Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

From Wedding Ring to Boxing Ring

1 Juli 2012   23:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:21 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_198292" align="aligncenter" width="500" caption="gambar - http://claudiabroome.com"][/caption]

Kalimat di atas adalah judul tayangan Mario Teguh di Metro TV, Minggu 1 Juli 2012. Saya sempat menyaksikan sejenak, namun tidak bisa mengikuti selanjutnya karena terpotong aktivitas lain. Judulnya sungguh menarik dan membuat saya tersenyum geli membacanya, karena pada siang harinya saya baru saja menyampaikan pelatihan Wonderful Family di Aula DPRD Kabupaten Sijunjung Sumatera Barat, dan hari sebelumnya di Aula Kantor Gubernur Sumatera Barat.

Perspektif yang disampaikan pak Mario Teguh sangat inspiratif, bahwa semua keluarga itu memiliki masalah. Itulah yang sering saya sampaikan dalam berbagai Pelatihan Wonderful Family, “tidak ada keluarga yang tidak punya masalah”. Saya bahkan sering memerinci, keluarga orang kebanyakan punya masalah, keluarga tokoh agama punya masalah, keluarga ulama punya masalah, keluarga para motivator dan trainer punya masalah, bahkan keluarga para konselor keluarga juga punya masalah. Tidak terkecuali, keluarga pak Mario Teguh dan –apalagi—keluarga saya juga tentu punya masalah.

Yang membedakan adalah, bagaimana keluarga itu mengelola dan menyelesaikan masalah mereka. Ada keluarga yang sedemikian “melankolis”, begitu mendapat masalah seakan-akan dunia sudah kiamat. Mereka membesar-besarkan masalah dan mengapresiasi dengan berlebihan masalah yang dihadapi. Pada keluarga yang lain, mereka sedemikian tegar dan tabah menghadapi setiap permasalahan yang datang. Mereka cepat menyelesaikan masalah dengan cara yang bijak, tanpa menimbulkan keributan berkepanjangan, tanpa dendam dan permusuhan.

Tidak Terlihat Punya Masalah

Pada beberapa keluarga yang dianggap tidak punya masalah, kata Mario Teguh, sesungguhnya yang terjadi adalah “tidak terlihat punya masalah”. Artinya, mereka memiliki masalah, namun masalah tersebut tidak terlihat atau tidak tampak di permukaan, sehingga orang lain menganggap bahwa keluarga itu baik-baik saja dan tanpa masalah. Kembali kepada kaidah awal, bahwa tidak ada keluarga tanpa masalah. Jadi hanya masalah terlihat atau tidak terlihat, tampak atau tidak tampak, muncul atau tidak muncul ke permukaan.

Saya memiliki dua orang teman dengan penyakit yang sama, sebut saja namanya Abdul dan Abas. Komplikasi berbagai jenis penyakit bersarang di tubuhnya. Sejak darah tinggi, gula darah, asam urat dan penyakit lainnya berpadu menjadi satu di dalam tubuhnya. Namun sikap Abdul sangat berbeda dengan Abas. Jika kita bertemu Abdul, maka tidak akan tampak bahwa dia adalah orang yang tengah mengidap berbagai penyakit. Orangnya ceria, sangat ramah, supel, energik, gemar menolong orang lain, dan tidak menampakkan sedang menderita sakit.

Adapun Abas, tanpa harus bercerita, semua orang yang melihatnya mudah menyimpulkan bahwa dia tengah menderita sakit. Wajahnya yang pucat dan tampak kesakitan, penampilan yang tidak bersemangat, banyak mengeluh, banyak menyendiri dan mengurangi pergaulan. Sehingga dari penampilannya, orang mudah menebak, dan tebakannya benar, bahwa Abas tengah menderita penyakit. Apalagi, Abas memang selalu bercerita tentang sakit yang dideritanya kepada setiap orang yang mengajaknya berbicara.

