[caption id="attachment_332878" align="aligncenter" width="560" caption="ilustrasi : www.visualphotos.com"][/caption]
Suatu pagi, di meja makan. Seorang suami bersungut-sungut dan tidak bersemangat menikmati sarapan pagi yang disiapkan oleh sang istri.
Suami : “Kamu habiskan untuk apa saja uang belanja bulan ini Dek?”
Istri : “Emang kenapa Bang?”
Suami : “Kok masakannya hambar begini? Tidak bisa beli bumbu ya?”
Istri : “Aduh maaf Bang, aku kan masak sambil tergesa-gesa...”
Sindiran seperti itu mungkin tidak terlalu dipikirkan oleh suami. Ia hanya berkomentar spontan saja, dalam bentuk sindiran. Ia tidak membayangkan akibat yang muncul akibat sindiran tersebut bisa menyakiti hati istri yang sudah bersusah payah memasak dan menyiapkan sarapan pagi.
Bukan apresiasi yang didapatkan dari suami, justru sindiran yang menyakitkan hati. Jika situasi seperti ini sering terjadi, tentu akan terjadi tumpukan sakit hati.
Ribut Soal Makanan?
Pada postingan sebelumnya, telah saya sampaikan tentang hal kecil yang sering terlewatkan dalam rumah tangga kita (baca di sini). Sesungguhnya sangat banyak hal-hal kecil yang secara sadar atau tidak sadar masih sering kita lakukan dalam kehidupan keseharian. Padahal hal-hal tersebut sebenarnya tidak bisa dianggap kecil dan remeh.
Salah satu hal yang sering diremehkan adalah sikap terhadap makanan. Ketika suami menjumpai makanan di rumah tidak menyenangkan dirinya, segera muncul kalimat yang tidak sepantasnya diucapkan. Sejak dari sindiran halus, sampai kepada kalimat caci maki. Padahal istri sudah dengan sukarela memasak demi cintanya kepada suami dan anak-anak.
Memasak itu bukan hal sederhana, karena memerlukan upaya, tenaga, waktu dan sentuhan perasaan. Prakteknya, di rumah tangga kita berbeda-beda “tukang masaknya”. Ada istri yang melakukannya sendiri, ada yang membayar pembantu untuk memasak, ada yang dikerjakan oleh siapapun dari suami atau istri yang sempat dan ingin. Siapapun yang memasak, hendaklah kita tidak meributkan soal bentuk dan cita rasa masakan.
“Harga garam lagi murah ya Dik? Kok asin banget nih masakannya...”
“Buku resepnya hilang ya? Ini maksudnya sayur apa? Gak jelas banget deh...”
“Kalau menyajikan masakan tolong dikasih label ya Dek, biar jelas ini masakan apa...”
“Kalau masak saja tidak becus, lalu sebagai istri apa yang kamu bisa lakukan?”
Jangan Mencela Makanan
Salah satu etika yang diajarkan Kanjeng Nabi Saw adalah tidak mencela makanan, siapapun yang memasaknya. Jika sudah dihidangkan makanan, santap saja. Jika tidak suka, tinggalkan saja tanpa mencela. Sebuah riwayat memberikan penjelasan tentang hal ini :
“Rasulullah saw tidak pernah sekalipun menghina makanan. Jika beliau suka, beliau akan memakannya, dan jika beliau tidak suka, beliau akan meninggalkannya (tanpa mencela)”. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
Larangan mencela makanan ini terkandung maksud yang luar biasa dalamnya. Pertama, mengakui dan menyadari sepenuhnya bahwa semua makanan adalah nikmat serta karunia dari Allah. Tidak layak kita mencela suatu nikmat dan karunia Allah. Kewajiban kita justru harus mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada kita, bukan mencelanya. Jika kita pandai bersyukur, pasti Allah akan menambah nikmat-Nya kepada kita.
Kedua, mengakui dan menyadari sepenuhnya bahwa kehadiran makanan di rumah kita ada prosesnya, bukan tiba-tiba. Satu jenis sayur yang terhidang di meja makan rumah kita, terdiri dari suatu rangkaian proses. Dimulai dari membeli bahan ke pasar, warung, toko atau supermarket. Kemudian menyiapkan bahan-bahan, mencuci, memasak, dan menghidangkan. Masih ditambah lagi, membersihkan semua kotoran yang muncul selama proses memasak.
Kalaupun makanan itu hasil membeli, itu juga terdiri dari serangkaian proses. Berjalan menuju warung, antri, membeli, lalu pulang dan menghidangkan. Tetap saja memerlukan tenaga, waktu dan kemauan.
Dengan rangkaian proses tersebut, semestinya kita memberikan apresiasi positif atas jerih payah dan kesungguhan menghadirkan masakan sampai tersaji di meja makan. Siapapun yang memasaknya, tidak menjadi persoalan. Apakah dimasak oleh istri, oleh pembantu, oleh suami atau oleh pemilik warung. Berikan apresiasi positif dengan memuji, mengucpkan terimakasih dan menikmatinya. Minimal, anda jangan mencela.
Nikmati Saja, Atau Tinggalkan dengan Sopan
Jika anda menjumpai makanan sudah terhidang di rumah anda, segera nikmati saja. Jika anda tidak berminat, tidak berselera, tidak tertarik atau tidak ingin menyantapnya, tinggalkan makanan tersebut tanpa perlu mencelanya.
Saya memiliki kesepakatan di rumah. Siapapun boleh memasak sesuai keinginannya. Jika sudah ada yang memasak di rumah, yang lain boleh ikut menikmatinya jika suka. Jika tidak suka atau tidak tertarik dengan masakan yang sudah tersedia di rumah, silakan memasak sendiri yang lebih sesuai selera. Jangan menggerutu soal makanan, jangan pernah mencela makanan.
Jika anda memang tidak tertarik atau tidak berselera, tinggalkan saja dengan cara yang baik dan sopan. Jangan menyakiti hati istri, suami atau pembantu atau anak-anak yang telah menyiapkan hidangan.
“Maaf ya Dek, aku tergesa-gesa. Tidak sempat mencicipi sarapan pagi yang sudah engkau siapkan”.
“Terimakasih ya Dek telah menyiapkan makan malam. Tapi aku belum lapar nih, aku ga ikut makan ya...”
“Wah istimewa sekali santap siang kita kali ini. Dimasak dengan cinta sih. Sayang sekali aku tidak bisa ikut menikmatinya...”
“Alhamdulillah, kita sekeluarga diberikan nikmat dari Allah berupa makanan yang lezat. Tapi maaf ya, aku tidak sempat makan di rumah kali ini...”
Berikan apresiasi atas terhidangkannya makanan di rumah kita. Nikmati saja, dan jika tidak tertarik, tinggalkan saja dengan baik dan sopan. Jangan pernah mencela makanan, jangan pernah mengejek atau menghina siapapun yang telah menyiapkan dan menghidangkan makanan.
Selamat pagi sahabat Kompasiana....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H