk istri.
[caption id="attachment_406967" align="aligncenter" width="596" caption="ilustrasi : www.islamiclife.com"]
Pengorbanan Lahir Batin
Pengorbanan untuk istri tentu saja lahir dan batin. Korban jiwa dan raga. Suami semestinya menyediakan diri untuk mengorbankan apa yang dimiliki demi membahagiakan keluarga. Berkorban dengan apa yang bisa dilakukan untuk istri dan anak-anak. Inilah konsekuensi dari cinta. Tidak akan ada cinta jika tidak ada pengorbanan. Betapa bahagia jiwa istri jika memiliki suami yang rela berkorban untuk dirinya. Pengorbanan ini akan sangat membekas kuat dalam hati istri, ia merasakan dicintai suami dengan sepenuh hati.
Natalie Endah Hapsari menuliskan kisah kasih seorang suami, Subagyo (60 tahun) kepada sang istri, Hartini (59 tahun), yang ingin bersama-sama menunaikan ibadah haji. Mereka adalah pasangan suami istri yang selama ini hidup damai dan harmonis. Namun ujian mereka untuk melaksanakan ibadah haji bersama telah dimulai sejak berada di tanah air.
Sebelum berangkat menuju tanah suci, Hartini mengalami serangan stroke yang menyebabkan ia mengalami kelumpuhan separuh badan. Tak hanya itu, Hartini juga tidak bisa berbicara. Karena kondisi itu, Hartini harus dirawat di rumah sakit namun tidak sampai tuntas pengobatannya harus dibawa pulang karena jadwal keberangkatan ibadah haji mereka sudah dekat.
Kondisi Hartini yang lumpuh dan tidak bisa bicara itu tidak membuat Subagyo membatalkan tekad untuk berangkat ke tanah suci bersama istri tercinta. Bagi Subagyo, kondisi sang istri seperti merupakan ujian keikhlasan untuknya. Ia sangat ingin istrinya bisa menunaikan ibadah haji bersamanya. Ini sudah direncanakan sekian lama, dan ia tidak ingin mengecewakan istrinya.
“Saya ingin istri dapat menunaikan ibadah haji, apapun konsekuensi yang harus dialami”, ujar Subagyo mantap.
Berangkat dari embarkasi bandara Adi Sumarmo Solo, akhirnya Subagyo berangkat ke tanah suci bersma istri tercinta. Sejak berangkat dari rumah hingga tiba di tanah suci, semua urusan sang istri langsung ditangani Subagyo. Setiap hari, Subagyo memandikan, mengenakan pakaian, menyuapi makan, hingga membawa istrinya beribadah dengan menggunakan kursi roda. Bagi Subagyo, usahanya untuk mewujudkan mimpi sang istri berangkat haji adalah sebuah jihad, sebuah pengorbanan yang harus dilakukan dengan ikhlas.
“Saya rela mengurusi dia, apapun yang terjadi, “ungkap Subagyo.
Subagyo yakin, selalu ada kemudahan di balik setiap kesulitan, sepanjang semua dilakukan dengan penuh keikhlasan. Selama di tanah suci Subagyo mendapatkan bantuan dari empat orang teman perempuan sekamar Hartini. Hal ini cukup meringankan beban Subagyo dalam mengurus sang istri. Ia merasa sangat terbantu dengan adanya empat teman sekamar Hartini yang sangat pengertian itu.
“Saya ikut menyuapi makan dan kadang-kadang membantu mengganti popoknya juga,“ ujar Ngatini, teman sekamar Hartini.
Dengan segala pengorbanan, akhirnya Subagyo dan Hartini berhasil menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji. Bisa dibayangkan, seandainya Subagyo lemah semangat dan tidak mau berkorban untuk sang istri, bisa jadi ia akan membatalkan proses keberangkatan haji Hartini. Jika itu ia lakukan, mungkin sampai sekarang sang istri tetap belum bisa menunaikan ibadah haji seperti yang sangat dicita-citakan.
Rela Menggendong Istri 40 Kilometer
Apa yang akan anda lakukan, jika anda tinggal di sebuah tempat terpencil, jauh dari keramaian, tidak ada fasilitas kesehatan maupun transportasi, sementara istri anda sakit keras? Istri memerlukan penanganan medis dengan cepat untuk menyelamatkan janin dan juga dirinya, namun tidak ada dokter maupun rumah sakit terdekat. Dibiarkan saja berbaring lemah di rumah, atau dibawa ke kota? Lalu dengan apa membawa istri yang tengah hamil ini ke rumah sakit kota yang jaraknya sangat jauh?
Situs vemale.com pada bulan September 2013 yang lalu menghimpun “Lima Cerita Mengharukan Pengorbanan Suami Untuk Istri” yang sangat menarik. Di antaranya adalah kisah tentang Ayyapan, laki-laki bertubuh kurus di India, yang menggendong istrinya sejauh 40 kilometer di tengah guyuran hujan. Ia menggendong Sidha, istrinya yang tengah hamil 6 bulan, melewati hutan serta jalanan terjal untuk dibawa ke rumah sakit. Sidha sedang sakit demam tinggi hingga butuh perawatan, dan laki-laki berkulit gelap ini memutuskan harus membawa istrinya ke rumah sakit di kota. Ia tidak mau membiarkan Sidha sakit parah tanpa ada bantuan pertolongan medis.
Ayyapan dan Sidha tinggal di pedalaman hutan Konni di Distrik Pathanamthitta, India. Tidak ada rumah sakit yang berada di dekat tempat tinggalnya sehingga Ayyapan membawa Sidha ke rumah sakit yang berada di kota dan harus menempuh jarak 40 puluh kilometer dengan melewati gajah-gajah liar di hutan. Sidha yang tengah hamil 6 bulan itu harus menerima kenyataan pahit bahwa bayi yang dikandungnya telah meninggal dunia. Dengan perih tak terkira, Sidha melahirkan bayi yang sudah tak bernyawa itu.
Selain demam tinggi, Sidha juga menderita gizi buruk yang membuat kondisi tubuhnya semakin terpuruk. Ayyapan tidak menyerah, dia meminta kepada dokter untuk mengobati Sidha. Perlahan, kondisi Sidha mulai pulih dan membaik walau masih lemah dan sedih karena kehilangan janin dalam kandungannya. Cinta kepada istri bisa membuat suami rela melakukan apa saja. Ayyapan telah menunjukkan cinta seorang suami yang demikian tulus kepada istri, dan itulah bukti cinta yang nyata.
Ayyapan rela melakukan pengorbanan demi menyelamatkan jiwa istri dan bayinya. Sebuah pengorbanan yang akan memberikan rasa bahagia dalam kehidupan keluarga mereka.
Bagaimana dengan anda? Sudahkah anda berkorban demi istri tercinta? Siapkah menggendong istri anda?
Bahan Bacaan :
Natalie Endah Hapsari, Kasih Sayang Yang Menguatkan, dalam http://tatacaraumroh.blogspot.com/2012/10/kasih-sayang-yang-menguatkan.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H