Pada contoh Abdul dan Abas, kita melihat ada dua sikap yang berbeda, dua penampilan yang berbeda, dua pribadi yang berbeda. Sama halnya dengan keluarga, ada keluarga yang mudah sekali kelihatan bahwa mereka bermasalah, seperti apapun mereka berusaha menutupinya. Cara berbicara antara suami dengan isteri, cara berkomunikasi, cara mereka berinteraksi, raut wajah, gerak gerik tubuh, dan berbagai ekspresi lainnya, mudah menunjukkan bahwa di antara mereka tengah ada masalah serius. Walaupun mereka tidak pernah bercerita.

Namun ada pula keluarga yang tidak tampak memiliki masalah. Mereka mampu menyembunyikan kegetiran persoalan yang sedang di hadapi, dengan jalan melibatkan diri secara aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Suami dan isteri sibuk melakukan berbagai macam aktivitas yang bermanfaat untuk masyarakat luas. Orang-orang tidak mengetahui persoalan hidup yang sedang mereka hadapi, karena justru mereka tampak sibuk menolong kesulitan orang lain.

Siapa yang Harus Mengalah?

Ketika menghadapi permasalahan antara suami dan isteri, siapakah yang harus lebih dahulu mengalah? Pak Mario Teguh menyarankan agar suami mengalah dan meminta maaf terlebih dahulu, tanpa harus  mencari siapa yang bersalah. “Tujuan pernikahan bukanlah untuk membuktikan siapa yang salah dan siapa yang benar”, ungkap Mario Teguh. Inilah uniknya kehidupan rumah tangga.

Tidak ada rumus baku tentang siapa yang harus lebih dahulu mengalah, antara suami dengan isteri. Menurut saya, siapa yang lebih dahulu mengalah itulah yang lebih baik. Siapa yang lebih cepat meminta maaf itulah yang paling baik. Siapa yang lebih cepat memaafkan itulah yang paling baik. Jika anda ingin menjadi suami yang baik, maka mudahlah mengalah, menundukkan ego, dan meminta maaf kepada isteri. Jika anda ingin menjadi isteri yang baik, maka cepatlah mengalah, merendahkan ego, dan segera meminta maaf kepada suami.

Agar pernikahan anda langgeng dan bahagia, agar kehidupan keluarga anda tidak bergeser dari “arena pernikahan” menjadi “arena boxing”, jangan pelit meminta maaf, jangan sungkan memaafkan, jangan berat mengalah, jangan sulit menundukkan ego. Demi kebahagiaan pasangan, demi merayakan cinta, demi mengokohkan keharmonisan keluarga. Mengalah itu sama sekali tidak bermakna kalah. Dalam kamus tradisi Jawa bahkan ada ungkapan, “menang tanpa ngasorake”. Anda bisa menjadi pemenang tanpa harus mengalahkan “lawan”. Apalagi dalam kehidupan keluarga, pasangan anda bukanlah lawan.

Jika anda terlibat pertengkaran dengan pasangan, jangan teruskan pertengkaran itu. Mengalah saja, dan cepatlah meminta maaf, agar pertengkaran itu mereda. Jika pertengkaran sudah reda, suasana kembali kondusif, maka anda berdua bisa berbincang dalam suasana yang nyaman untuk mencari penyelesaian masalah. Jika kemarahan dibalas dengan kemarahan, emosi dibalas dengan emosi, ego dilawan dengan ego, maka medan “boxing” semakin panas dan semakin seru pertarungannya. Anda akan semakin sulit untuk meredam, dan semakin berat untuk mengalah.

Jangan biarkan keluarga anda berubah menjadi arena tarung boxing. Jadikan keluarga anda dipenuhi suasana kedamaian, ketenangan, ketenteraman, kebahagiaan, saling mencintai, saling menyayangi, saling menjaga, saling menghormati, saling mendukung dan menguatkan dalam kebaikan.

Selamat pagi, selamat beraktivitas. Salam Kompasiana.

Padang, 2 Juli 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun