[caption id="attachment_201421" align="aligncenter" width="280" caption="gambar : tribunjogja.com"][/caption]
Bulan Juni 2012 lalu Tribun Jogja menyorot praktik aborsi ilegal di Yogyakarta dan sekitarnya. Saya termasuk salah satu warga Yogyakarta yang terkaget, terkejut, terperangah, tertegun, termangu, terheran, termehek-mehek, dan ter ter lainnya. Sudah sangat sering mendengar isu banyaknya praktik aborsi di Yogyakarta, namun menjadi lebih jelas setelah membaca laporan reporter Tribun Jogja, Hendy Kurniawan dan Yoseph Harry yang dimuat berseri beberapa hari berturutan.
Salah satu yang mudah dilihat oleh warga Yogyakarta adalah maraknya iklan terselubung di media massa atau pamflet di sejumlah tempat, utamanya traffic light. Praktik yang sudah lama dilakukan sejumlah pihak ini, terus saja terjadi tanpa ada penertiban apalagi penindakan dari aparat penegak hukum. Padahal, jelas-jelas hal ini bertentangan dengan pasal 346 - 349 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan melanggar UU No 36/2009 tentang Kesehatan.
Menurut tim Tribun Jogja, untuk menjaring pasien, selain memanfaatkan informasi dari mulut ke mulut, juga memasang pamflet kertas berisi nomor telepon seluler, ditambah keterangan singkat "telat haid". Dengan sangat mudah hal ini dijumpai di sejumlah tiang traffic light di perempatan Serangan, Wirobrajan, perempatan Bumijo, seputar UGM dan pertigaan Gejayan-Colombo, sepanjang ring road, serta setiap tranffic light di Yogya, hampir pasti ada pamflet semacam itu.
Para pengendara motor dan mobil yang melintas dan berhenti di traffic light, sebenarnya sudah akrab dengan pamflet ini. Hanya saja, seringkali mereka tak berpikir, nomor ponsel yang dipajang tersebut adalah layanan jasa aborsi. Respon dari warga masyarakat dan aparat penegak hukum atas maraknya iklan terselubung tersebut juga belum tampak.
Tim Tribun Jogja mendapatkan informasi dari hasil penelusurannya, bahwa para penjual jasa aborsi menetapkan tarif yang beragam. Bila 'telat haid' dalam waktu seminggu hingga enam mingu, banderol biayanya Rp 700 ribu hingga Rp 1,5 juta. Jika lebih dari enam minggu telat hadi, biayanya mencapai Rp 3,5 juta hingga Rp 6 juta.
Salah satu pengguna jasa aborsi adalah pasangan kekasih yang tengah pacaran. Karena belum resmi menikah, ketika terjadi kehamilan, aborsi adalah salah satu pilihan yang mereka lakukan. Bahkan hasil penelusuran Tribun Jogja, menemukan seorang lelaki yang mengaku sering mengantarkan para pacarnya melakukan aborsi, sebut saja namanya mas B. Ia memilih mengantarkan para pacarnya melakukan aborsi dengan pertolongan seorang dokter di Jakarta.
Mas B mengaku pernah memiliki 10 orang pacar sebelum menikah, sekitar 15 tahun lalu. “Para pacar” ini semua mengalami kehamilan dan akhirnya digugurkan. Mas B sendiri yang mendampingi perempuan-perempuan itu saat dieksekusi aborsi. "Pengalaman pertama aborsi dengan pacar saya yang sekarang ini justru menjadi istri saya," ungkapnya kepada Tribun.
Baik pengalaman aborsi terhadap istrinya maupun dengan sembilan perempuan lainnya, menurutnya dilakukan di Jakarta. Eksekutornya adalah seorang dokter. Disebutkan, biaya aborsi di Jakarta saat itu mencapai Rp 3 juta. Namun karena terbiasa dan cukup kenal dengan dokter tersebut, dia mengaku mendapat potongan harga sehingga cukup membayar Rp 1,5 juta.
Pengalaman mas B ini tentu luar biasa. Sepuluh perempuan yang menjadi pacarnya “berhasil” hamil di luar nikah, dan ia harus mendampingi mereka untuk menggugurkan kandungan para pacar tersebut ke Jakarta. Sampai menjadi langganan seorang dokter pelaku praktik aborsi ilegal, yang akhirnya memberikan diskon hingga 50 % karena telah rutin mengantar pasien ke tempat praktiknya. Ini baru merupakan contoh “hasil perbuatan” seorang lelaki kepada sepuluh orang perempuan yang dipacarinya.
Selain karena sudah kenal sehingga mendapat keringanan biaya, pilihannya ke Jakarta untuk mengaborsi para pacarnya itu dipastikan tidak diketahui banyak orang. Hal ini berbeda dari praktik para bidan atau juru obat di kota kecil atau pelosok desa. Seorang perawat di Yogyakarta menyebutkan, praktik aborsi di Yogyakarta antara lain ada beberapa tempat. Pelaku praktik ini adalah seorang bidan. Ketika pagi bidan tersebut berperan sebagai tenaga medis biasa yang 'ngantor' di klinik, selepas kerja dinas dia menerima jasa layanan aborsi di rumahnya.
"Ya (dia tinggal) di antara perkampungan warga. Orang-orang sekitar tidak tahu karena dia hanya terbuka dengan yang berkepentingan, misal perantaranya yang membawa klien baru," tuturnya.
Sungguh ngeri membaca laporan tersebut. Sepertinya saya tengah berada di negeri antah berantah yang demikian jauh. Atau seperti tengah bermimpi buruk. Namun begitu bangun, saya benar-benar tengah berada di kampung halaman sendiri, Yogyakarta.
Astaghfirullahal ‘azhim....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H